OPINI

Badan Pusat Statistik Mendorong Komplain Terhadap Naiknya Harga Rokok

“Rokok ini terus naik, inflasi dari rokok ini naik. Rokok naik kok nggak ada yang komplain ya. Pelan-pelan ini naik kontribusi rokoknya meningkat di kota12.22% di desa 11.36% kalau dibandingkan posisi Maret dan September,” kata Suhariyanto Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) di kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin 15 Juli 2019.

Menurut BPS, tingkat kemiskinan di Indonesia per bulan Maret 2019 tercatat menurun hingga 9.41% dari bulan September 2018 sebesar 9.66%. Masih ada sekitar 25.14 juta orang Indonesia kategori miskin. Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, harga rokok memiliki andil terhadap faktor kemiskinan 11.38% di pedesaan dan 12.22% di perkotaan. Artinya, semakin tinggi harga rokok, maka akan semakin tinggi pengaruhnya sebagai penyumbang kemiskinan.

Baca:  Merokok Adalah Hiburan Masyarakat Desa

BPS merilis komoditas penyumbang kemiskinan menurut urutannya meliputi: beras, rokok kretek, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, hingga tempe dan tahu. Artinya penyumbang kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan adalah bahan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Beras memiliki andil kemiskinan sebesar 20.59% di perkotaan dan 25.97% di pedesaan. Rokok memiliki andil 12.22%  di perkotaan dan 11.36% di Pedesaan. Telur ayam ras memiliki andil 4.26% di perkotaan dan 3.53% di Pedesaan. Daging ayam ras memiliki andil 3.83% di perkotaan dan 2.20 di pedesaan. Mie instan, andil 2.40% di perkotaan dan 2.18% di pedesaan. Gula pasir, andil 2.06% di perkotaan dan 2.89 di pedesaan. Tempe ikut serta andil penyumbang kemiskinan sebesar 1.65% di perkotaan dan 1.54% di pedesaan. 

Diluar bahan pokok makanan, turut serta menyumbang kemiskinan antara lain adalah perumahan, bahan bakar BBM, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi. 

Terlihat dari data BPS, penyumbang kemiskinan di Indonesia adalah kebutuhan primer. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan primer masih relatif tinggi. Namun yang perlu dicermati, apakah pengeluaran untuk kebutuhan primer di atas masih pada batas kewajaran atau tidak, perlu ada kajian lebih lanjut. Ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu; masalah harga atau masalah berlebihan konsumsi. Yang nomor dua saya kira tidak terjadi, kalau pun terjadi tidak mayoritas, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mungkin mengonsumsi atau hidup berlebihan. Dan tidak signifikan jika menjadi masalah penyumbang kemiskinan. 

Sedangkan yang nomor satu mengenai harga, lebih signifikan penyumbang kemiskinan. Semakin tinggi harga bahan pokok keperluan sehari-hari dan harga kebutuhan primer di atas maka semakin tinggi pengaruhnya sebagai penyumbang kemiskinan.

Baca: Relaksasi dan Rekreasi dengan Rokok

Pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan primer sebagai satu kebutuhan wajib sebagai manusia yang memerlukan pangan papan dan sandang. Seperti beras, tiap manusia hidup perlu makan, bahan pokok makan bagi masyarakat Indonesia mayoritas nasi. Makan rata-rata tiga kali dalam sehari. Perumahan, juga penting sebagai tempat tinggal untuk keamanan, kenyamanan dan kemandirian. Bahan bakar, listrik, pendidikan juga sebagai penunjang orang untuk bekerja dan hidup. Tidak kalah pentingnya, merokok sebagai relaksasi dan rekreasi. Daging, telur, tahu dan tempe penunjang untuk gizi manusia dan seterusnya. 

Jadi, jika BPS merilis bahwa penyumbang kemiskinan adalah kebutuhan primer di atas, menjadi wajar. Karena kebutuhan di atas adalah kebutuhan untuk syarat dan hajat hidup manusia. Semakin bertambah manusia, juga akan semakin bertambah keperluan kebutuhan primer. 

Temuan BPS di atas, harus menjadi dasar pembangunan pemerintah ke depan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia, terlebih program pengentasan kemeskinan. Upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi penyebab kemiskinan sebagaimana temuan BPS. Yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah menurunkan harga atau mensubsidi agar pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan primer tidak terlalu tinggi. Pemerintah tidak akan bisa menghilangkan komoditas, baik makanan atau non makanan di atas agar tingkat kemiskinan menurun. Alasannya cukup jelas, bahwa komoditas di atas adalah kebutuhan primer masyarakat Indonesia, untuk pangan papan dan sandang. Sekali lagi yang hanya bisa dilakukan pemerintah hanyalah menurunkan harga komoditas tersebut. 

Temuan BPS di atas, juga seharusnya sebagai masukan dan dasar bea cukai dan menteri perekonomian, untuk tidak menaikkan lagi cukai rokok kretek (rokok asli Indonesia). Seperti halnya apa yang telah dikatakan Suhariyanto sebagai Kepala BPS di atas, bahwa yang dimaksudkan adalah harga rokok turut andil menjadi faktor kemiskinan. Dengan kata lain, jika harga rokok murah, maka kemiskinan akan menurun. Mahal dan murahnya rokok faktor utamanya adalah pungutan pajak pemerintah melalui cukai. Jika dihitung sederhana, 60% dalam satu batang rokok adalah pungutan cukai. Asumsi sederhananya, seumpama harga eceran rokok Rp 1000, maka yang masuk pemerintah adalah Rp 600, dan Rp 400 milik industri. Dari Rp 400 bagian industri dibagi untuk biaya produksi yang meliputi biaya beli bahan baku (tembakau, cengkeh, ketas, lem, dll) juga biaya karyawan dan operasional, baru keuntungan. 

Jadi pada dasarnya, yang mendapatkan keuntungan paling banyak pada sektor pertembakauan adalah pemerintah, dan tidak menanggung resiko. Laku dan tidak lakunya rokok adalah resiko industri, bukan urusan pemerintah. Apalagi, semua pungutan cukai harus dibayar oleh industri dimuka. Artinya pungutan cukai dalam satu batang rokok harus dibayar industri dimuka, sebagai dana talangan sebelum rokok terjual. Asumsinya, jika rokok tidak terjual, maka kerugian yang menanggung industri, bukan pemerintah. 

Untuk itu, dari temuan BPS di atas, pemerintah harus mengambil kebijakan yang mengarah demi kesejahteraan masyarakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan yang disebabkan komoditas di atas sebagai kebutuhan primer, dengan menurunkan harga atau mensubsidi semua komoditas primer tanpa terkecuali.