papua
REVIEW

Meredam Gejolak di Papua

Sepekan lalu, saat media massa hingga media sosial ramai memberitakan dan membicarakan isu Papua, pimpinan redaksi situsweb ini meminta saya untuk menulis perihal Papua di sini. Tentu saja ini di luar kelaziman. Situsweb ini biasanya meminta saya menulis dengan tema-tema yang terkait dengan kretek, mulai dari sektor pertanian hingga ke hilir di wilayah advokasi perihal kretek.

Di luar tema kretek, di sini, saya biasanya diberi kelonggaran untuk menulis dengan tema catatan perjalanan saya berkunjung ke beberapa tempat di negeri ini, atau tulisan bertema feature tentang orang-orang yang menurut saya menarik untuk ditulis. Baik itu mereka yang sudah saya kenal, atau yang belum saya kenal secara langsung. Tapi, menulis tentang Papua, lebih lagi dengan isu yang cukup sensitif, baru kali ini situsweb ini meminta saya seperti itu.

Di antara penulis tetap yang menulis di situsweb ini kini, memang hanya saya yang pernah bersinggungan dengan begitu intim dan cukup lama dengan Papua. Dengan alamnya, dan dengan manusia-manusia yang menghuni wilayah Papua. Atas dasar inilah pimpinan redaksi situsweb ini meminta saya menulis untuk menanggapi isu yang sedang ramai belakangan ini, bahkan hingga hari ini. Isu mengenai gejolak di Papua dan turunan-turunannya.

Tulisan ini, tentu saja murni opini pribadi saya, bukan opini pengelola situsweb ataupun kru Boleh Merokok dan KNPK. Opini yang saya susun dalam kondisi emosi yang cukup stabil, dan kecintaan kepada Papua yang sama sekali belum luntur. Kecintaan yang membikin saya begitu nyaman tinggal di salah satu wilayah di Papua hingga hampir satu tahun penuh, hidup berbaur bersama masyarakatnya, belajar dan bertahan hidup di wilayah tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa transportasi umum, tanpa jalan raya, namun penuh dengan kasih sayang, sikap saling melindungi, dan gelak tawa yang silih berganti mengisi hari.

Saat menyinggung Papua, narasi-narasi yang dibangun untuk menceritakan sejarah Papua selalu dibangun dari capaian-capaian ekspedisi penemuan hingga penaklukan Papua. Seakan tanah Papua adalah lahan kosong tak bertuan, tanpa penghuni, negeri yang tak diketahui sebelum akhirnya ditemukan oleh mereka yang menyebut dirinya petualang dengan semboyan yang selalu didengungkan untuk membangun semangat petualangan berupa Gold, Glory and Gospel.

Kerangka narasi semacam ini dikonstruksi sebagai legitimasi pengerukan sumber daya alam Papua. Jadi tentu saja bukan tanpa alasan. Kolonialisme menciptakan semua itu untuk menstigmakan penduduk asli Papua sebagai makhluk barbar, berpengetahuan rendah, terbelakang, tidak beradab dan primitif. Stigma-stigma semacam ini dibentuk agar mereka berhak menjajah Papua, menjadikan penduduknya beradab, tidak barbar, terbebas dari keterbelakangan dan primitif, dan, yang paling utama, bisa mengeruk kekayaan sumber daya alam Papua.

Semua ini dimulai oleh Jan Carstensz, seorang pelaut dari negeri Belanda. Pada tanggal 12 Februari 1623 ia berlayar ke laut Arafura.

Dari atas kapalnya ia melihat gugusan pegunungan dengan puncak-puncak yang diselimuti salju. Misi pelayaran Carstensz saat itu untuk mencari budak-budak dari negeri-negeri yang belum terjamah bangsa Eropa untuk diperjual-belikan. Pandangan mata Carstensz terhadap Pegunungan Nemangkawi Ninggok (Pegunungan Jayawijaya) ini ia dokumentasikan dalam bentuk tulisan pada sebuah catatan perjalanan.

Jan Carstensz

Berbekal catatan Carstensz, 300 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1936 H. Colijn, anak mantan perdana menteri Belanda pemilik perusahaan migas melakukan ekspedisi ke Nemangkawi Ninggok. Ekspedisi ini dipimpin oleh ahli geologi muda asal Belanda bernama Jean Jacques Dozy. Tujuan utama ekspedisi ini tentu saja untuk mencari sumber minyak di tanah Papua. Colijn dan Dozy berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi Pegunungan Nemangkawi, Puncak Ngga Pulu 57 hari selepas mereka turun dari pesawat terbang yang mengantar mereka melakukan ekspedisi.

Saat melakukan penelitian untuk menemukan kandungan minyak, secara tak sengaja Dozy menemukan fakta mencengangkan bahwa Pegunungan Nemangkawi memiliki kandungan bijih yang melimpah, saat itu bijih tembaga. Bahkan di beberapa tempat tak perlu dilakukan penggalian, bijih tembaga ditemukan sekitar permukaan gunung. Atas temuan ini, Dozy memberikan nama Ertsberg untuk wilayah gunung tempat ia menemukan bijih tembaga. Ertsberg yang berarti gunung bijih tembaga.

Tak hanya di puncak Ertsberg, di gunung-gunung lain di seputar Ertsberg, Dozy juga menemukan hal serupa, salah satu yang terbesar akhirnya ia beri nama Grasberg, gunung rumput. Di sini, selain bijih tembaga, Dozy juga menemukan bijih nikel dan emas. Catatan-catatan hasil temuan ini terdokumentasi dengan baik dalam sebuah dokumen yang sepertinya tepat jika disebut Dokumen Dozy. Dokumen ini dipublikasikan pada tahun 1939.

Tak lama setelah ekspedisi berakhir, dunia disibukkan dengan perang. Perang Dunia ke-2 yang melibatkan hampir seluruh negara di penjuru bumi. Belanda yang sudah cukup lama menancapkan kukunya di Papua juga terlibat di sana. Karena kesibukan berperang, temuan-temuan ekspedisi hasil prakarsa Colijn yang diketuai Dozy dan terdokumentasi lengkap dalam dokumen Dozy terabaikan. Dokumen tersimpan dalam kesunyian perpustakaan berselimut debu.

Lantas, datanglah Freeport ke Papua

Pada tahun 1959, Jan Van Gruisen memelajari laporan yang dibuat dinas pertambangan yang saat itu berkantor di Bandung. Gruisen adalah direktur perusahaan Oost-Borneo Maatschappij, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara dan nikel. Menindaklanjuti laporan dari dinas pertambangan, Gruisen kembali ke Belanda untuk mencari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertambangan di Indonesia dan Papua. Ia kemudian menemukan Dokumen Dozy.

Menemukan fakta mencengangkan di Dokumen Dozy, Gruisen meminta dukungan pemerintah Belanda untuk membuka perusahaan baru yang akan mengeksplorasi sumber daya alam di Pegunungan Nemangkawi Ninggok.

Kondisi politik di Indonesia yang sedang bergejolak saat itu membuat pemerintah Belanda tak acuh dengan usulan dan permintaan Gruisen. Gruisen tak patah semangat, ia kemudian mencari rekan agar niatannya mengeksplorasi mineral di Pegunungan Nemangkawi Ninggok bisa terlaksana.

Freeport dari atas langit

Setidaknya ada 4 perusahaan yang dihubungi Gruisen untuk diajak kerjasama mengeksplorasi sumber daya alam di Pegunungan Nemangkawi. 2 perusahaan dari Amerika Serikat, 1 perusahaan dari Kanada, dan 1 lagi perusahaan dari Jepang. Dari keempat perusahaan tersebut, hanya Freeport Sulphur Company yang berminat atas tawaran Gruisen. Ketertarikan yang akhirnya menyelamatkan mereka dari kehancuran.

Freeport Sulphur Company di ambang kebangkrutan saat datang tawaran kerjasama dari Gruisen. Sebagai perusahaan pengakumulasi kapital berbasis pertambangan sulphur, Freeport malah meraup banyak keuntungan dari aktivitas pertambangan nikel di Kuba. Revolusi Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dibantu Che Guevara yang menumbangkan kekuasaan diktator Fulgencio Batista, sebabkan Freeport limbung. Sumber utama pendapatan mereka menghilang. 

Tawaran kerjasama dari Gruisen disambut dengan antusias. Freeport langsung mengirim seorang geolog bernama Forbes Wilson untuk memimpin ekspedisi dalam rangka menindaklanjuti temuan-temuan Gruisen dalam Dokumen Dozy. Juni 1960, Forbes dan Del Flint kembali mencapai Ertsberg. Jika Dozy dan tim butuh waktu 57 hari untuk mencapainya, Forbes dan tim dengan peralatan yang lebih canggih dan dibantu beberapa pemuda Suku Amungme hanya butuh waktu 17 hari untuk tiba di lokasi.

Tahun 1963, gejolak politik kembali melanda Papua. Belanda menyerahkan kekuasaannya atas wilayah Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966 usai keberhasilan Soeharto dalam kudeta merangkak merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, tim Freeport diundang ke Jakarta untuk membicarakan kerjasama kontrak pertambangan di Ertsberg. Ada kejanggalan di sini karena Papua masih berada di bawah PBB. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk memutuskan apakah Papua akan bergabung dengan Indonesia atau merdeka juga baru diselenggarakan 3 tahun kemudian. Jelas terlihat bahwa Soeharto sangat yakin Papua akan berada di bawah kekuasaan Indonesia dan nyatanya, Pepera sekadar pepesan kosong dan akal-akalan pemerintah Indonesia semata.

Tanggal 7 April 1967, kontrak kerja eksklusif ditandatangani. Freeport menjadi memegang hak eksklusif untuk pertambangan di wilayah Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. Kontrak ini berlaku selama 30 tahun terhitung saat operasional proyek diresmikan. Kapan proyek ini diresmikan? Tahun 1973. Kapan Freeport mulai melakukan eksplorasi dan pengeboran di Ertsberg? Desember 1967. Apa arti dari semua ini? Lebih dari 5 tahun Freeport beroperasi mengeruk kekayaan sumber daya alam di Pegunungan Nemangkawi tanpa sedikit pun memberikan kompensasi kepada pemerintah, lebih-lebih bagi masyarakat yang wilayahnya direbut untuk aktivitas pertambangan.

Yang lebih mengherankan lagi, studi kelayakan baru selesai dan disetujui pada tahun 1969. Maka, 2 tahun penuh Freeport beroperasi tanpa legalitas lingkungan dan 5 tahun lebih tanpa legalitas hukum. Untuk prasarana penunjang proyek mulai dikerjakan secara masif pada tahun 1970.

Apa yang dilakukan Freeport dan dukungan pemerintah Indonesia kepada Freeport sejak mereka dahulu masuk Papua hingga saat ini, memberi gambaran jelas kepada kita bahwasanya sejak lama, pemerintah Indonesia hanya peduli kepada sumber daya alam Papua saja, sedang manusia-manusianya, diabaikan, dan bahkan dalam kondisi tertentu berada dalam suasana kolonialisme dan penjajahan. Tentu saja pemerintah Indonesia lewat tangan tentara menjadi pelaku utamanya. Tentara, polisi, dan pemerintah yang berkuasa tak segan-segan menindas penduduk lokal jika mereka menghalangi upaya untuk mengambil sumbar daya alam di Papua.

Perampasan tanah, pelanggaran hak azasi manusia, pembunuhan-pembunuhan tak terungkap, dan perilaku diskriminasi yang begitu lebar menganga diterima oleh warga Papua hingga hari ini masih saja terus terjadi. Apa yang terjadi di Surabaya dan Malang baru-baru ini, terkait perilaku rasis yang dilakukan oleh oknum tentara dan ormas kepada mahasiswa Papua, menjadi legitimasi tambahan bahwasanya perilaku rasisme terhadap orang Papua masih begitu sering dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Warna kulit yang berbeda saya kira menjadi alasan utama perilaku rasis itu bekerja terhadap orang Papua.

Kasus rasisme terbaru di Surabaya dan Malang menimbulkan reaksi yang begitu besar di seantero Papua dan Papua Barat. Tuntutan-tuntutan untuk merdeka dan referendum disuarakan di sana. Di sisi lain, pemerintah Indonesia dan pendukung NKRI harga mati serta para penggiat media pro-pemerintah mengeluarkan propaganda nasionalisme untuk meredam tuntutan merdeka dan referendum. Tak jarang propaganda nasionalisme itu dibalut fitnah yang tak kalah keji dengan tudingan rasisme sebelumnya. Saya pikir, alih-alih meredam gejolak isu Papua ini, propaganda nasionalisme sempit berbumbu fitnah itu malah menambah runyam suasana.

Demonstrasi warga Papua di depan Istana Merdeka

Perkara Papua, peduli setan dengan nasionalisme, lebih lagi nasionalisme berbumbu fasis yang dilumuri fitnah terhadap saudara-saudara saya di Papua (cek link ini: https://www.facebook.com/westpapua.credible.media/videos/496765054460297/?t=0). Persaudaraan saya, dengan Papua, persaudaraan berbasis kemanusiaan yang melampau sekat-sekat bernama nasionalisme sempit dan tetek-bengeknya.

Saya menyerahkan sepenuhnya kepada saudara-saudara saya di Papua bagaimana mereka hendak menentukan nasib mereka sendiri. Referendum. Pendapat saya, lebih lagi narasi-narasi nasionalisme berbumbu fitnah, tak lagi relevan kini. Biarlah mereka yang menentukan nasib mereka sendiri. 

Fakta mengenai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh Orang Asli Papua, membuat perkataan Filep Karma menjadi benar adanya. Bahwa orang Indonesia memperlakukan orang Papua seakan mereka setengah binatang. Jejak-jejak kekerasan itu merentang ke belakang bahkan sebelum PEPERA dilangsungkan. Hingga kini, pelanggaran HAM terus terjadi.

Penangkapan ilegal berujung penjara, penganiayaan dan penyiksaan fisik serta pembunuhan-pembunuhan ekstrajudisial juga masih berlangsung. Di Papua, unjuk rasa damai berbalas tindakan represi aparat. Jurnalis asing dilarang meliput. Peneliti luar negeri dipersulit untuk mendapatkan visa penelitian. Presiden berganti, namun nasib orang Papua tak begeser seinci.

Absennya pemenuhan hak-hak mendasar di Papua berkebalikan dengan intensitas perampasan tanah untuk kepentingan tambang, perkebunan sawit dan pembangunan infrastruktur. Untuk mencegah penolakan, jumlah personil keamanan terus menerus ditambah. Penolakan atau protes akan dijawab dengan pendekatan kekerasan.

Itu sebabnya menjadi sesuatu yang alamiah secara politis jika aspirasi kemerdekaan didengungkan sebagai respon atas lingkaran praktik kekerasan yang bergelombang. Meski terus menerus dianggap angin lalu, Indonesia harus menyadari bahwa praktik kolonialisme adalah sebab tumbuh suburnya semangat perjuangan pembebasan Papua. Pengerukan sumber daya alam tanpa peduli dengan nasib orang asli Papua adalah bahan bakar untuk cita-cita kemerdekaan.

Indonesia bisa memperbaiki itu semua. Langkah pertama adalah mengupayakan terselenggaranya referendum yang demokratis untuk rakyat Papua.