Kekhawatiran akan kenaikan cukai rokok yang tinggi di tahun depan benar-benar terjadi. Setelah disepakati oleh DPR perihal kenaikan cukai tahun depan, meskipun besaran kenaikannya masih diperdebatkan, secara mengejutkan Presiden Jokowi tiba-tiba menyepakati besaran kenaikan tarif cukai rokok menjadi 23 persen di tahun depan.
Pengumuman ini sontak membuat kaget semua kalangan. Asumsi kenaikan sebesar dua digit awalnya diprediksi berada pada angka 11-13 persen. Kisaran tersebut saja sudah membuat was-was pelaku semua pihak karena besarannya terlalu tinggi, apalagi ternyata besaran kenaikannya hingga 23 persen, pelaku industri pingsan mendadak, konsumen harus mengurut dada, petani dan buruh harap-harap cemas akan kabar ini.
Niat awal pemerintah menaikkan cukai rokok adalah untuk menggenjot penerimaan negara, tapi tiba-tiba kenaikan 23 persen ini alasannya berubah menjadi pengurangan jumlah konsumsi rokok masyarakat. Pemerintah lagi-lagi tidak mau jujur kalau sedang butuh duit, sehingga dalil pengendalian menjadi tameng bagi kebijakan menaikkan cukai rokok.
Terlepas dari alasan apapun yang dilontarkan oleh pemerintah, satu hal yang pasti adalah kebijakan ini adalah sebuah kebodohan yang akan menjadi blunder bagi pemerintah.
Kenaikan cukai rokok di angka 23 persen akan memberikan dampak negatif bagi pemerintah. Apa saja dampaknya?
Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15-20 persen. Saat ini saja telah terjadi penurunan volume penjualan industri rokok sebesar 7 persen. Padahal tahun-tahun sebelumnya penurunan volume masih berada di angka 2%.
Angka inflasi kita masih berada di angka 3 persen, pertumbuhan ekonominya pun stagnan di angka 5 persen, di sisi lain juga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Dengan adanya kenaikan cukai rokok yang tinggi tentunya akan mengerek harga jual rokok di pasaran. Kenaikan di angka 23 persen diperkirakan akan mengerek kenaikan harga jual eceran rokok hingga 35 persen.
Kondisi ini akan membuat konsumen tidak dapat menjangkau harga rokok, sehingga pabrikan akan mengalami penurunan omzet, banyak pabrik rokok yang akan gulung tikar. Alih-alih menaikan pendapatan negara dari sektor cukai justru yang terjadi adalah negara akan kehilangan pendapatan besar dari sektor ini.
Baca: Kenaikan Tarif Cukai Rokok di Atas 10 Persen Adalah Kebijakan Tidak Bijak
Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan mengalami penurunan sebesar 30 persen, sementara untuk permintaan cengkeh penurunannya sebesar 40 persen.
Dari penurunan omzet akan berefek kepada serapan bahan baku dikarenakan industrinya berjalan lesu, produksi akan berkurang. Dapat dibayangkan ada 1 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya dari sektor industri hasil tembakau. Penurunan permintaan tembakau dan cengkeh dari pabrikan ke petani nantinya akan membuat petani kebingungan melempar hasil panen mereka. Kalaupun ada yang menyerap sudah dapat dipastikan para tengkulak yang bermain disana, harganya dipaksa serendah mungkin, petani yang tak punya pilihan mau tak mau akan melemparnya ke tengkulak.
Petani merugi karena harga jual rendah. Dapat kita bayangkan bagaimana nasib selanjutnya para petani tembakau dan cengkeh ke depannya. Sudahkah pemerintah siap menanggulangi kerugian para petani tembakau dan cengkeh ini?
Baca: Asal Muasal Cukai Rokok dan Perkembangannya
Ketiga, semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kenaikan cukai rokok yang tinggi sudah pasti akan menaikkan peredaran rokok ilegal. Ketika konsumen mengonsumsi rokok legal bercukai, negara mendapatkan keuntungan yang paling besar, sebab dalam sebatang rokok konsumen menanggung beban cost sebesar 70 persen untuk pajak negara.
Rokok ilegal tidak menanggung beban cost cukai dan pajak negara lainnya, sehingga produsen rokok ilegal dapat menjual produknya jauh lebih murah dibanding rokok legal.
Ketika konsumen dihadapkan pada semakin tidak terjangkaunya harga rokok legal, maka mengonsumsi rokok ilegal akan menjadi pilihan. Rokok ilegal akan membanjiri pasar seiring dengan tingginya angka permintaan.
Tidak ada konsumen rokok yang loyal, semua orang tahu bahwa perokok dapat beradaptasi dengan jenis rokok lain yang baru dikonsumsinya hanya dalam jangka waktu 3 minggu. Harga rokok legal yang tidak terjangkau dan sifat adaptasi yang cepat dari konsumen rokok inilah yang menjadi ceruk pasar bagi produsen rokok ilegal.
Baca: Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi!
Kita juga sama-sama tahu bahwa pemerintah sampai dengan hari ini masih kewalahan memberantas rokok ilegal. Bahkan Sri Mulyani secara terang-terangan mengatakan pemerintah baru bisa memberantas peredaran rokok ilegal di angka 3 persen saja.
Kenaikan cukai sebesar 23 persen tidak akan menghasilkan apa-apa jika masyarakat marak mengonsumsi rokok ilegal. Lagi-lagi siapa yang dirugikan? Tentu negara.
Sungguh angka kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen merupakan kebijakan yang tidak masuk akal. Potensi lost-nya malah sangat besar. Alih-alih menggenjot penerimaan negara, justru malah merugikan negara. Tapi kalau alasan utamanya adalah mengurangi konsumsi rokok di masyarakat, bukankah sebaiknya ditutup saja pabrik rokok di Indonesia? Lalu disepakati bersama bahwa tembakau dan segala jenis olahan hasil tembakau adalah sesuatu yang ilegal di negara ini.