OPINI

Membantah Perang Diskon Rokok sebagai Penyebab Meningkatnya Angka Kemiskinan

Perang diskon rokok sedang disorot, berbagai pihak menanggapinya dengan sentimen negatif. Perang diskon rokok dianggap mengerek angka kemiskinan. Sungguh miris, logika macam apa yang dipakai sampai mengaitkan dengan meningkatnya angka kemiskinan. Padahal semua orang di dunia sepakat, bahwa ketika harga produk konsumsi semakin murah, justru akan mengurangi beban pengeluaran masyarakat.

Logika ini harus dibenahi, sebab mereka hanya bertujuan mendorong harga rokok harus mahal, bukan murni atas pengamatan ekonomi yang komprehensif. Selain itu mereka juga bukanlah perokok, dan tidak pernah mengambil dari sudut pandang perokok yang jelas dalam konteks perang diskon rokok merupakan objek. 

Baca: Nasib Industri Kecil Pengolahan Tembakau

Lantas asumsi bahwa perang diskon rokok merupakan sesuatu yang negaitf karena mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan hadirnya darimana? Tentu tidak salah jika kita menuding bahwa mereka ‘diorder’ untuk kepentingan yang lain.

Tidak ada yang salah dari perang diskon rokok. Justru ini menguntungkan bagi konsumen. Pilihan atas barang konsumsinya makin beragam dan harganya jadi makin terjangkau. Bukankah ini menguntungkan?

Kita lihat contohnya perang diskon antara Gojek (Gopay) dan Grab (OVO), kedua perusahaan dengan bombastis berperang diskon harga jasa layanan maupun transaksi melalui platform mereka. Perang diskon ini membuat masyarakat diuntungkan dengan jasa transportasi online yang murah, mendapat potongan harga di setiap transaksi yang menggunakan platform keduanya. Karena yang menaggung beban perang diskon bukanlah konsumen, tapi pihak perusahaan.

Baca: Relaksasi dan Rekreasi dengan Rokok

Konsumen diuntungkan, sebab jika sebelum ada perang diskon semisal pengeluaran seseorang untuk layanan transportasi online Rp 100 ribu/bulan, ketika ada perang diskon bisa dipangkas menjadi Rp 50 ribu/bulan. Adapun jika ada seseorang yang justru menjadi lebih boros pengeluarannya akibat perang diskon, tentu yang salah ada kontrol atas konsumsinya, bukan perang diskonnya.

Sama hal-nya dengan perang diskon rokok, perokok yang biasanya mengeluarkan uang Rp 100 ribu/bulan untuk konsumsi rokok, dengan adanya perang diskon pengeluarannya menjadi hemat Rp 50 ribu/bulan. Sehingga jatah pengeluaran sisanya bisa dialihkan untuk produk konsumsi lainnya. Argumentasi menambah beban pengeluaran jelas-jelas harus ditolak.

Hal lainnya yang tidak bisa disepakati dari logika perang diskon rokok menambah angka kemiskinan adalah perhitungan konsumsi seseorang tidak melulu bisa dirumuskan dengan logika matematika.

Bahwa hari ini seorang perokok mengonsumsi rokok sebungkus, belum tentu besoknya tetap sebungkus atau tambah jadi dua bungkus, malah bisa saja esok harinya perokok hanya menghisap sebatang saja. Sebab seorang perokok juga tahu batasan konsumsi dan kemampuan ekonomi mereka atas barang konsumsinya.

Adapun dari perang diskon rokok menyebabkan harga jual rokok menjadi lebih murah ketimbang beban cukainya, toh kewajiban membayar cukai rokok kepada negara tetap dipenuhi. Melekatkan harga lebih murah ketimbang beban cukai masih bisa dilakukan asalkan tidak melewati harga jual eceran minimun yang telah ditentukan.

Dari perang diskon rokok ini yang harus diperhatikan sebenarnya bukan pada persoalan menambah angka kemiskinan, karena hal tersebut jelas sangat cacat logika, melainkan persoalan rentan terjadinya monopoli pasar yang disebabkan munculnya kesepakatan antar perusahaan atau bisa disebut juga kartel harga. Ini yang harusnya diperhatikan sehingga perang diskon rokok tetap bisa dijalankan tanpa mengorbankan kewarasan persaingan dagang.