logo boleh merokok putih 2

Cerita di Balik Segelas Kopi untuk Djarum

djarum

Masih ingat kemarin, tulisan Djarum yang ada di kaos para atlit olahraga dipermasalahkan KPAI dan kawan-kawannya? Banyak orang-yang omong, ternyata ada orang kaya yang diusik, tapi dia hanya diam tanpa ada kata sedikitpun sebagai pembalasan terhadap yang mengusiknya. Bahkan cenderung mengalah, bikin orang lain gregetan. Kalimat itu yang aku tangkap dari salah satu temen bernama Nur Cholis asal Desa Gribiq, Kabupaten Kudus.

Seminggunan kemarin, tepatnya Minggu 25 Agustus, teman MTS dulu pulang dari Jakarta. Ia sehari-harinya beraktivitas dan bekerja di sana. Di Jakarta, bersama anak istrinya, yang setiap hari jualan sayuran keliling. 

Kami yang sudah lama tidak ketemu, bahkan lebaran kemarin ternyata dia tak pulang ke Kudus. Pantesan tak ada yang rebut ngajak ngopi, orang yang biasa ngajak ngopi orangnya masih di Jakarta. Memilih lebaran di sana, karena dititipin rumah tetangganya yang katanya sudah seperti keluarganya sendiri yang kala itu baru mudik. 

Baca: Sesat pikir KPAI Melarang Audisi Pencarian Bakat Bulutangkis Anak-Anak

Temanku itu panggilannya Djumari, rumahnya dulu daerah Kaliwungu Kudus bagian barat. Ia pulang dalam rangka ada acara nikahan saudara dari istrinya. Dasar Djumari, kalau gak ngopi bareng dan ketemu temen-temen gak puas katanya, karena mumpung di Kudus. Ia gunakan kesempatan sebelum datang kesempitan disela-sela acara nikahan saudaranya. Lewat pesan singkat WA, tanpa hitungan jam ajakan ngopi Djumari, langsung di respon banyak teman yang tergabung di group WA. Ada yang tanya kapan datangnya, ada yang komentar besuk aja ngopinya soalnya masih diluar kota, ada yang bilang sore ini aja tancap gas. Djumari menjawabi dan balas komentar teman-teman. Dihari itu, Djumari kayak artis banyak ajakan dan tawaran teman-teman. 

Memang, teman-teman alumni MTS Madrasah Qudsiyyah Kudus kompak sekali, bahkan sudah kayak saudara sendiri semua. Kita sering kumpul walaupun hanya sekedar ngopi, yang penting bertemu dan ngobrol. Tidak jarang, kita ketemu dengan agenda acara resmi dan agak resmi. Seperti disaat salah satu teman punya hajat, bahkan hajat kecilpun kayak acara “manaqiban” sering mengundang teman lainya. Pasti ada yang bingung apa itu manaqiban?. Aku jelasin sebentar, manaqiban itu, acara membaca sejarah Syeih Abdul Qodir Jaelani ulama dahulu setelah masa Shahabat Nabi, yang terkenal alimnya dan sufi serta berkaromah. Nah, bagi kita-kita penggemarnya, sering kali kita baca sejarahnya. Dengan cerita sejarah  Syeih Abdul Qodir Jaelani, kita penggemar berharap agar apa yang kita lakukan dido’akan atau di amini beliau semua urusan kita lancar. Karena menurut kita penggemar, meyakini Syeih Abdul Qodir Jaelani kekasih Tuhan, kalau dalam bahasa Jawa “bolone Gusti Allah”. Ini sekilas penjelasan tentang istilah manaqiban, kalau mau tau lebih lanjut, khasiat-khasiatnya, bisa kita diskusi dilain waktu aja. Yang jelas di acara manaqiban ini sudah jadi tradisi ada “ingkung” ayamnya. Ini yang biasa kita nantikan.

Kembali ke acara ngopi, disore itu temenku Djumari langsung nentukan tempat ngopi dan waktunya. Kita biasa ngopi ditempat sederhana. Akhirnya, Djumari mutusin habis isya’ kumpul dan ngopi di rumah teman kita satunya namanya Nur Cholis, juga tergabung dalam group WA. Setelah tahu bakal kerumahnya, Nur Cholis langsung komen, lapan enam laksanakan. Aku langsung teringat temenku namanya Fawaz, orang Betawi keturunan Arab, sering kalau jawab pas di WA pakai tulisan lapan enam. 

Baca: PB Djarum, Prestasi Bulutangkis Nasional, dan Kegagalan KPAI Memahami Peristiwa

Waktu isya’ tiba, suasana mau hujan, sedikit grimis, hawanya lumayan dingin dibanding sebelumnya panas dan gerah. Tapi semangat ngopi dam ngobrol teman-teman tak mengendor. Bahkan di group sudah ada yang ribut, ngajak-ngajak “ayo ayo waktunya kopdar tiba, ada bonus banyak rezeki lho”, Rifai namanya, seorang pembicara atau muballig yang sering ceramah di masyarakat. 

Aku datang sekitar jam 20.00, terlihat banyak tema yang sudah pada kumpul, didepannya ada segelas kopi. Maklum kita orang desa ngopinya gak pakai cangkir, tapi pakai gelas es yang tinggi. Dibenakku ini ngopi apa kehausan?, tapi yang penting tetap ngopi dan merokok. Di meja terlihat banyak rokok bermacam-macam mereknya, sesuai kesukaan masing-masing. Ada yang bawa Sukun Putih, ada yang bawa Gudang Garam, kebanyakan bawa LA, tapi ada juga yang bawa rokok bikinan sendiri alias “Tingwe” nglinting dewe dirumah ditaruh plastik. Aku coba rokok tingwe itu sambil ngobrol bareng, ternyata lumayan enak ramuan rokoknya, dibanding tingwe tingwe yang pernah aku rasakan. Yang buat tingwe namanya Sutopo, profesinya sehari-hari memang jual beli tembakau. Karena penasaran, sutopo aku tanya, kok enak, ini tembakau mana?. Dijawabnya “biasa tembakau Temanggung” tapi aku kasih cengkeh kualitas wahid, dan sedikit ramuan saos sendiri (bahannya dirahasiakan), yang jelas katanya bahan saos dari rempah rempah bikinan sendiri. 

Ngobrol kita mengalir tanpa ada sekat dan batasan, malah terkadang pada ngobrol sendiri-sendiri dengan teman didekatnya. Giliran Djumari disuruh cerita pengalamannya, teman teman pada diam, mungkin pada penasaran. Soalnya dulu, sebelum ke Jakarta ia bekerja di Djarum. Ia ceritakan alasannya harus ke Jakarta. Awalnya, sering pulang pergi Jakarta Kudus untuk pengobatan istrinya yang sedang sakit di salah satu pengobatan alternatif disana atas rekomendasi saudaranya yang sudah lama hidup di Jakarta. Ia menceritakan sakit istrinya yang sering pusing, dan pusingnya bukan pusing biasa, dan seringkali istrinya sampai membentur-benturkan kepalanya. Kemudian, saat diharuskan kontinyu pengobatannya, minimal satu tahun agar cepat sembuh, akhirnya ia putusin meninggalkan Kudus sementara, termasuk pekerjaannya. Alhamdulillah istrinya sekarang sudah sembuh total. 

Baca: Cacat Pikir KPAI Memaknai Kata Ekploitasi Anak dan Promosi

Disela sela nungguin istrinya sakit, ia sering diajak saudaranya jualan sayuran keliling. Nah, walaupun sekarang istrinya sudah sembuh, ia tetap di Jakarta. Sebab dipikirannya, kalau kembali ke Kudus mulai dari awal lagi, mending yang sudah ada didepan mata dijalanin dulu. Nanti pelan-pelan sambil melihat peluang di Kudus, ia pun akan pulang. Obrolan tetap seru, walaupun djarum jam sudah tepat diangka 12.00 malam. Namun domain obrolan lebih pada Djumari sebagai nara sumber, ia menceritakan semua pengalaman dan kejadia yang ia lihat, sampai ia menceritakan berita kalau pabrik Djarum yang dulu pernah ia singgahi, sedang dipermasalahkan KPAI. Memang sebenarnya ia tak paham alur permasalahanya. Tahunya, KPAI gak suka bulu tangkis Djarum berjalan, memusuhi rokok. 

Sebagai orang yang pernah menjadi karyawan Djarum, jadi wajar dan pantas kalau ia membela Djarum, apalagi ia asli Kudus. Saking semangatnya, ia ngomong “nek aku dadi Djarum, tak tuku iku KPAI, paling ora tak lawan” “andaikan aku yang punya Djarum, aku beli KPAI, paling tidak dilawan”. Ada yang menyambar omongan, “sampek matek kuwe Djum, ogak bakal dadi bos Djarum” “sampai mati kamu Djum, tidak akan jadi bos Djarum” haha……disambut dengan tawa klakaran teman-teman termasuk saya sendiri. Di sela-sela tawa, tuan rumah ngomong “ancen gawe gregeten, kenopo Djarum mung meneng, malah ngalah” “bikin gregeten, kenapa Djarum diam dan cenderung mengalah”. 

Nah, ternyata, banyak orang yang sangat simpati dan membela pabrik Djarum, terutama orang Kudus. Rata-rata mereka, tak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus diperbuat. Sebagai manusia lemah, mereka hanya bisa marah  yang terpendaam dalam hati, dengan melihat kejadian KPAI menyerang Djarum. Coba, andaikan mereka tahu kalau dibelekang KPAI ada kepentingan asing yang mengusik rokok kretek asli Kudus, yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Kudus. Pastinya, pembelaanya lebih dari itu, bahkan mungkin mati-matian.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).