logo boleh merokok putih 2

Tinjauan Kritis Atas Larangan Iklan dan Sponshorship dengan Mencantumkan Logo, Brand Image, dan Identitas CSR Sebuah Perusahaan

Pasal 35 s/d 37 PP No. 109 Tahun 2012 menjelaskan tentang larangan iklan dan sponsorship untuk acara atau kegiatan dengan mencantumkan logo, brand image, dan identitas CSR (Corporate Social Responsibility) sebuah perusahaan.


Keberadaan Pasal 35 s/d 37 dalam PP No. 109 Tahun 2012 adalah salah satu bentuk pelanggaran hak-hak sipil dari warga negara khususnya mengenai produsen Produk Tembakau. Larangan tersebut dalam jangka panjang nampak diarahkan pada usaha pelemahan, pengikisan hingga kebangkrutan perusahaan rokok yang menggunakan bahan baku tembakau. Kebijakan pemerintah yang kurang melihat secara luas tujuan dibuatnya suatu peraturan, sangat mungkin terselip usaha kompetisi tidak sehat dalam perdagangan rokok.


Demikian pula materi ketentuan itu tidak selaras dengan UndangUndang yang harus ditegakkan yaitu, Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009. Hal itu nampak dari larangan yang berkompromi dengan kepentingan bisnis (iklan dan sponsorship), tetapi tidak berjalan secara fair dengan bisnis-bisnis lain seperti industri farmasi, dimana industri farmasi saat ini telah memproduksi berbagai macam produk agar orang berhenti merokok.


Dengan demikian materi yang terurai dari Pasal 35 hingga Pasal 37 tersebut tidak lagi merupakan substansi hukum yang benar sesuai dengan Undang-Undang yang hendak ditegakkan (UU Kesehatan). Ketentuan ini merupakan pengaturan terhadap promosi dan pemberian sponsor terhadap kegiatan lembaga dan atau perorangan. Pembatasan yang demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 adalah pengaturan yang bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata, bertentangan pula dengan asas keadilan, dan asas keseimbangan.


Dari Pasal 35 hingga Pasal 37 PP No. 109 Tahun 2012, dapat dimaknai sebagai :
1) Pemerasan terhadap satu pihak dengan pihak yang lain yang dilegalkan, hal ini dapat dilihat dari Pasal 37 tentang CSR, dimana CSR adalah hal yang wajib diberikan sebagaimana kebanyakan Peraturan Daerah (Perda) selama ini;
2) Menghilangkan asas kebebasan berkontrak, dimana ini diatur dalam KUH Perdata Pasal 1320 yaitu sepakat merupakan kedudukan seimbang satu pihak dengan pihak lain. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 PP No. 109 Tahun 2012 berbunyi “tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image Produk Tembakau”. Padahal Industri Hasil Tembakau tersebut sebagai “Setiap orang yang memproduksi dan atau mengimpor Produk Tembakau yang mensponsorisuatu kegiatan lembaga dan atau perorangan.”
3) Peraturan Pemerintah ini menjadi peraturan yang bertentangan antara satu pasal
dengan pasal yang lain, dan kesemuanya menjadikan pertentangan, bahkan pada sisi
filosofinya, bagaimana tidak jika dilihat dari Pasal 36 ayat (1) huruf b, Pasal 37 huruf
b. Dimana dalam substansi pasal tersebut berisi cara beriklan, larangan dalam
periklanan, dan terakhir pada Pasal 36 ayat (1) huruf b, Pasal 37 huruf b tujuannya
bukan untuk promosi.


Misalnya CSR Sampoerna atau Bentoel, yang mensponsori acara talk show Kick
Andy, apa tidak boleh ada yayasan di situ? Gudang Garam Foundation misalnya,
Djarum Foundation misalnya, yang selama ini aktif berdedikasi mensponsori suatu
kegiatan seni yang mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional, apa tidak
boleh. Jadi, ini akan berdampak pada kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan komersialisasi rokok.


Ada kegiatan-kegiatan yang bersifat karikatif, kegiatan yang bersifat sosial yang juga
terpukul oleh aturan ini, sehingga kita lost-nya cukup besar artinya akan ada
kehilangan potensi pembiayaan kegiatan-kegiatan yang bersifat edukatif maupun
sosial karena aturan ini.


Jadi bisa dilihat ini dari dua sudut pandang, yang pertama, penetrasi rokok jika itu
dianggap sebagai komoditas yang merugikan, adalah dengan membatasi ruang gerak
dari industri rokok yang besar, yang memiliki kekuatan untuk melakukan iklan,
sponsor, CSR, dan seterusnya adalah pabrik rokok dalam skala besar.


Pabrik rokok-pabrik rokok semacam itulah yang seharusnya dikenakan regulasi
semacam ini sehingga dengan begitu ekspansi mereka dalam jangka panjang tidak
akan semakin besar, paling tidak ruang gerak mereka untuk menambah omset,
menambah penetrasi, produknya menjadi lebih ketat, lebih sempit. Dengan kata lain,
tidak berlaku bagi pabrik kecil.


Yang perlu dilakukan pemerintah sebetulnya regulasi-regulasi yang sangat teknikal,
tapi secara ekonomi, maka konsentrasi pemerintah itu adalah bagaimana dalam jangka
waktu tertentu. Dalam jangka panjang, memberikan alternatif kegiatan ekonomi yang
memang memungkinkan diakses oleh petani tembakau tadi itu, baik mereka tetap
melakukan tembakau tapi di diversifikasi komoditasnya atau pindah kegiatan lain
dibantu oleh pemerintah sehingga proses perpindahan tadi itu lewat masa transisi, ada
jaminan mereka kesejahteraannya semakin bagus. Seharusnya itu yang perlu
dilakukan pemerintah daripada sekedar terkonsentrasi melakukan regulasi-regulasi
yang teknis semacam ini.Law enforcement juga sulit, juga mestinya harus dilihat efektif atau tidak juga pengaruhnya. Dalam konteks ini ada dua dimensinya, pertama bedakan antara industri rokok yang besar dengan yang kecil, bisa juga yang industri kecil dipersyaratkan sebagian sahamnya dimiliki oleh petani tembakau (akses hilirisasi bagi petani, ed), yang kedua, pemerintah harus menyusun roadmap industri tadi itu.


Kalau perlu untuk pabrik rokok yang sebagian sahamnya dimiliki oleh petani tembakau diberi perlakukan yang khusus, pencantuman logo, kemasan, dll bisa diperbolehkan. Banyak anggapan bahwa sebenarnya industri rokok itu hanya soal menunggu waktu kejayaannya saja atau sunset industry.


Di negara-negara maju sekarang sudah mengalihkan proses produksi dan pasarnya ke Negara-negara berkembang karena memang regulasi disana semakin lama semakin ketat, sudah semakin sulit bagi orang di sana untuk mengakses rokok, maka mereka agresif sekali mengalihkan, membeli saham di Negara-negara berkembang. Ini cepat ataupun lambat pola yang sama itu juga akan diadopsi Negara berkembang, mengikuti itu, berhubungan dengan kompetisi pasar tersebut.


*Tulisan diambil dari: Opini Akademik Atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (http://bukukretek.com/files/v88dd1/opini-akademik.pdf)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis