logo boleh merokok putih 2

Kenaikan Tarif Cukai Rokok di Atas 10 Persen Adalah Kebijakan Tidak Bijak

tarif cukai

Tarif cukai tahun depan dipastikan naik. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan menginginkan kenaikan tarif cukai di atas 10 persen. Usulan kenaikan ini disetujui oleh DPR dengan catatan tidak di atas 8 persen. Sehingga besaran kenaikan tarif cukai tahun depan angkanya masih spekulatif.

Kenaikan tarif cukai memang tak bisa dielakkan, apalagi jika negara sedang tidak stabil keuangannya, cukai menjadi lumbung dana segar bagi negara. Sistem pungutan cukai disebut dengan istilah “sistem ijon.” Pemerintah bisa menarik pembayaran cukai di depan.

Sialnya, meskipun menjadi lumbung dana segar bagi negara, tidak selaras dengan asas keadilan kebijakan bagi Industri Hasil Tembakau. Justru berbagai kebijakannya malah menekan Industri Hasil Tembakau, seperti Perda KTR yang agresif, pembatasan jumlah produksi, pelarangan iklan, hingga yang terbaru ini rencana simplifikasi cukai.

Baca: Kebijakan Simplifikasi Layer Cukai Adalah Rencana Pembunuhan terhadap Kretek

Lantas bagaimana bisa masuk logika jika Industri Hasil Tembakau ditekan tetapi pemerintah menginginkan industri ini berkontribusi besar secara ekonomi bagi negara. Sungguh tidak masuk akal.

Isu kenaikan tarif cukai sebesar dua digit di tahun depan juga membuat pelaku industri menjadi was-was. Pasalnya akibat berbagai kebijakan yang menekan, berdampak kepada kinerja industri yang makin hari makin lesu. 

Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan bahwa berdasarkan data dari Nielsen, pada bulan April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7%. Padahal tahun-tahun sebelumnya penurunan volume berada di angka 2%.

Jumlah pabrik rokok di Indonesia pun setiap tahun mengalami penurunan. Data Bea Cukai menunjukkan, sejak 2011 jumlah pabrik rokok masih ada sebanyak 1.540. Lalu di 2012 menjadi 1.000 pabrik, pada 2013 sebanyak 800 pabrik, di 2014 menjadi sebanyak 700 pabrik, berkurang menjadi 600 pabrik di 2015 dan 2016. Serta di 2017 hanya menjadi 487 pabrik rokok.

Jika volume industri rokok dan jumlah pabrik rokok terus menurun, kenaikan cukai rokok hingga dua digit makin memberatkan Industri Hasil Tembakau. Jika terus terbebani makin banyak pabrik rokok yang bertumbangan.

Di sisi lain kenaikan tarif cukai hingga dua digit juga akan membebani konsumen. Kenaikan tarif cukai akan turut mengerek harga rokok di pasaran. Karena pabrikan akan menaikan Harga Jual eceran (HJE) mereka ke konsumen untuk menyiasati kenaikan tarif cukai.

Dengan semakin mahalnya harga rokok, sudah pasti konsumsi rokok dalam rumah tangga akan dikurangi, apalagi masyarakat sedang dihadapkan pada masalah daya beli yang terus menurun.

Berdasarkan survei konsumen Bank Indonesia menunjukkan sejak Desember lalu, optimisme konsumen berada dalam tren menurun. Adapun indeks keyakinan konsumen pada Februari 2019 turun dari 125,5 pada Januari menjadi 125,1. 

Baca: Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat terjadi penurunan daya beli buruh dan pembantu rumah tangga selama April 2019. Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan penurunan daya beli ini akibat turunnya upah riil buruh tani dan bangunan sebanyak 0,66 persen dan 0,41 persen, sementara daya beli pembantu rumah tangga mengalami penurunan 0,27 persen dibanding bulan sebelumnya.

Dari data-data di atas dan fenomena riil penurunan daya beli masyarakat, kebijakan menaikkan tarif cukai rokok hingga dua digit merupakan sebuah peneluran kebijakan yang tidak bijak.

Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) sendiri merekomendasikan agar kenaikan tarif cukai rokok di tahun depan hanya berada di angka 6 persen dengan acuan kondisi Industri Hasil Tembakau dan daya beli masyarakat yang sedang lesu.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek