logo boleh merokok putih 2

Melihat Petani Tembakau di Temanggung Memanen Tembakau Mereka

Sebagai anak yang lahir hingga lulus SMA tinggal menetap di Jakarta, ingatan saya tentang perkebunan homogen yang cukup luas sangat terbatas. Masa kecil hingga remaja saya habiskan dengan menumpuk memori tentang gedung-gedung tinggi, bangunan-bangunan beton, dan kepadatan suasana kota yang jauh dari suasana pemandangan hijau yang menyejukkan mata. 

Seingat saya, memori tentang perkebunan homogen skala luas saya dapat ketika berlibur ke daerah Puncak, Bogor. Saya melihat perkebunan teh pada kontur pegunungan dan perkebunan cemara di beberapa tempat sebelum akhirnya saya tiba di lokasi wisata Cibodas. Di luar itu, paling sesekali saya melihat sawah yang ditumbuhi padi ketika saya diajak jalan-jalan ke daerah Kuningan dan Cirebon oleh orang tua saya.

Referensi tentang perkebunan homogen skala luas baru bisa saya perkaya usai saya meninggalkan Jakarta setelah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di bagian utara Yogyakarta. Saya menemukan sawah yang ditanami padi di banyak tempat, kebun-kebun buah naga, dan perkebunan cengkeh yang cukup terbatas. 

Baca: Tembakau Adalah Takdir Desa Kami

Referensi itu semakin kaya ketika saya pada akhirnya menggemari olahraga mendaki gunung dan mesti pergi ke desa-desa yang cukup jauh di kaki-kaki gunung yang saya daki. Di sana, saya bisa melihat banyak perkebunan lainnya yang dikelola dengan penuh dedikasi oleh para petani. Salah satu perkebunan yang saya lihat tumbuh dan dirawat dengan begitu baik di kaki-kaki gunung adalah perkebunan tembakau. Di kaki Gunung Sumbing, Sindoro, Merapi, Merbabu, dan beberapa gunung lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Entah mengapa, saat melihat perkebunan, juga hutan, saya merasakan ketenangan merasuk ke dalam diri saya. Saya sulit menjelaskan apa yang menyebabkan itu semua bisa terjadi. Saya menduga, bisa jadi karena pengalaman masa kecil dan remaja saya yang begitu terbatas dengan suasana semacam di perkebunan dan di lingkungan yang dekat dengan hutan. Masa kecil dan remaja saya melulu dipenuhi kenangan perihal kemacetan, kepadatan penduduk dan permukiman, dan gersangnya wilayah Jakarta dengan sedikit tumbuhan yang tumbuh di sana.

Jika pada masa kanak-kanak dan remaja saya hanya bisa menikmati komoditas yang ditanam di perkebunan sebatas di meja makan, atau dalam cangkir dan gelas kopi dan teh yang disajikan untuk saya, atau dalam rokok kretek yang dinikmati kakek dan paman-paman saya, semasa kuliah, saya pada akhirnya sudah bisa melihat komoditas-komoditas perkebunan itu ketika mereka tumbuh di ladang-ladang yang dikelola petani. Akan tetapi hanya sebatas itu, hanya sebatas sebagai pengamat saja. Melihat perkebunan-perkebunan itu dari dekat.

Baca: Mengenal Jenis Tembakau Terbaik Temanggung

Pada 2016, tepat ketika musim panen kopi tiba, pada akhirnya saya bukan sekadar sebagai penikmat yang menikmati pemandangan yang disajikan perkebunan-perkebunan ekonomis yang dikelola petani. Lebih dari itu, saya mendekat kepada petani, dan belajar banyak dari mereka bagaimana mereka mengelola perkebunan milik mereka dan berusaha bertahan hidup dan menghidupi keluarga dari perkebunan yang mereka kelola, baik itu di tanah milik sendiri, atau di tanah milik orang lain yang pengelolaannya diserahkan kepada petani dengan sistem bagi hasil atau sewa kontrak.

Pada mulanya dari perkebunan kopi, lantas setahun berikutnya merambah ke perkebunan cengkeh, lalu setelahnya, hingga kini, saya begitu dekat dengan perkebunan tembakau, para petani tembakau, hingga kehidupan keluarga dan terutama anak-anak petani tembakau. Utamanya di wilayah Temanggung.

Sejak 2016 akhir, hingga hari ini, setidaknya tiga sampai empat kali dalam sebulan saya bolak-balik Yogya-Temanggung bertemu dengan petani dan anak-anak petani tembakau di sana. Adakalanya saya pulang hari, kerap saya juga menginap di Temanggung, semalam, dua malam, dan hingga bermalam-malam sekehendak saya. Dari kunjungan-kunjungan itu, saya belajar banyak dari petani tembakau seperti apa mereka mengelola kebun tembakau milik mereka. Jika dahulu saya sekadar menjadi penikmat rokok kretek yang tembakau-tembakaunya diambil dari ladang-ladang mereka. Kini, sudah sedikit meningkat. 

Saya bukan sekadar penikmat kretek, tetapi sedikit-sedikit sudah mulai mengetahui proses produksi komoditas yang menjadi bahan utama pembikin rokok kretek. Dari banyak informasi yang saya dapat dari petani perihal komoditas tembakau mereka, salah satunya, yang baru beberapa hari lalu saya pahami, adalah proses panen panjang yang mereka lalui ketika kebun-kebun tembakau mereka sudah memasuki musim panen.

Baca: Tembakau Lauk dari Temanggung

Sekira sepekan lalu, saya kembali berkunjung ke Temanggung untuk bertemu beberapa petani tembakau di Desa Tlilir. Musim panen sudah tiba di Temanggung. Hampir tiap sudut di Kabupaten Temanggung, dibanjiri oleh tembakau-tembakau yang sudah selesai dipanen dan sedang dijemur. Di ladang-ladang, tembakau yang belum dipanen masih tumbuh dan menanti giliran dipanen. Aroma tembakau yang khas meruak seantero Temanggung, menyapa indera penciuman tiap-tiap manusia yang ada di Temanggung.

Baru sepekan yang lalu saya paham seperti apa tembakau itu dipanen oleh para petani tembakau. Setidaknya tembakau yang dipanen oleh para petani tembakau di Temanggung. Saya belum paham bagaimana metode panen tembakau di perkebunan lain di luar Temanggung. Namun saya menduga, ada kemiripan di sana. Antara panen tembakau di Temanggung, dengan daerah-daerah lainnya yang juga penghasil tembakau di negeri ini.

Mayoritas petani tembakau di Temanggung menanam jenis tembakau kemloko. Dari satu varietas kemloko, ada enam turunan bibit yang ada di Temanggung: kemloko 1, kemloko 2, kemloko 3, kemloko 4, kemloko 5, dan kemloko 6. Dari enam jenis itu, kemloko 2 dan kemloko 3 yang paling banyak dipilih petani untuk ditanam di ladang-ladang yang ada di Temanggung.

Menurut petani yang saya temui di Desa Tlilir, dalam satu batang pohon tembakau yang ditanam, idealnya terdapat 16 hingga 24 helai daun tembakau. Itu yang ideal, kurang dari 16 atau lebih dari 24, dianggap kurang ideal oleh petani. Kurang dari 16 helai dianggap kurang ideal karena itu menandakan tanah dan nutrisi dalam tanah tidak terlalu subur. Lebih dari 24 dianggap kurang ideal karena terlalu banyak daun yang berkompetisi dalam sebatang pohon tembakau untuk memperebutkan nutrisi dari tanah.

Ketika musim panen tiba, petani tidak memanen langsung seluruh daun dalam satu batang pohon, tetapi hanya satu helai daun saja per pohon dalam sekali panen. Daun yang diambil mulai dari daun yang ada dan tumbuh paling bawah. Selang lima hingga tujuh hari berikutnya, baru daun kedua dipanen, daun yang letaknya pada posisi persis di atas daun terbawah yang lima hari sebelumnya sudah dipanen. Begitu terus proses panen dilakukan, satu per satu, dari bawah ke atas, berjarak lima sampai tujuh hari dari panen daun sebelumnya.

Setelah daun ke-12 atau daun ke-13 dipanen dengan metode seperti di atas, sisa daun tembakau tersisa yang belum dipanen kemudian dipanen seluruhnya. ‘Mrotoli’, begitu istilah petani tembakau di Temanggung untuk menyebut proses panen daun tembakau yang sudah tidak dipanen satu per satu lagi, tapi memanen keseluruhan sisa daun yang belum dipanen dalam sebatang pohon tembakau setelah 12 hingga 13 kali dipanen. 

Proses semacam ini memerlukan ketekunan dan ketelitian tinggi, memerlukan waktu yang panjang, dan tentu saja membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Dengan metode panen semacam ini, petani tembakau membutuhkan waktu sekira dua hingga tiga bulan untuk benar-benar menyelesaikan proses panen tembakau mereka di ladang, sebelum akhirnya tembakau-tembakau itu dijual ke pabrikan, diproduksi menjadi rokok kretek, dipasarkan di banyak tempat hingga pada akhirnya kita nikmati dalam sebatang rokok kretek.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)