logo boleh merokok putih 2

Ingatan Masa Kecil dalam Seonggok Daging Iduladha

Plastik itu berwarna hitam seperti layaknya plastik kebanyakan. Didalamnya ada seonggoh daging segar yang akan diberikan kepada mereka yang layak membutuhkan. Rutinitas ini setahun sekali adanya. Plastik hitam itu ditunggu-tunggu banyak orang. Plastik hitam itu juga akan dijamah oleh banyak tangan. Plastik hitam itu membawa saya kepada kenangan di waktu silam.

Sebagai seorang Muslim, Hari Raya Iduladha adalah satu hal yang dinanti-nanti. Ia merupakan hari raya kedua bagi umat Nabi Muhammad setelah Idulfitri. Ada peristiwa berbeda yang menandai hadirnya kedua hari sakral tersebut. Bicara soal Iduladha, beberapa ulama sepakat menyebut bahwa ini adalah lambang pengorbanan manusia kepada sosial dan Tuhannya.

Maka lumrah jika jelang dan setelah menunaikan sholat Iduladha, ada banyak daging yang dihidangkan secara gratis untuk seluruh kalangan (meski yang diutamakan adalah kaum papa). Sebelum daging itu dibagikan, secara kolektif warga satu wilayah akan bersama-sama memotong hewan yang diwajibkan untuk dikurbankan yaitu sapi, kambing, domba, hingga onta. Hewan-hewan tersebut juga merupakan hasil sumbangan dari para penderma, baik itu individu atau memang yang dikumpulkan secara bersama-sama.

Momen inilah yang memang saya rindukan, ketika Iduladha tiba, bayangan saya langsung jauh menuju memori di masa kecil. Kala itu kami sibuk menghitung hewan yang sudah dikumpulkan di area masjid. Saya bersama teman-teman juga bermain dengan hewan itu dan sesekali bercanda dengannya. Saat hewan itu hendak disembelih, kami juga sedikit mengintip-ngintip (melihat proses penyembelihan) karena (kadang) tak tega melihat mereka direnggut nyawanya.

Momen-momen bermain di masjid saat hari raya memang satu hal yang indah dan mahal. Jika kami dulu di kampung memang sudah sering berinteraksi satu sama lain, maka di momen hari raya ikatan itu semakin dikuatkan. Mungkin juga di kota, meski tak punya intensitas yang cukup lebih (dalam berinteraksi sesama warga) seperti di kampung, namun jika hari raya tiba semuanya mau tak mau harus saling menyapa dan berkumpul. Semuanya berkumpul hingga malam tiba, berkumpul di depan api dan asap, serta tusukan sate daging yang sangat lezat untuk disantap.

Memori lainnya yang masih diingat adalah saat kami mulai mengamati potongan daging yang masih bergerak-gerak. Rupanya itu adalah denyut otot yang masih tetap bekerja meski hewan tersebut sudah tak lagi bernyawa. Ada lagi, kami mengamati betul hewan-hewan yang dikuliti, takjub memang dengan orang dewasa yang mahir melakukannya saat itu. Kulit tersebut kemudian kadang kami perebutkan, meski tak tahu akan hendak digunakan untuk apa nantinya.

Bermain-main dengan kepala kambing memang satu hal yang lucu saat kecil dahulu. Terkadang kami mengibaratkan tanduknya sebagai setang sepeda lalu membawanya sambil berlarian. Kadang juga kami merasa kebauan akibat bermain terlalu dekat dengan lubang tempat darah dan isi perut hewan yang sudah disembelih. Tapi ada satu yang unik, waktu kecil kami juga berebut mengambil torpedo hewan kurban. Rupanya rasanya nikmat dan memang tak ada gejala apa-apa setelah memakan itu, namun katanya kalau dimakan saat umur sudah dewasa maka reaksinya akan berbeda, entahlah.

Bicara Iduladha adalah soal lebaran di daerah perantauan. Bagi mereka yang merantau, momen lebaran idul adha biasanya dihabiskan bukan di kampung halaman. Tentu banyak faktor, mulai dari materi dan efisiensi waktu mengingat hari liburnya yang tak sebanyak Idulfitri. Tapi rupanya diciptakan dua hari raya bagi umat muslim rasanya memang lengkap (bagi anak rantau), satu untuk dirayakan bersama sanak famili di kampung, satunya lagi bersama tetangga dan rekan kerja di perantauan.

Maka memori anak-anak (dari mereka yang orangtuanya adalah perantauan) adalah soal bermain dengan tetangga komplek serta sekitarnya. Tak sedikit juga yang berkumpul di sekolah untuk merayakan bakar sate dan memakannya bersama-sama. Pada akhirnya memori tentang kisah kecil kita adalah suatu landasan, agar apabila suatu saat mulai jauh dari ajaran agama, kita diingatkan lagi tentang indahnya masa kecil yang kerap selalu mewah dengan momen perayaan ajaran tuhan.

Dari plastik hitam itu aku mengingat masa kecilku, dan dari ingatan masa kecil aku mengingat diriku yang ternyata kini kian jauh dari Tuhan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Indi Hikami

Indi Hikami

Seorang lelaki yang tak pernah merasa kesepian