OPINI

Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang

Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal—yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian—mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut ‘tubak’, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan ‘tubak’ untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah ‘tobacco’ dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi ‘tembakau’ dalam bahasa Indonesia.

Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.

Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok

Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.

Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.

Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.

Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?

Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.

Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.

Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.

Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?

Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih.