Daerah pantura punya tradisi namanya “kupatan” atau hari raya ketupat. Apa bedanya dengan hari raya Idul Fitri? Jawabnya beda untuk daerah pantura. “Kupatan” bagi masyarakat pantura jatuh pada hari ke delapan setelah hari raya Idul Fitri. Sedangkan, Idul Fitri dimulai sejak tanggal 1 Syawwal.
Dan mungkin hari raya ketupat beda dengan daerah lain. Semisal di Jakarta, saat hari raya Idul Fitri juga dinakan hari raya ketupat. Begitu gema takbir berkumandang, saat itu juga membuat ketupat untuk hidangan esuk hari bersama masakan opor ayam atau sejenisnya setelah sholad Ied. Bagi masyarakat pantura tidak, ketupat dibuat setelah tujuh hari terhitung dari 1 Syawwal.
Tradisi hari raya ketupat atau “kupatan” kental di daerah pesisir utara Jawa Tengah, seperti Kabupaten Jepara, Kudus, Pati, Juwana, Rembang dan daerah lain. Hari raya ketupat diawali dengan kenduren atau ritual dan do’a bersama pagi hari sekitar jam 06.00-07.00 dengan membawa ketupat, lepet dan masakan pendukungnya seperti opor ayam, sayur gori dan ada juga masakan semur. Selesai berdo’a, makan bersama, ada juga yang saling bertukar masakan. Selesai makan, pulang dan siap-siap pergi berlibur, ketempat-tempat yang tersedia hiburan.
Konon, ceritanya “kupatan” adalah hari raya bagi orang-orang yang telah berpuasa di hari kedua sampai hari ketujuh bulan Syawwal. Kalau hari pertama bulan syawwal para ulama’ sepakat hukumnya haram (tidak boleh berpuasa), mulai hari kedua disunnahkan berpuasa. Nah, setelah berpuasa enam hari, mereka berbuka dengan menikmati ketupat dan pergi liburan.
Bagi orang pantura, di bulan Syawwal ada dua hari raya. Pertama hari raya lebaran atau hari raya Idul Fitri, hari kemenangan setelah berpuasa Ramadhan satu bulan penuh, selanjutnya saling memaafkan satu sama lain. Kedua, hari raya “kupatan” yaitu hari kemenangan setelah berpuasa enam hari dimulai hari kedua bulan Syawal. Setelah selesai puasa diakhiri makan ketupat bersama dan liburan.
Perkembangannya, “kupatan” tidak lagi identik hari raya bagi orang yang berpuasa Syawal, semua masyarakat pantura ikut merayakan hari raya ketupat atau “kupatan”. Di hari kupatan, para ulama’ sepakat memberikan hukum makruh jika mengumandangkan takbir (takbiran), seperti halnya takbir saat habis bulan Ramadhan, malam masuknya bulan Syawwal. Jadi, dimalam kupatan tidak ada takbir atau takbiran. “Kupatan” ditandai dengan berdo’a atau ritual bersama dilakukan dipagi hari, dilanjutkan pergi berlibur.
Semisal, Kabupaten Jepara, di hari ke delapan pagi betul (setelah shubuh), persiapan ritual dan do’a bersama di tepi pantai, dilanjutkan melarung kepala kerbau ke tengah laut oleh kepala daerah, bersama masyarakat, terutama masyarakat nelayan, dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Selesai melarung, sebagi tanda dimulainya waktu berlibur dan bertamasya. Menurut Malik, nelayan pantai Kartini Jepara, melarung sudah menjadi tradisi bagi masyrakat, terutama para nelayan, berdo’a dan berharap supaya nanti ikannya banyak, memberikan rezeki bagi para nelayan. Nelayan akan mulai menangkap ikan setelah “kupatan”. Saat “kupatan” Kabupaten Jepara menyiapkan destinasi pantai menyuguhkan banyak hiburan yang bisa dinikmati masyarakat saat berlibur. Tidak hanya masyarakat lokal, luar kota pun banyak yang berdatangan.
Di Kudus, sebelum pergi berlibur, terlebih dahulu ritual dan do’a bersama di masjid, dan musholla. Tujuannya, berharap berkah setelah melakukan puasa ramadhan, setelah saling memaafkan di hari Idul Fitri dan setelah selesai puasa Syawwal. Lain itu, adanya ritual dan do’a berharap lancar dan selamat saat bekerja yang dimulai esuk harinya setelah “kupatan”. Selesai do’a, masyarakat kudus rata-rata pergi berlibur, ada yang keluar daerah, rerata pergi ke pantai jepara, dan sebagian ada yang kedaerah pantai Pati, Juwana, Rembang bahkan ada yang ketempat liburan di Semarang. Ada juga, masyarakat yang memanfaatkan tempat hiburan yang telah disediakan di Kudus sendiri, seperti ke tempat “Bulusan di Kecamatan Jekulo, Sendang Jodo di Kecamatan Bae, kampung kupat di Kecamatan Dawe”. Ketiga destinasi tersebut hanya ada saat “kupatan” saja.
Di Pati, Rembang, Juwana beda dengan Kudus. Tiga daerah tersebut tradisi “kupatan” hampir mirip dengan Jepara, karena sama-sama daerah pesisir pantai, sedang Kudus bukan daerah pantai. Tidak tanggung-tanggung menjadi kebiasaan tahun lalu, masyarakat nelayan di tiga daerah tersebut, mendatangkan hiburan besar besaran, sampai-sampai berani mengeluarkan puluhan hingga ratusan juta rupiah, untuk biaya hiburan dangdut.
Tradisi liburan saat “kupatan” tidak disia-siakan oleh Masrukin, seorang pengusahan Emas asal Kaliputu Kudus. Ia bersama keluarga dan karyawan rencana akan berlibur pergi ke pantai Jepara. Rencana tersebut diutarakan saat ia mengunjungiku. Ia teman kecil di taman bacaan makam Sasro Kartono Kaliputu Kudus. Dahulu, semasa kecil kita sering baca komik yang disediakan pihak pengelola makam. Kita tidak bertemu hampir empat tahun. Setelah tahu keberadaanku, ia menyempatkan diri bersama anak dan istrinya berkunjung ketempatku. Kita ngobrol sampai larut malam sambil merokok kesukaannnya Djarum Super.
Di penghujung obrolan, ia bercerita sambil mengajak liburan “kupatan” bersama karyawannya ke pantai kartini Jepara. Ia pun berkata kalau barang yang akan dibawa saat berlibur pun telah disiapkan, seperti membawa makanan ketupat, membawa opor ayam, membawa sayur lodeh gori, semur ikan kutuk dan semur tahu spesial buatan ibunya. Tidak kalah nikmatnya, ia juga telah menyiapkan rokok kretek Djarum Super dua press bersama bubuk kopi robusta asal lereng gunung muria. Ia menenteng rokok dan kopi sembari diangkat kearah wajahku, supaya aku melihatnya.
Maksudnya, membujuk aku untuk ikut liburan bersama keluarga dan karyawannya. Sebetulnya, dalam hati kecil aku ingin ikut, namun apa daya, aku harus merawat guru juga kiai yang sudah aku anggap simbah sendiri. Semoga liburanmu dipantai Kartini Jepara dihari “kupatan” ini menyenangkan, apalagi ditemani rokok kretek dan kopi muria.