logo boleh merokok putih 2

Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme

Kampanye anti tembakau jelas bertonasi negatif terhadap industri hasil tembakau. Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, bisa-bisa industri hasil tembakau nasional tinggal sejarah.

Fakta menunjukkan, kontribusi industri hasil tembakau terhadap ekonomi nasional. Hampir 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disumbang oleh industri ini. Tahun ini saja, jumlah cukai rokok yang disetor ke pemerintah mendekati Rp. 150 triliun. Kalau ditambah dengan perpajakan tak kurang Rp. 200 triliun disetor industri hasil tembakau, berikut derivatnya.

Kampanye negatif yang massif terhadap industri hasil tembakau ditenggarai merupakan agenda setting untuk mematikan industri kretek.

Karena itu adalah keniscayaan kalau industri ini harus diselamatkan. Supaya kampanye bisa diredam, ada beberapa hal yang mendesak dilakukan. Seperti tata  niaga sektor tembakau perlu segera dibenahi, kemudian Pemerintah jangan gegabah aksesi FCTC, terakhir pemerintah harus hadir dari dulu ke hilir di sektor tembakau.

Tiga hal itu bisa melandasi langkah awal menangkal derasnya kampanye negatif atau membuat kretek bisa bertahan sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Baca: Mahbub Djunaidi, Kretek, dan Sikap Minder Terhadap Asing

Pemerintah selama ini sering tidak hadir di saat-saat industri atau petani sedang sulit. Misal, ketika musim pancaroba sehingga membuat produksi tembakau anjlok, pemerintah tidak memberi warning jauh-jauh hari bahwa akan ada anomali cuaca.

Hal lain yang patut diperhatikan, seringkali, kampanye negatif terhadap tembakau, disusupkan melalui regulasi-regulasi secara halus. Dampak penyusupan kepentingan  asing ke regulasi ini jelas saja sangat mengancam ekonomi di dalam negeri. Sekaligus juga mengancam kedaulatan nasional.

Kelompok antitembakau, selalu berdalih dengan bahasa pembatasan atau pengendalian. Padahal niatan utama mereka memberangus tembakau dan kretek.

Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.

Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.

Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.

Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.

Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.

Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.

Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia