Lewat momen mudik, setidaknya sekali dalam setahun saya kembali mengulang pelajaran matematika atas keinginan saya sendiri. Arus mudik dari Jakarta ke luar dan sebaliknya ketika arus balik terjadi, saya membayangkan rangkaian-rangkaian panah dalam bentuk vektor pada pelajaran matematika. Jika saat arus mudik, vektor berbentuk satu panah keluar Jakarta kemudian panah-panah itu menyebar ke segala arah, pada arus balik, arah vektor itu berbalik, dari segala arah menuju satu tempat di Jakarta. Tidak sesempurna itu memang. Namun berita di televisi dan media cetak didominasi oleh Jakarta.
Ketika pada akhirnya saya juga mesti merasakan mudik meskipun lewat arah sebaliknya—saya mudik ke Jakarta, tepatnya Rawabelong, kampung Abah dan Umi saya—pelajaran-pelajaran dari vektor arus mudik-arus balik itu tak sekadar perihal matematika. Vektor-vektor itu mengantar saya mempelajari beberapa hal lainnya. Misal ketika sekali waktu dalam perjalanan menggunakan kereta api kembali ke Yogya usai mudik ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda asal Temanggung, Jawa Tengah. Ia baru sempat mudik usai lebaran karena ada pekerjaan yang mesti diselesaikan.
Hampir separuh waktu perjalanan Pasar Senen-Lempuyangan, kami berbincang perihal Temanggung, gunung, dan komoditas Tembakau yang menjadi primadona di sana. Pemuda itu menceritakan perihal desa tempat keluarganya tinggal, desa dengan lokasi berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut. Ketika Ia balik bertanya kepada saya perihal asal-usul saya, alih-alih menceritakan Rawabelong kepadanya, saya malah menceritakan pengalaman saya dan pandangan saya tentang Kabupaten Temanggung.
***
Kali pertama dan terakhir mendaki Gunung Sumbing terjadi pada sebelas tahun yang lalu. Ketika itu lagi-lagi seorang diri saya mendaki gunung. Sebenarnya saya enggan mendaki gunung sendiri. Namun kadang perjalanan semacam itu saya butuhkan. Meskipun memutuskan mendaki seorang diri, saya memilih gunung yang ramai dikunjungi pendaki lain. Jadi sesungguhnya saya tidak benar-benar mendaki seorang diri. Ada banyak teman di jalur pendakian.
Trauma menyebabkan saya enggan kembali mendaki Gunung Sumbing. Enggan meskipun ada teman satu tim, lebih lagi jika mendaki lagi seorang diri. Saya kira di jalur pendakian gunung bebas dari kasus-kasus kejahatan. Nyatanya tidak sama sekali. Teman-teman saya tertawa mencibir mendengar perkiraan itu. Mereka bilang, “Jangankan di gunung, di rumah-rumah ibadah saja, kasus kejahatan tetap ada dan pernah terjadi.” Memang betul ucapan mereka. Saya membuktikannya sendiri di jalur pendakian Gunung Sumbing via Desa Garung yang terletak di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.
Baca: “Kupatan” di Pantura, Asyiknya Berlibur Berbekal Rokok Kretek
Pagi-pagi sekali, selepas subuh saya sudah meninggalkan Desa Garung untuk mendaki Gunung Sumbing. Perlengkapan saya semuanya masuk dalam dua buah tas. Satu ransel berukuran besar yang saya gendong di punggung dan satu lagi tas berukuran kecil yang saya sangkutkan di pundak dengan bagian utama tas di depan dada dan perut. Pohon-pohon tembakau belum lama di tanam, mayoritas tingginya sebatas lutut orang dewasa. Jalan beraspal sudah selesai saya lalui saat hari masih gelap.
Saya tiba di Pos 1 ketika matahari sudah benar-benar terbit. Bumi yang terang membuat saya memutuskan untuk berhenti menikmati pemandangan sekitar Pos 1. Dibanding saudara kembarnya Gunung Sindoro, jalur pendakian Gunung Sumbing sedikit lebih terjal. Yang sama dari keduanya, sama-sama kering, tandus dan gersang. Karena masih pagi, saya memilih jalan santai dari Pos 1 menuju Pos 2. Jalan terjal menanjak memang cocok jika ditempuh dengan jalan santai. Jika sudah terlalu terengah-engah bernapas, saya berhenti cukup lama. Perjalanan kembali dilanjutkan ketika saya rasa napas sudah kembali normal.
Tiba di Pos 2 perut saya belum terasa lapar. Panas matahari dan jalur menanjak membikin saya melulu merasa haus. Saya tetap memilih berjalan santai dari Pos 2 menuju Pos 3. Azan zuhur terdengar ketika saya dalam perjalanan menuju Pos 3. Setengah jam kemudian saya sudah tiba di Pos 3. Membuka makanan ringan sebagai menu makan siang dengan air mineral sebagai pendorong. Biasanya saya tetap memasak ketika rehat makan siang meskipun sekadar bihun atau mie instan dan segelas teh panas. Namun pilihan jalan santai selepas Pos 1 hingga Pos 3 membikin saya mesti bergegas. Saya khawatir kemalaman tiba di puncak dan kesulitan mencari lokasi nyaman mendirikan tenda.
Melihat kondisi Pos 3 Sedelupak Roto, saya berencana mendirikan tenda di sini usai mendaki hingga Puncak Gunung Sumbing. Beberapa titik sudah saya survey sebagai calon lokasi mendirikan tenda. Berdasar hitungan saya, perjalanan menuju puncak membutuhkan waktu empat jam dari Pos 3, perjalanan kembali ke Pos 3 saya prediksi sekitar satu jam. Jadi jika hitung-hitungan ini sesuai, sebelum hari benar-benar gelap tenda saya sudah berdiri di Pos 3.
Dari Pos 2 hingga Pos Watu Kotak, perjalanan saya ditemani kabut yang perlahan turun. Keberadaan kabut membantu menghalangi sinar matahari langsung menerpa tubuh. Cuaca menjadi sejuk membantu memudahkan perjalanan. Kurang dari dua jam saya tiba di Watu Kotak. Setelah istirahat sebentar saya melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gunung Sumbing. Jalur mendaki dengan batu-batu memenuhi jalur dan vegetasi yang semakin jarang menjadi pemandangan sepanjang pendakian menuju puncak. Sore yang berkabut dengan angin bertiup cukup kencang menyambut kedatangan saya di puncak. Puncak sudah ramai oleh aktivitas pendaki. Hitungan cepat saya, ada lebih dari 15 pendaki di puncak.
Kurang dari 15 menit saya berada di puncak lalu bergegas turun. Keputusan saya lekas turun ini menjadi keputusan yang betul-betul saya sesali. Di jalur sepi menjelang tiba kembali di Watu Kotak, empat orang pria menghadang saya. Dari penampilannya, saya menduga mereka warga lokal, bukan pendaki. Dua orang dari mereka menyeret saya menjauhi jalur pendakian. Dua lainnya berjaga-jaga di jalur pendakian.
Di sela-sela pohon edelweis, dua orang itu meminta seluruh barang bawaan saya. Keduanya meminta sembari mengancam saya dengan masing-masing memegang sebuah parang. Saya tak bisa melawan dan tak berani melawan. Dengan pasrah saya menyerahkan seluruh barang bawaan saya. Seluruhnya kecuali yang menempel di tubuh saya. Saku celana juga mereka paksa untuk di kosongkan. Setelah berhasil merampas seluruh barang bawaan saya, merek berempat bergegas pergi. Dalam kondisi ketakutan tanpa barang bawaan apapun, bahkan tidak dengan setetes air sekalipun. Saya bergegas turun gunung. Saya berlari menuruni gunung. Berlari karena ketakutan, berlari karena khawatir malam lekas datang sedang tak ada lampu senter sebagai alat bantu menerangi jalan.
Tak ada pikiran untuk menunggu pendaki lainnya turun. Yang ada di pikiran saya hanya lekas turun, lekas turun, bersegera turun. Beberapa pendaki yang saya jumpai ketika saya berlari turun sama sekali tak saya hiraukan. Kira-kira setengah jam sebelum saya tiba di jalan desa, malam tiba. Ini hanya perkiraan saja karena jam tangan dan hape tempat biasa saya melihat waktu-waktu untuk diingat dan dicatat turut raib bersama seluruh barang lainnya. Dalam kondisi normal, mustahil saya bisa secepat itu kembali ke basecamp. Ketakutanlah yang membantu saya turun gunung dalam waktu cepat.
Saya melaporkan kejadian perampokan yang saya alami di basecamp. Pengelola basecamp dan para pendaki yang ada di basecamp berusaha menenangkan saya. Malam hari saya tak bisa tidur. Ketakutan masih menghantui saya. Pagi harinya saya di antar ke jalan raya tempat bis jurusan Wonosobo-Magelang melintas. Pengelola basecamp juga membekali saya uang Rp20 ribu untuk ongkos pulang Magelang-Yogya.
Gunung Sumbing betul-betul memberikan trauma mendalam pada saya. Hingga kini, jika mengingat kejadian itu, saya masih sulit menerima kejahatan semacam itu bisa saya alami, dan di tempat yang sama sekali sulit saya duga.
***
Trauma yang saya alami, hanya sebatas pada Gunung Sumbing, mendaki Gunung Sumbing. Lain halnya dengan Kabupaten Temanggung tempat sebagian wilayah Gunung Sumbing masuk di dalamnya. Desa-desa yang terletak di kaki Gunung Sumbing, malah menjadi desa yang kerap saya sambangi, di Kecamatan Tembarak, Kecamatan Bulu, dan beberapa kecamatan lainnya. Saya banyak belajar dari petani-petani tembakau yang tinggal di desa-desa di kaki Gunung Sumbing yang masuk wilayah Kabupaten Temanggung.
Ketertarikan saya akan Temanggung dan para petani tembakau di sana, bermula dari film komedi favorit saya. Film komedi yang juga menyelipkan kritik-kritik terhadap kondisi sosial masyarakat negeri ini. Berikut saya narasikan cuplikan adegan dalam film itu:
Di aula gedung kampus, Selamet, Paijo, Sanwani dan Rita, serta beberapa mahasiswa lainnya bergerombol di depan papan pengumuman. Di papan, ada pengumuman dengan ukuran tulisan yang cukup besar: “Camping, Jambore ke 30 di Puncak.” Sembari melirik ke arah Selamet, Paijo berujar, “Yang nggak punya mobil, boleh nebeng sama temennya. Itupun kalau temennya mau. Sekarang harga bensin mahal.” Kemudian Paijo pergi sembari menggandeng Rita.
Selamet tersinggung. Provokasi dari Paijo berhasil. Sanwani dengan karakter betawinya membumbui provokasi Paijo. Ia lantas berujar kepada Selamet, “Heh, kalo elu bener-bener anak orang kaya, minte beliin mubil dong ame babe lu!”
Tanpa pikir panjang, Selamet langsung bereaksi, “Ok. Sekarang juga saya tulis surat kilat, minta uang.”
Begini isi surat Selamet kepada Bapaknya di Temanggung:
Bapak yang Terhormat,
Kalau Bapak masih menghendaki saya untuk terus kuliah, saya minta agar Bapak segera mengirimkan uang untuk membeli mobil. Yang kuliah di sini, semuanya anak-anak orang kaya. Cuma saya yang tidak punya mobil, dan sudah bosan naik bajaj. Saya sebagai anak petani tembakau yang terkaya, terlalu dihina. Jakarta memang kota keras, kalah bersaing akan digilas.
Sembah sujud, putramu,
Selamet.
Mengenakan pakaian khas jawa lengkap dengan blangkonnya, sesekali cerutu yang terselip di antara jemari tangan kanannya ia isap sembari terus membaca surat. Membaca surat yang dikirim oleh anak kesayangannya, Bapak dari Selamet naik pitam. Selesai membaca surat, ia menggebrak meja, lalu berteriak, “ Kurang ajar! Jangan kata baru mobil, kalau perlu, Jakarta kalau mau dijual aku beli. Wong Jakarta terlalu menghina karo wong desa.” Segera ia memanggil pembantunya, memintanya mengirim uang untuk Selamet. Dikirim kilat.
Adegan di atas merupakan cuplikan dari film berjudul Gengsi Dong. Film produksi tahun 1980 ini diperankan oleh Dono, Kasino, dan Indro yang tergabung dalam grup Warkop DKI dan Camelia Malik, sebagai pemeran utama. Film ini berkisah tentang dunia perkuliahan dan kehidupan mahasiswa dari berbagai latar belakang keluarga. Paijo (diperankan oleh Indro) berasal dari keluarga kaya anak juragan minyak. Sanwani (diperankan oleh Kasino) anak betawi asli yang sengak dan ngocol. Bapaknya membuka usaha bengkel mobil di rumah, kondisi ini membuat ia bisa berlagak kaya dengan gonta-ganti mobil milik pelanggan Bapaknya. Selamet (diperankan oleh Dono) anak petani tembakau sukses di Temanggung, merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Selama di kampus, ia menjadi bulan-bulanan Paijo dan terutama Sanwani. Ada saja ulah mereka untuk mengusili Selamet yang lugu dan polos.
Masa kecil saya berada pada zaman di mana waktu libur sekolah dan libur hari raya diisi dengan tayangan televisi yang memutar berulang-ulang film-film yang diperankan oleh grup Warkop DKI. Ini tentu sangat menyenangkan karena saya sangat menyukai film-film Warkop DKI. Selain di film Warkop DKI, akan sulit menemukan kelucuan-kelucuan, sindiran-sindiran dan perempuan-perempuan cantik berbalut pakaian seksi dalam satu frame saat itu. Kelucuan dan sindiran dalam film Gengsi Dong bercampur sekaligus, mengajak tertawa sekaligus berpikir tentang dikotomi desa vs kota, dan sikap-sikap meremehkan petani, anak petani, meskipun mereka berasal dari keluarga petani sukses dan kaya raya di desa.
Kondisi sosial yang dikritisi Warkop DKI di periode 80-an masih terus berlangsung hingga hari ini. Banyak dari kita tentu pernah mendengar dan cukup familiar dengan kata ‘ndeso’. Kata-kata ‘ndeso’ biasa digunakan untuk menyindir. ‘Ndeso’ dipakai sebagai ungkapan untuk merendahkan, menganggap ia yang dibilang ‘ndeso’ terbelakang, tak berpendidikan dan kurang pengetahuan. Tentu saja ‘ndeso’ berasal dari kata ‘desa’. Ini aneh dan mengusik nalar saya. Meskipun pada akhirnya ‘ndeso’ digunakan sebagai candaan belaka, saya masih belum bisa menerima, tetap saja candaan itu merendahkan, dan ‘desa’ menjadi alatnya. Karena tanpa desa dan sumber daya alam dan manusia di desa, negeri ini tak akan ada. Jadi tidak sepantasnya kata desa dijadikan alat untuk meremehkan atau sekadar candaan.
Selamet yang berasal dari desa dan anak petani, menjadi kombinasi yang pas untuk menjadi bulan-bulanan anak-anak kota. Meskipun orang tua Selamet seorang petani kaya raya, itu bukan alasan untuk berhenti memandang sebelah mata Selamet. Karena ia tetaplah anak desa, dan, anak petani.
Lewat jalur yang cukup rumit inilah saya jadi kenal Temanggung, dan tertarik lebih dalam untuk kian mengenalnya. Lewat film komedi, ditambah dengan kunjungan ke dua gunung yang mengapit Kabupaten Temanggung tempat desa-desa yang dihuni petani dengan tembakau sebagai komoditas andalan mereka saya tertarik dan akhirnya bisa berinteraksi langsung dengan para petani tembakau di Desa Kledung dan Desa Garung.
Lalu bagaimana dengan kondisi petani saat ini? Masih belum jauh berbeda. Pada kasus tertentu, sikap-sikap merendahkan petani kian menjadi. Ini beriringan dengan budaya modernisme yang terus-menerus dipuja seakan tanpa cela.
Untuk kasus petani tembakau sebagai contoh, mereka bukan saja sekadar diremehkan dalam pergaulan sosial, akan tetapi mereka hendak digembosi secara ekonomi. Banyak gerakan yang mengatasnamakan kepedulian terhadap kesehatan berusaha keras menghalangi petani tembakau untuk terus menanam tembakau. Padahal, tembakau berhasil mengangkat taraf hidup mereka, memutar dengan lebih cepat roda perekonomian desa, membuka banyak peluang kerja bagi banyak orang.
Melihat fenomena semacam ini, saya tentu setuju dengan Bapak dari Selamet, mereka yang terus menerus mencoba menggembosi petani memang, kurang ajar!
Dua tahun belakangan, saya bukan hanya sekadar bisa berinteraksi dengan petani-petani tembakau di Temanggung. Lebih dari itu, saya bekerja bersama-sama petani tembakau Temanggung dalam program beasiswa pendidikan bagi anak-anak petani dan buruh tani tembakau di 12 kecamatan di Temanggung. Program ini memberi kesempatan saya lebih jauh lagi. Bukan sekadar mengenal petani, tetapi saya juga bisa berinteraksi banyak dengan anak-anak mereka, dan memantau langsung perkembangan belajar mereka di tingkat SMA.
Di Puncak Gunung Sumbing, kenangan buruk yang memicu trauma mendalam bagi saya terus tersimpan. Ketika itu, nyawa saya betul-betul terancam. Dua kali terancam. Terancam lewat senjata tajam empat orang perampok yang merampok saya. Terancam karena tak ada bekal sama sekali setelahnya padahal saya masih berada tak jauh dari puncak gunung dan hari sudah hampir memasuki malam. Peluang saya tersesat ketika itu begitu besar. Namun, di desa-desa penghasil tembakau di Kaki Gunung Sumbing, saya banyak belajar tentang hidup dan kehidupan, yang pada akhirnya menjadi bara api penyemangat agar selalu menjalani hidup sebaik-baiknya dalam balutan kesederhanaan.
Di Puncak Gunung Sumbing, saya begitu dekat dengan kematian, di desa-desa di kakinya, saya menemukan kehidupan.
***
Kami—saya dan pemuda asal Temanggung yang duduk di sebelah saya dalam kereta api—berpisah di Stasiun Lempuyangan, Yogya. Saya kembali ke rumah kontrakan saya, Ia melanjutkan perjalanan ke Temanggung bersama Kakak Iparnya yang sudah sejak setengah jam sebelum perpisahan kami tiba di Stasiun Lempuyangan.