Tekanan terhadap industri hasil tembakau hingga detik ini terus terjadi. Baru-baru ini Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek menerbitkan surat edaran nomor TM.04.01/Menkes/314/2019 tentang pemblokiran iklan rokok di internet. Surat tersebut mengamanatkan Kemenkominfo untuk memblokir iklan rokok di internet. Padahal persoalan iklan, industri hasil tembakau dari hulu hingga hilir telah mematuhi semua regulasi yang ada.
Baca: KNPK Tuding Kemenkes Tidak Paham Peraturan Tentang Iklan Rokok
Antirokok, dengan jubah yang berbeda-beda, bahu-membahu bicara di hadapan media terkait hal ini. Sepintas, memang yang diucapkan adalah niat mulia untuk menyehatkan bangsa, tetapi apa yang sebenarnya terjadi?
Pada 29 April 2019, Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC, IAKMI) menggelar diskusi publik mengenai pelarangan iklan rokok di media online. Narasumber diskusi adalah Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Anthonius Malau), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI (Theresia Sandra Diah Ratih), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wisnu Nugroho.
Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana siaran pers yang mereka terbitkan, Ketua TCSC IAKMI, Sumarjati Arjoso meminta “pemerintah harus segera memperkuat kebijakan pelarangan total iklan rokok di semua media, khususnya media online”. (http://www.tcsc-indonesia.org/beranda/)
Menanggapi hal tersebut, Kasubdit Pengendalian Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, Anthonius Malau menyatakan, “Jika Kementerian Kesehatan berani mengeluarkan aturan yang menyatakan produk rokok dilarang diiklankan, termasuk di internet, maka Kemenkominfo akan melarang semua konten iklan rokok di internet.”
Pemblokiran disebut Anthon tidak dapat serta merta dilakukan. Anthon mengutip UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE bahwa pemerintah harus mencegah penyebarluasan informasi yang melanggar peraturan perundang-undangan. Permohonan pemblokiran biasanya atas rekomendasi kementerian terkait karena misalnya melanggar HAKI atau HAM, muatan terorisme, obat-obatan yang dilarang dijual.
Bak gayung bersambut, pernyataan Anthonius Malau tersebut diterjemahkan Kemenkes agar pihaknya segera mengeluarkan peraturan atau permohonan untuk memblokir iklan rokok di internet. Pada 10 Juni 2019, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek menerbitkan surat edaran nomor TM.04.01/Menkes/314/2019 tentang pemblokiran iklan rokok di internet.
Sebenarnya, Peraturan mengenai iklan rokok telah diatur sangat detail di dalam PP 109 Tahun 2012 pasal 27 sampai pasal 40, mulai dari aturan promosi hingga sanksi di media teknologi informasi atau internet sudah ada dan ketat.
Pemblokiran iklan rokok secara total, sebagaimana yang diungkapkan Ketua TCSC IAKMI, melanggar UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 46 Ayat (3) butir c dan melanggar PP 109/2012 Pasal 27 Ayat (c) dan (d), bahwa iklan rokok selama ini tidak memperagakan wujud rokok dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama. Iklan rokok yang tayang juga telah mematuhi regulasi yang ada. Lebih parahnya, pemblokiran iklan di internet dapat dipastikan merenggut penghasilan negara dari sektor iklan rokok. Katadata.co.id pernah merilis, sektor bisnis online berupa e-commerce marketplace dan aplikasi belanja iklan rokok mencapai Rp 4,88 triliun atau 4,86%.
Usut punya usut, TCSC IAKMI menyandang proyek dari Bloomberg Initiative dari Agustus 2017 hingga Juli 2019. Sebagaimana dimuat pada laman tobaccocontrolgrants.org, proyek tersebut bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam amandemen peraturan untuk meningkatkan ukuran Peringatan Kesehatan Grafis (GHW) menjadi 75% pada paket tembakau, mendorong parlemen untuk mengubah undang-undang pajak untuk menaikkan pajak tembakau, dan iklan tembakau, promosi dan peraturan terkait sponsor untuk larangan komprehensif, dan memobilisasi orang untuk mendorong presiden untuk mengaksesi WHO FCTC.
Sebagai informasi, Bloomberg Initiative adalah program filantropis di Amerika Serikat yang telah bekerjasama dengan industri farmasi, untuk mendanai perang terhadap industri rokok.
TCSC IAKMI sedang di ambang deadline proyek yang diberikan Bloomberg Initiative. Kerja-kerja kemuliaan yang mereka tampilkan kepada publik ternyata bukan semata untuk kemaslahatan berbangsa dan bernegara, tetapi sesuai pesanan juragan.
Kita sama-sama tau, industri hasil tembakau dari hulu sampai hilir adalah satu-satunya model industri nasional yang masih tersisa di Republik ini. Industri kretek mampu menyerap 6,1 juta tenaga kerja serta menghidupi 30,5 juta orang yang terlibat didalamnya. Industri kretek memberikan pemasukan terbesar kepada negara dari sektor cukai sebesar Rp. 153 triliun pada 2019. Penguasaan pangsa pasar kretek oleh produsen di dalam negeri sebesar 93% dan tidak pernah tertandingi oleh produk hasil tembakau lainnya.
Namun, dibalik keunggulan industri kretek di dalam negeri, industri kretek menghadapi tekanan regulasi yang cukup berat apalagi setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Regulasi tersebut dengan semena-mena menempatkan produk tembakau termasuk kretek sebagai produk yang berbahaya.
Kretek yang sudah menjadi produk khas Indonesia dan sudah diusahakan secara turun-temurun tergerus dalam arus standarisasi produk-produk tembakau luar negeri. Selama ini industri kretek dari hulu ke hilir selalu mematuhi semua regulasi pengendalian yang dibuat oleh pemerintah. Industri kretek adalah industri yang mau diatur tapi tidak dibunuh.