REVIEW

Toleransi dalam Sebatang Kretek

Saya orang yang percaya, semakin sedikit hukum dan peraturan yang dibuat, semakin baik sebuah komunitas dalam wadah berbentuk apapun, termasuk negara. Tentu saja berlaku sebaliknya, semakin banyak hukum dan peraturan yang dibuat, komunitas yang dinaungi hukum dan peraturan itu semakin buruk. Sederhannya, pada sisi pertama, kesadaran diri sudah berada pada posisi baik, dan kian menuju semakin baik. Pada sisi kedua, kesadaran diri dan situasi bermasyarakat semakin buruk sehingga diperlukan banyak peraturan untuk mengendalikan itu agar kondisi ideal bisa dicapai. Diperlukan perangkat hukum dan peraturan di sini, bukan lagi sekadar kesadaran diri anggota komunitasnya.


Itu dalam posisi ideal. Ketika pembikin hukum dan peraturan berada pada posisi sejajar dengan mereka semua yang akan menjalani hukum dan peraturan yang telah ditetapkan. Lebih lagi jika seluruh anggota komunitas yang bernaung di bawah hukum dan peraturan itu dilibatkan dalam proses pembuatan peraturan, atau setidaknya diberitahu lewat sosialisasi-sosialisasi pendahuluan. Dan saya sedang ingin membicarakan yang ideal itu, bukan peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang dibikin semena-mena dan melulu diskriminatif jika itu berhubungan dengan peraturan yang terkait dengan produk rokok dan aktivitas merokok.

Tidak, saya sedang tidak ingin membicarakan itu.
Untuk konteks peraturan tentang produk rokok dan terutama aktivitas merokok, dalam posisi sederajat, sama rata, sama dalam mendapatkan hak serta menjalani kewajiban, Apakah bisa menuju kondisi ideal yang sama-sama menguntungkan pihak yang merokok dan pihak yang tidak merokok tanpa perlu membikin hukum dan peraturan yang muluk-muluk dan malah membingungkan? Saya membayangkan itu bisa terjadi dan peradaban yang baik dilihat dari sudut peraturan yang berlaku antara perokok dan bukan perokok. Dan bayangan saya itu, bisa benar-benar terjadi jika dua hal penting sudah benar-benar bisa diterapkan dengan baik baik itu oleh perokok juga oleh bukan perokok. Dua hal penting itu adalah kesadaran diri dan sikap toleransi.


Jika kesadaran diri dan sikap toleransi ada dan dipraktikkan dengan baik, cukup peraturan-peraturan mendasar saja yang diperlukan. Selanjutnya, kedua sikap penting tersebut mampu memandu semua pihak agar tidak saling terganggu dan saling mengganggu. Tak ada lagi perdebatan melelahkan, tak ada lagi saling serang yang memojokkan, dan tak ada lagi keributan-keributan tak berujung yang melelahkan karena dua belah pihak sama-sama mengusung argumen yang masing-masing pihak merasa sama kuatnya. Tak ada lagi semua itu. Yang ada sebatas sikap kesadaran diri dan saling toleransi yang menyenangkan.


Jika kesadaran diri dan toleransi betul-betul hadir dalam diri para perokok, tak ada lagi kasus-kasus memalukan semacam merokok di tempat yang dilarang merokok semisal pada fasilitas kesehatan, ruang tertutup yang ditetapkan wilayah larangan merokok, rumah ibadah, dan beberapa tempat dilarang merokok lainnya. Tak ada juga kasus bercecernya sampah puntung rokok di mana-mana. Kesadaran diri juga menuntun para perokok untuk tidak merokok di dekat anak kecil apalagi menawarkan rokok kepada anak kecil. Tidak merokok didekat ibu hamil, dan, ini yang agak berat, tidak merokok didekat mereka yang memang alergi atau terganggu dengan keberadaan asap rokok.


Kesadaran diri dan toleransi yang lebih jauh lagi juga dibutuhkan ketika para perokok rela untuk tidak merokok di keramaian yang padat manusia dan diisi bukan hanya oleh perokok saja. Mereka para perokok mencari lokasi yang aman dan nyaman yang dirasa tidak mengganggu orang lain. Tentu saja tidak merokok dalam kendaraan dan tidak merokok saat berkendara juga harus menjadi kesadaran diri yang paling mendasar kini.


Kesadaran diri dan toleransi diperlukan bukan hanya dari satu pihak semata. Mereka yang tidak merokok juga mesti menerapkan dua sikap ini terkait aktivitas merokok para perokok. Problem utama mereka yang tidak merokok adalah menganggap buruk segala sesuatu yang berhubungan dengan produk rokok dan aktivitas merokok. Lebih dari itu, mereka ingin menularkan anggapan itu mentah-mentah kepada para perokok. Jika ini masih terus terjadi, kondisi ideal yang menguntungkan dua belah pihak mustahil terbentuk.


Mereka yang tidak merokok mesti menghadirkan kesadaran diri dan sikap toleransi dalam diri mereka terhadap para perokok. Silakan menganggap rokok itu buruk, namun cukup selesai pada diri Anda saja. Karena para perokok punya argumen dan keyakinannya sendiri yang saya kira, tak kalah kuat dipegang dengan mereka yang tidak merokok memegang argumen dan keyakinannya.


Jika kesadaran diri dan toleransi itu hadir dalam diri mereka yang tidak merokok, mereka akan sadar bahwa merokok itu aktivitas legal yang dilindungi undang-undang, merokok itu hak siapapun yang syarat usianya sudah terpenuhi. Maka dengan sadar diri mereka akan menghormati itu. Jika kesadaran diri dan toleransi itu ada, mereka yang tidak merokok akan memaklumi para perokok yang merokok di ruang-ruang yang diperbolehkan merokok. Tidak mencibir apalagi mengkhotbahi mereka yang merokok itu. Mereka akan menoleransi para perokok dan pilihan mereka untuk merokok. Jika kesadaran diri dan sikap toleransi ada, tak akan ada peraturan aneh semacam desa bebas rokok, kampung tanpa asap rokok, kelurahan anti-tembakau, dan peraturan-peraturan sejenis.
Dan pada puncak kesadaran diri dan sikap toleransi itu, mereka yang tidak merokok mesti bisa memahami bahwa produk rokok dan aktivitas merokok, bukan sekadar hitam-putih, baik-buruk, dan pemisahan berdasar oposisi biner semata. Dalam produk rokok dan aktivitas merokok, ada karya di sana, ada pilihan untuk relaksasi, ada sarana untuk bersosialisasi, dan terutama, ada jutaan manusia yang mengandalkan hidup dan kehidupannya dari sektor tersebut. Jadi, mari bersama kita menuju kondisi ideal tanpa perlu membikin hukum dan peraturan yang aneh bin ajaib, kita ganti semua itu dengan membangun kesadaran diri dan sikap toleransi.