REVIEW

Ramadan Bersama Petani Tembakau di Temanggung (3)

Pernah saya begitu antusias ketika kuliah dulu, itu terjadi pada semester dengan salah satu mata kuliah bernama elektronika nuklir. Dari 14 semester yang saya jalani semasa kuliah S1, itu mungkin semester terbaik, saya bicara kualitas tentu saja. Di semester itu, saya akhirnya menemukan makna luas dari oposisi biner, yang dasarnya saya dapat ketika mempelajari bilangan biner pada kuliah-kuliah elektronika nuklir.

Dari oposisi biner itu, saya bisa belajar dan coba memahami oposisi biner dari panas-dingin, hitam-putih, tinggi-rendah, kanan-kiri, keras-lunak, dan banyak lainnya mulai dari tataran konsep, idealisasi, hingga materi. Saat dihadapkan pada titik oposisi biner, mesti memilih di antara dua pilihan, belajar elektronika nuklir dalam hal ini bilangan biner hingga rangkaian-rangkaian elektrik yang tersusun dari komposisi bilangan biner memberi alat bantu tambahan bagi saya untuk memilih.

Baca: Awal Ramadan Bersama Petani Tembakau di Temanggung

Di Temanggung, saya harus melalui beberapa titik oposisi biner, dan mesti memilih. Ada yang mudah semisal memilih antara pantai atau gunung? Saya akan dengan mudah menjawab gunung. Ada pula yang sulit. Saya mesti memilih antara lolos atau tidak lolos. Hanya dua pilihan itu saja. Ini menyangkut nasib beberapa orang anak. Setidaknya untuk tiga tahun ke depan. Lebih jauh lagi hingga kelak sampai anak itu meninggal dunia.
Saya harap saya tidak berlebihan berkata seperti di atas. Diberi kepercayaan menjadi salah seorang dari sebuah tim yang menentukan sekira 70 orang anak lolos atau tidak lolos program Beasiswa KNPK Temanggung, hanya dua pilihan, lolos atau tidak. Oposisi biner yang menguras pikiran dan perasaan saya.

Hari pertama di Temanggung, selepas zuhur, kami menyusuri lereng Gunung Sumbing menuju Desa Gandurejo dari kediaman Bapak Nisa. Saya dan Hakim mengendarai sepeda motor melintasi jalan kampung beraspal, kadang berganti jalan bersemen, atau berbatu. Rumah pertama yang saya datangi di Desa Gandurejo, terletak di Dusun Sejeruk. Rumah Ayu, salah seorang calon penerima beasiswa.

Dua kali kami bertanya kepada penduduk lokal sebelum menemukan kediaman Ayu. Ketika kami tiba, Ayu sedang mengangkat para-para bersama Bapaknya. Para-para itu berisi cabai yang baru selesai dipanen. Saya tahu itu Ayu karena sembari memberi salam, saya membuka berkas yang salah satu isinya adalah foto Ayu bersama kedua orang tuanya.
Jika di rumah pertama saya hanya bertemu Bapak dari calon penerima beasiswa. Di rumah kedua ini, saya bertemu anak dan bapaknya, ibunya sedang berada di kebun. Dari halaman rumah Ayu, saya bisa memandang Puncak Sumbing, di sisi lainnya, dataran luas Kota Temanggung.

Baca: Ramadan Bersama Petani Tembakau di Temanggung (2)

Lima belas menit di Dusun Sejeruk, kami bergegas ke Dusun Luwihan, masih di Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu. Di dusun ini, saya mesti mendatangi dua rumah yang salah satu penghuninya di tiap rumah adalah calon penerima beasiswa. Rumah pertama yang kami datangi, terletak di tepi jalan kampung, jalan makadam.

 Saya bercita-cita memiliki rumah yang terletak di kaki gunung. Di lingkungan semacam Dusun Luwihan saya membayangkan rumah saya berdiri. Dataran sempit di kemiringan, halaman luas ditanami pohon cengkeh, sayuran, dan tembakau. Karena saya sedang berkhayal, saya juga berkhayal menanam pohon ganja karena dalam dunia khayalan saya, ganja legal dan bermanfaat, sama bermanfaatnya dengan tanaman pangan dan tanaman obat lainnya.

Di halaman belakang, ada kandang kambing dan ayam petelur. Perpustakaan kecil di sebuah rumah panggung dengan buku-buku favorit di dalamnya. Menyenangkan sekali memang berkhayal itu. Sebelum saya kian melantur, saya hentikan sampai di sini saja khayalan saya. 
Seorang pria paruh baya menyambut kami. Menyilakan kami masuk ke rumahnya, dan duduk di kursi ruang tamu. Sembari berbincang, sesekali saya melirik ke arah jendela, melihat pohon cengkeh di luar sana. Pak Yono namanya. Ia menceritakan jalur distribusi perdagangan tembakau mulai dari petani hingga pabrikan.

Selain bertani, ketika musim panen, Pak Yono juga bekerja sebagai sopir untuk mobil angkut hasil panen. Sayangnya, saya tidak punya banyak waktu menggali cerita jalur distribusi itu dari Pak Yono. Bukan itu tugas saya saat itu. Saya lalu berpindah ke rumah selanjutnya yang berjarak 100 meter saja dari rumah Pak Yono.

Pada tulisan selanjutnya, saya akan menceritakan dua orang penghuni utama rumah ini, seorang ibu dan seorang anaknya. Pada sebuah rumah yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki, cerita itu berasal.