Bicara kretek, maka harus diawali dengan tradisi mengonsumsi tembakau. Dari tradisi konsumsi tembakau, di sekitar akhir abad ke-19, terciptalah produk kretek. Ceritanya berawal dari seorang Haji Djamhari di Kudus, yang memiliki masalah dengan penyakit asma. Djamhari seorang penghisap tembakau. Suatu hari, ia menemukan ide untuk mencampurkan rajangan tembakau dengan cengkeh, kemudian digulung dengan kertas, baru diisap. Penyakit asmanya sembuh.
Cerita tersebut tersebar luas, dan kemudian banyak orang memulai cara konsumsi tembakau yang baru dengan dicampur cengkeh, bahkan ditambahi bahan-bahan rempah lainnya, seperti kapulaga.
Baca: Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi
Pada masa-masa awal, konsumsi kretek masih terbatas, belum sampai ke tingkat perdagangan, apalagi industri besar. Di satu sisi, kolonialisme Belanda yang memperkenalkan kapitalisme perkebunan, termasuk perkebunan tembakau, terus meningkatkan produksi tembakau. Di masa kolonial itu, masyarakat pribumi adalah pekerja atau buruh di perkebunan-perkebunan. Masyarakat Indonesia dianggap bangsa kuli saja.
Momentum tersebut tidak berselang lama. Terjadintya depresi Ekonomi Dunia pada 1930-an, yang membuat harga-harga komoditas ekspor di pasar dunia anjlok, termasuk gula, kopi, tembakau. Kapitalisme perkebunan Hindia-Belanda hancur, banyak yang bangkrut, banyak pemecatan atau PHK buruh. Masyarakat pribumi yang kerja di pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan besar, kembali ke desa. Apa yang mereka lakukan?
Itulah momentum bagi munculnya home industry di tingkat-tingkat kecil, salah satunya yang berkembang adalah kretek. Jawa Timur di Nganjuk dan Kediri, Jawa Tengah di Kudus. Belanda melihat usaha kecil pribumi ini justru bisa berjalan di tengah krisis ekonomi dunia. Untuk menyelamatkan ekonomi Hindia Belanda, pemerintah kolonial membentuk lembaga-lembaga perkreditan, membentuk tim penyuluh perkebunan, penyuluh usaha kecil, ke seluruh Jawa. Juga memberi kredit dari bank. Hal ini semakin mengembangkan usaha kecil rakyat pribumi, termasuk yang mendapat manfaat adalah industri kretek.
Baca: Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi (2)
Di Kudus, salah satu usaha kecil pribumi yang terkenal adalah Pabrik Kretek Bal Tiga, milik pengusaha pribumi Nitisemito. Ia berhasil membangun martabat bangsa, yang awalnya hanya dianggap sebagai bangsa kuli, akhirnya ia mengangkat derajat dari kaum buruh menjadi saudagar pribumi. Bahkan Nitisemito memperkerjakan karyawan-karyawan Belanda di pabriknya. Seiring dengan perjuangan pergerakan nasional, ketika Presiden Soekarno berbicara lantang tentang kemandirian ekonomi, ekonomi berdikari, justru petani dan pengusaha kretek sudah menjalankannya. Dan sering kali Presiden Soekarno dalam pidatonya, mengambil contoh dengan menyebut nama Nitisemito untuk kemandirian ekonomi.
Kretek jelas memiliki nilai sejarah yang panjang, tidak sekedar dilihat semata sebagai sebuah benda atau produk. Sejarahnya itu pun tidak hanya berdiri atau memiliki arti untuk dirinya sendiri. Kretek turut berkontribusi dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia modern, menjadi bangunan awal kemandirian ekonomi yang dicita-citakan pendiri bangsa. Dari segi usia, layaklah kalau kretek sudah pantas untuk diakui sebagai warisan budaya tak benda.
Kretek merupakan wujud dari local knowledge, keterampilan lokal, yang hanya ada di Indonesia. Kretek itu adalah campuran dari tembakau, cengkeh, dan rempah. Dari bentuk awalnya yaitu klobot (dibungkus dengan daun jagung atau daun kering lain seperti nipah), sampai ke bentuk yang beragam, termasuk dalam bentuk mutakhirnya kini. Pada awalnya ia disebut “rokok dengan cengkeh”.
Namun dalam perjalanannya disebut secara onomatope sebagai “kretek”, yaitu penamaan yang berasal dari bunyi yang terdengar ketika ia terbakar. Kekayaan citarasa khas kretek juga dipengaruhi latar belakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali “didominasi” oleh merek kretek tertentu. Produk kretek dari Jawa Timur misalnya, cenderung memiliki citarasa yang berbeda dibandingkan dari Jawa Tengah.
Pada masa pendudukan kolonialisme khususnya Jepang, kretek sebagai rokok khas Indonesia ini menjadi simbol nasionalisme di kalangan pergerakan. Kretek menjadi penanda identitas Indonesia (cultural identity), yang dihadap-hadapkan dengan “rokok putih” yang dihisap bangsa Barat.
Baca: Kretek dalam Sejarah Evolusi Budaya Indonesia
Pada waktu itu, masih meturut Pram, satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan menyentuh kretek. Istilah rokok putih bagi kesejarahan Indonesia moderen dengan demikian memiliki konseptualisasi yang merumuskan bagan identitas pembeda antara kami (the self) dan mereka (the other). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih, simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). Jejak historis itu hingga kini masih terlihat. Istilah rokok putih per see, dalam wacana pertembakauan kontemporer, masih digunakan sebagai oposisi linguistik terhadap istilah kretek, yakni bahwa seluruh produk rokok dari Barat secara common sense serta merta disebut dengan nama rokok putih.
Kretek berfungsi sebagai medium sosial dalam kehidupan masyarakat. Di sini kretek berfungsi mencairkan suasana atau sebagai bahasa pergaulan. Dalam masyarakat Minangkabau, misalnya, rokok kretek selalu ada dalam setiap upacara-upacara adat. Ini tersirat dalam banyak petatah-petitih Minangkabau yang menggunakan idiom rokok atau tembakau, sirih, dan pinang. Ambil contoh, petatah-petitih dalam tradisi kasusastraan cerita Randai: “Datuak baringin sonsang, baduo jo pandeka kilek, hisoklah rokok nan sebatang, supayo rundiangan naknyo dapek”. Artinya, ketika tembakau sudah dibakar dan dihisap, maka perundingan atau musyawarah mufakat sudah bisa dimulai. Rokok dalam hal ini menjadi penanda bahwa pertemuan yang dilaksanakan telah resmi dan sah secara adat. Atau dalam ungkapan sehari-hari “maim bau baralek yang selalu menyertakan salapah di carano”. Artinya, orang akan merasa dihargai jika rokok yang diberikannya sudah dihisap atau setidaknya diambil. Tanpa terkecuali dalam budaya masyarakat Jawa, misalnya, dalam Slametan atau Kenduri selalu ada jamuan kretek dalam gelas bersanding dengan teh atau kopi beserta panganan lainnya.
Nilai-nilai kekayaan budaya dan pengetahuan yang terkandung dalam kretek memiliki peran penting sebagai kekayaan budaya bangsa yang merupakan wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Posisi dan peran ini menempatkan kretek perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara lebih mendalam, pengakuan kretek sebagai warisan budaya tak benda nasional akan memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia. Manfaat tersebut antara lain:
- Merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya beragam yang mengandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur ini telah hidup dan berkembang secara turun temurun serta berkontribusi menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa berdaulat.
- Pengakuan kretek sebagai warisan budaya tak benda merupakan bentuk penghormatan negara terhadap penemuan asli (lokal knowledge) yang telah memberikan kontribusi besar dalam sistem nilai dan sistem sosial bangsa Indonesia. Pengakuan ini juga menjadi bentuk konkrit dari peran pemerintah dalam melindungi dan mengembangkan budaya asli Indonesia.
- Pengakuan kretek juga bermanfaat dalam membangkitkan kembali nilai-nilai spiritualitas, kearifan social, kearifan lokal yang terkandung di dalam budaya kretek. Hal ini sangat penting mengingat derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda Indonesia seringkali berdampak kurang baik terhadap kehidupan sosial masyarakat bahkan terkadang memicu ketegangan atau konflik.
- Pengakuan kretek juga akan mendorong pemanfaatan kretek bagi masyarakat Indonesia, baik pada bidang ekonomi kreatif maupun pariwisata, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi positif pada perekonomian negara.
- Pengakuan kretek menjadi pilar penting untuk menyokokng kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional.