logo boleh merokok putih 2

Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok

Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:

( شرح منظومة إرشاد الإخوان لبيان شرب القهوة والدخان)

“Syarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan”, terjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul ‘Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan’.

Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok). Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan.

Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok

Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M.

Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.

Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum.

Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.

Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA

Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.

Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah.

Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya.

Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya’tarid Dukhan minal Ahkam (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.

Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya’tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.

Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia.

Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan dan Nazhatul Ifham adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham khusus membahas tentang rokok.

Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem

Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama.

Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009.

buku-kitab-kopi-small

Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.

Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa’il yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa’il kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber ‘ibarah (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu’tabar atau tidak dalam tradisi bahtsul masa’il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya’roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu’tabar. Status mu’tabar ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.

Kitab Irsyadul Ikhwan memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz. Bahr adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi.

Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.

Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.

Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.

Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.

Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama.

Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith.

Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes

Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi’i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis.

Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas’ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi’i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.

Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat.

Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas.

Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.

Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram.

Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).