OPINI

Ketika Pemerintah Plin-Plan Membuat Regulasi Terkait Dunia Pertembakauan

Masalah peredaran rokok di Indonesia, pemerintah cenderung mengambil langkah aman. Sudah saatnya pemerintah harus tegas menentukan sikap pelarangan atau membolehkan peredaran rokok di tengah-tengah masyarakat. 

Sikap pemerintah sampai saat ini menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi pemerintah melalui Kementrian Kesehatan membuat aturan pembatasan dan pelarangan beredarnya rokok, bahkan melarang adanya iklan rokok dan mengatur packaging dengan bermacam gambar dan peringatan yang menggelian. Di sisi lain, pemerintah mendorong peningkatkan pendapatan Negara, mendorong peningkatan ekonomi rakyat, mendorong peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan mendorong pengentasan kemiskinan.

Sekarang, efek sikap pemerintah di atas meluas kemana-mana, mulai dari isu penyederhanaan layer atau penggabungan golongan industri rokok, isu pelarangan iklan rokok di media sosial karena pengguna media sosial banyak anak-anak, sampai pada pelarangan audisi pencari bakat bulu tangkis yang dilakukan Djarum Foundation dengan alasan ekploitasi anak. Ini semua adalah beberapa agenda untuk pengendalian rokok dan tembakau di Indonesia yang alasannya sudah dipatahkan dengan data yang lebih akurat.

Semisal, yang pro dapat menceritakan dan meruntutkan agenda pengendalian rokok dan tembakau di Indonesia sebagai agenda politik dagang internasional. Semua program pengendalian rokok dan tembakau di Indonesia mengadopsi dari program World Health Organization (WHO) organisasi program dunia yang mendapatkan sokongan dana dari industri farmasi. 

Baca:
Ada Campur Tangan Bloomberg dalam Surat Edaran Menkes terkait Pemblokiran Iklan Rokok

WHO tidak semata-mata bertujuan demi meningkatkan taraf kesehatan penduduk. Di sini WHO sebagai ujung tombak industri farmasi. Terjadi peralihan di lingkup kesehatan, dimana dokter dan ilmuwan kesehatan dikuasai perusahan obat (farmasi). Tujuan utamanya tidak lain untuk merebut pasar nikotin dunia, dan menggantikan pemanfaatan nikotin alami dari tembakau dengan produk rekayasa nikotin yang telah dikantongi hak patennya. Keterlibatan WHO memuluskan tujuan industri farmasi tersebut dengan mendorong negara-negara di dunia untuk memberlakukan kebijakan sesuai kerangka kesehatan, tanpa mempertimbangkan peran sosial, ekonomi, politik dan budaya. Walaupun alasan kesehatan yang dibangun ternyata tidak 100% benar dan terkesan dipaksakan. Negara yang menjadi sasaran utama adalah Negara yang berkembang, seperti Indonesia, China, Bangladesh, India, Rusia, Mesir, Thailand, Filipina dan Brazil. 

Untuk menguasai pasar nikotin di dunia, industri farmasi mendapatkan sokongan dana dari bloomberg initiative. Karena salah satu direktur dari persekutuan perusahaan farmasi dunia bernama William R. Brody punya kedekatan dengan bloomberg initiative, selain teman karib juga posisinya sebagai penasehat. 

Tidak mengherankan jika pendukung program pengendalian rokok dan tembakau di Indonesia mendapatkan sokongan dana dari bloomberg initiative termasuk lembaga yang bergerak untuk perlindungan anak, salah satunya Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Apapun bentuk lembaganya, selama mendapatkan kucuran dana bloomberg initiative, program utamanya harus sinergi dengan program bloomberg initiative dan rezim kesehatan dunia (WHO) yaitu pengendalian tembakau dan rokok, terutama rokok kretek asli Indonesia.

Ada sekitar lebih dari 20an lembaga di Indonesia mendapatkan sokongan dana langsung maupun tidak langsung dari bloomberg initiative. Lembaga-lembaga tersebut bervarian, ada lembaga yang bergerak dalam pendidikan, bergerak pemberantasan korupsi, bergerak dalam kesehatan, bergerak perlindungan konsumen, bergerak melindungi anak, bahkan sampai pada lembaga agama. Numun pada intinya leading sector yaitu sektor potensial yang dapat menggerakkan agenda pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia ada pada rezim kesehatan dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Dengan menggunakan dalil kesehatan yang mulia, agenda bloomberg initiative dan farmasi berselancar dengan baik di Indonesia.  

Baca:
Tinjauan Kritis Atas Larangan Iklan dan Sponshorship dengan Mencantumkan Logo, Brand Image, dan Identitas CSR Sebuah Perusahaan

Isu kuat saat ini yang beredar untuk agenda pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia salah satunya, KPAI melarang audisi pencarian bakat bulu tangkis sejak dini yang dilakukan Djarum Foundation dengan alasan ekploitasi anak, Kementerian Kesehatan dan KPAI melarang adanya iklan di media sosia karena akan mengakibatkan bertambahnya perokok pemula, penggabungan golongan industri rokok atau penyederhanaan layer tarif cukai rokok yang intinya pengurangan terhadap industri rokok kretek, menaikkan cukai rokok untuk mengurangi peredaran rokok, dan korelasinya rokok dengan kemiskinan bertujuan agar ada kebijakan menghalau laju industri rokok kretek. 

Pemerintah dalam hal ini harus tegas mengambil sikap, untuk kepastian dan masa depan industri rokok kretek asli Indonesia. Dimana sejarah penemuan rokok kretek tidak lain untuk pengobatan yang dilakukan H. Djamhari sebagai obat sakit bengeknya. Karena rokok kretek adalah campuran tembakau dan cengkeh, berbeda dengan rokok non kretek yang hanya memakai tembakau saja. Selama ini, belum ada uji atau riset bahwa rokok kretek berkorelasi signifikan terhadap timbulnya penyakit yang dituduhkan. Kalau menjadi salah satu bagian kecil penyebab penyakit, tentunya ya dan bukan faktor penyebab utama. Itu seperti halnya barang-barang lain yang dikonsumsi manusia secara berlebihan dan hidup tidak seimbang. Termasuk makan nasi, mengkonsumsi gula dan mengkonsumsi lainnya secara berlebihan, tanpa diimbangi olah raga dan istirahat yang cukup. 

Selain itu, posisi industri kretek sangat stategis bagi bangsa Indonesia. Industri kretek membuktikan tetap bertahan setidaknya lebih dari 130 tahun. Disaat industri lain tumbang di zaman kolonial, industri kretek tetap eksis memberikan penghidupan masyarakat Indonesia. Bahkan tergolong industri yang peka zaman, dengan memberikan kontribusi yang sangat besar. Menghidupi setidaknya 6.1 juta jiwa petani cengkeh yang tersebar di 30 provinsi, petani tembakau yang tersebar di 15 provinsi. Menghidupi ribuan karyawan yang bekerja di industri kretek. Mempunyai multiplier effect ke sektor perokonomian lainnya yang berada di sekitar industri kretek. 

Keberadaan industri kretek berkontribusi adanya hak jaminan sosial dan corporate social responsibility (CSR), seperti halnya jaminan kesehatan, bhakti pendidikan, bhakti budaya, bhakti olahraga, bhakti lingkungan dan lain sebagainya. Berkontribusi pendapatan Negara melalui setoran cukai, berkontribusi bagi kesehatan publik dari alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) untuk sarana kesehatan dan pembayaran defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).  

Selain itu, adanya industri kretek sebagai cermin kemandirian dan kedaulatan bangsa, karena sebagai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dalam hal ini pendapatan masyarakat sebagai agenda pemberantasan kemiskinan. 

Dengan pertimbangan di atas, diharapkan pemerintah dalam hal ini Presiden memberikan ketegasan, apakah industri rokok nasional tetap berproduksi atau dilarang berproduksi. Kalau tetap berproduksi, pemerintah secara totalitas harus melindunginya mulai kebijakan sampai pada strategi pemasarannya. Andaikan dilarang beroperasi, pemerintah paling tidak harus berani mempersiapkan lapangan pekerjaan lain bagi petani dan buruh tani cengkeh dan tembakau, buruh industri dan mungkin menata perekonomian akibat multiplier effect keberadaan industri kretek. Dan yang terpenting keberadaan industri kretek, sebagai industri nasional sebagai perwujudan agenda prioritas  tujuan Nawa Cita, sehingga jangan sampai digiring dan diatur kepentingan asing melalui rezim kesehatan sebagai leading sector, yang belum tentu benar dan terkesan dipaksakan.