REVIEW

Drama Informasi Penyebab Meninggalnya Sutopo Purwo Nugroho

Sudah sepekan masyarakat Indonesia telah kehilangan Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tepatnya hari Minggu, 07 Juli 2019. Sosok yang selalu sigap memberikan informasi tentang bencana kepada masyarakat luas kapanpun tidak mengenal waktu, tidak mengenal lelah. Ia adalah Sutopo Purwo. Berita yang beredar, disaat ia berjuang melawan penyakit kanker paru-paru yang dideritanya, ia tetap bekerja dan tetap berusaha memberikan informasi kebencanaan pada masyarakat. Semoga amal ibadah beliau diterima Tuhan Yang Maha Esa Amin.


Sebetulnya tidaklah pantas, sebab musabab meninggalnya di tarik-tarik dalam pemberitaan yang diolah untuk kepentingan kelompok tertentu, dan menyudutkan kelompok lain. Yang terjadi demikian, setelah meninggalnya Sutopo Purwo gara-gara kena kanker paru-paru, ada pihak anti rokok memberitakan secara masif bahwa terkenanya kanker paru-paru akibat paparan asap rokok sebagai perokok pasif. Dan berita tersebut kemarin terus menerus diulas dibanyak media dengan gaya bahasa berbeda namun intinya sama. Inilah berita yang didramatisir anti rokok, seolah-olah berita tersebut memang benar adanya.


Drama tersebut sama sekali tidak benar, dan hanya cerita tanpa dasar. Masih ingat pakar hematologi dan unkologi medik dari rumah sakit Dharmais, yaitu Dr. Ronald A Hukom, MH.Sc,Sp, PD., mengatakan yang intinya bahwa pemicu kanker paru atau resiko karsinogen adalah polusi udara yang berpartikel. Sasaran utamanya adalah udara di perkotaan, terjadi polusi asap gas buang baik dari kendaraan ataupun dari pabrik, polusi serat asbes, dan polusi bahan kimia yang tidak bisa dihindari keberadaannya.


Dimana-mana setiap sudut tiap perkotaan terjadi demikian, karena saking padatnya pengguna kendaraan baik umum atau pribadi yang mengeluarkan asap gas, saking banyaknya industri juga mengeluarkan asap, belum lagi pencemaran akibat pembuangan limbah rumah tangga ataupun industri. Inlah yang biasa terjadi di perkotaan yang dilihat oleh Dr. Ronald A Hukom , apalagi tanaman penghijauan sudah mulai jarang, akibat banyak bangunan gedung berdiri. Inilah penyebab kanker yang utama. Kalaupun ada asap rokok, itu hanya sebagian kecil, dibanding asap-asap lain. Jumlah perokok di Indonesia lebih kecil dari pada jumlah yang tidak merokok. Tapi beritanya, selalu yang terkena kanker baik yang merokok dan yang tidak merokok dihubungkan dengan asap rokok.


Tidak hanya kanker paru yang dihubungkan dengan paparan asap rokok, sampai-sampai semua penyakit dihubungkan dengan rokok. Jika ada kaum adam pergi berobat ke dokter, yang pertama kali ditanyakan dokter bisa dipastikan adalah anda merokok? andaikan jawabannya ya, dokter pasti menyuruh berhenti merokok.

Bahkan bisa jadi sakit panu pun akan dihubungkan dengan dampak dari asap rokok.
Sungguh ironi, sampai begitunya rezim kesehatan melancarkan pengendalian sektor pertembakauan. Apapun dilakukan, sampai pada hal yang irasional. Buktinya, Litbang dari Kemenkes, melakukan riset kalau kerugian pemerintah mencapai 4.180 triliun.

Penjelasannya,mayoritas penyakit akibat rokok dan paparan asap rokok. Hasil riset ini manafikan adanya penyebab lain yang justru lebih signifikan. Seperti, penyakit yang sifatnya genetik dan masih banyak penyebab yang betul-betul berdampak terhadap penyakit.


Selain dalil kesehatan, masih banyak rekayasa-rekayasa rezim kesehatan untuk memerangi pertembakauan dan rokok. Tidak berhenti disitu, rezim kesehatan bahkan berhasil merebut hasi dari pungutan pajak pertembakauan berupa dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk keperluan kampanye anti rokok. Sampai-sampai kementrian kesehatan membuat buku saku kecil sebagai petunjuk teknis untuk penggunaan dana DBHCHT tersebut. Bahkan ada dibeberapa tempat, dana tersebut untuk membangun sekolah kesehatan, membeli motor dan mobil operasional untuk kesehatan, membeli alat-alat dan fasilitas-fasilitas kesehatan.


Kalau alat dan fasilitas tersebut untuk kemaslahatan masyarakat luas, tentunya dimaklumi, seperti halnya dana DBHCT untuk menutup defisit BPJS. Tetapi, jika dana tersebut untuk memerangi dan kampanye anti rokok, sunggung tidaklah beretika.


Terlihat, anti rokok dan rezim kesehatan di Indonesia memainkan drama untuk pengendalian sektor pertembakauan dan rokok kretek dengan cerita yang didramatisir sedemikian rupa, seakan-akan apa yang mereka ceritakan benar adanya. Bahkan untuk pembenaran cerita tersebut, rezim kesehatan dan anti rokok melakukan pemberitan berulang-ulang dari tahun ketahun hampir sama beritanya. Hal tersebut, sepertinya halnya pemberitaan penyebab meninggalnya Sutopo Purwo dihubungkan dengan perokok pasif atau akibat paparan asap rokok yang dikarenakan banyak pegawai merokok. hal tersebut telah dibantah kepala BNPB, bahwa para perokok telah merokok di tempat yang telah disediakan berupa ruang khusus merokok. Jadi salah besar jika Sutopo Purwo meninggal gara-gara sebagai perokok pasif. Kalau pun, seumpama hanya berupa dugaan atau asumsi seharusnya didasari dengan argumen yang kuat, bukan hanya membuat opini-opini liar dan didramatisir yang kemudian disebar dan dikonsumsi umum. Inilah drama yang diperankan anti rokok dan rezim kesehatan, dengan menggunakan media Sutopo Purwo yang telah meninggal. Sungguh tidak etis apa yang telah dilakukan anti rokok dan rezim kesehatan tersebut, Seharusnya meninggalnya orang yang telah berjasa bagi Negara dan bermanfaat bagi masyarakat, dido’akan dan layak diberikan tanda jasa, bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok yang menyudutkan kelompok lain.


Selamat jalan bapak Sutopo Purwo, mari kita do’akan agar arwah beliau berkumpul dengan orang-orang yang menjadi kekasih Tuhan, amin amin amin…