CUKAI

Matinya Kretek Akibat Simplifikasi Cukai dan Batasan Produksi

Kebijakan PMK No 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sudah sesuai dengan kebutuhan Industri Hasil Tembakau nasional. Di dalam PMK ini struktur golongan tarif cukai memakai pedoman 10 layer tarif cukai. 

Hembusan isu untuk melanjutkan simplifikasi tarif cukai dan juga produksinya sedang digemakan oleh beberapa kalangan, salah satunya datang dari kelompok antirokok. Argumentasi yang dilontarkan oleh mereka adalah simplifikasi tarif cukai dan produksi dilaksanakan agar harga rokok jadi lebih mahal.

Baca: Tarif Cukai Rokok 2019 Tidak Naik dan Simplifikasi Ditunda, KNPK: Langkah Pemerintah Sudah Tepat

Tentu saja argumentasi tersebut tidak tepat dengan kondisi dan situasi Industri Hasil Tembakau nasional, dikarenakan Indonesia memiliki karakteristik produk hasil tembakau yang berbeda dengan negara-negara lainnya. Indonesia memiliki kretek sebagai produk khas hasil tembakau.

Dalam kebijakan tarif cukai dan produksinya, kretek jelas harus dibedakan dengan Sigaret Putih Mesin atau rokok putih. Selain secara bahan baku berbeda, Sigaret Putih Mesin juga didominasi oleh perusahaan multinasional. 

Kretek sendiri merupakan produk khas asli Indonesia yang rantai produksi dari hulu ke hilirnya dikerjakan di dalam negeri dan diolah oleh anak bangsa. Sehingga, kretek perlu dibedakan perlakuannya dengan rokok putihan. Dalam hal ini negara memang sudah seharusnya memberikan proteksi kebijakan terhadap kretek.

Saat ini trend produksi dan konsumsi Sigaret Kretek Tangan (SKT) sedang mengalami penurunan. Jika kebijakan simplifikasi cukai dan produksi diterapkan, maka rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) produksinya akan naik, sementara itu produksi SKT akan mengalami penurunan yang signifikan.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, produksi SKT sejak periode 2011 sampai 2017 terus menurun sebesar 5,5% per tahun. Data penurunan tersebut menjadi catatan penting bagi pemerintah dan stakeholder pertembakauan. Dikarenakan penurunan produksi dan konsumsi SKT dapat berimbas kepada matinya industri kecil menengah.

Apalagi, jumlah pabrik rokok terus mengalami pengurangan. Data Bea Cukai menunjukkan, sejak 2011 jumlah pabrik rokok masih ada sebanyak 1.540. Lalu di 2012 menjadi 1.000 pabrik, pada 2013 sebanyak 800 pabrik, di 2014 menjadi sebanyak 700 pabrik, berkurang menjadi 600 pabrik di 2015 dan 2016. Serta di 2017 hanya menjadi 487 pabrik rokok.

Baca: KNPK Menolak Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau

Padahal, SKT adalah industri yang menyerap tenaga kerja paling besar ketimbang jenis-jenis hasil tembakau lainnya. Industri ini adalah industri padat karya yang menaungi hajat hidup ribuan buruh linting.

Selain mengancam eksistensi kretek, simplifikasi juga dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal ini bukan berdasarkan asumsi semata. Penggabungan struktur cukai tersebut tentu akan berdampak langsung pada struktur persaingan dan keberlanjutan Industri Hasil Tembakau, terutama golongan menengah kecil.

Simplifikasi tarif dan produksi punya potensi memperkuat karakter oligopolistik. Menghabisi industri kecil dan memperkuat pemain besar. Jika persaingan hanya diisi oleh pemain besar, maka akan muncul peredaran rokok ilegal yang disebabkan tertutupnya persaingan sehat bisnis rokok di Indonesia.

Apalagi ditambah dengan kondisi kenaikan tarif cukai yang eksesif oleh pemerintah setiap tahunnya. Konsumen akan dihadapi pada pilihan konsumsi produk yang terbatas dengan harga yang mahal. Maka, konsumsi rokok ilegal akan menjadi pilihan bagi konsumen. Jika pasar konsumennya sudah terbentuk, produksi rokok ilegal akan marak beredar.

Hal-hal yang disebutkan di atas bukanlah ancaman semata, tapi sudah pasti akan terjadi jika simplifikasi tarif cukai dan batasan produksi diterapkan oleh pemerintah. Simplifikasi jelas akan mematikan Industri Hasil Tembakau dan menyebabkan munculnya persaingan usaha tidak sehat di kalangan Industri Hasil Tembakau, alias akan adanya oligopoly yang bertentangan dengan hukum di Indonesia, yang menolak iklim persaingan usaha tidak sehat.