logo boleh merokok putih 2

Melawan dengan Tingwe

Dahulu, bahkan mungkin hingga saat ini, citra yang timbul saat melihat sejumput tembakau, kertas linting, cengkeh kering, yang dilinting menjadi lintingan kretek yang biasa disebut tingwe, adalah citra perihal kuno, tua, dan segala hal yang jadul-jadul lainnya. Aktivitas merokok tingwe, adalah aktivitasnya orang-orang tua, bukan anak muda. Anak muda yang suka tingwe, akan dianggap aneh, terkadang seleranya itu dicemooh.

Lebih lagi jika dalam kandungan tingwe itu terdapat unsur kemenyan di dalamnya. Cap selera orang tua sudah pasti melekat di sana. Hal ini memang lumrah, karena biasanya hanya orang-orang tua yang masih merokok dengan cara tingwe, hingga menggunakan campuran kemenyan segala. Anak-anak muda, lebih memilih merokok produk pabrikan. Mereka sempat pada tahap asing dengan tingwe dan menstigma tingwe sebagai selera uzur, kuno, dan hanya orang tua yang begitu. 

Dalam pergaulan anak-anak muda, adakalanya bahkan produk-produk sigaret kretek tangan (SKT) atau yang biasa disebut kretek non-filter dipandang miring dan juga dianggap sebagai selera orang tua. Sigaret kretek mesin (SKM) reguler juga sempat dicemooh seperti itu. Anak-anak muda banyak menganggap bahwa rokok bagi golongan mereka adalah rokok sigaret kretek mesin (SKM) mild dan atau sigaret putih mesin (SPM). Tidak semua memang seperti itu, tetapi di banyak tempat, stigma-stigma semacam itu pernah dan masih berkembang.

Dua hingga tiga tahun belakangan, di beberapa tempat terutama di kota-kota besar, stigma-stigma perihal selera rokok seperti di atas perlahan mulai pudar. Kesadaran akan produk kretek sebagai produk kebanggaan bangsa, dan lagi, berubahnya selera terhadap rokok yang beredar di dalam negeri, mengubah banyak stigma perihal rokok kretek, SKT dan SKM, dan terutama, aktivitas merokok dengan cara tingwe.

Baca: Peredaran Rokok Ilegal

Anak-anak muda mulai familiar dengan tingwe. Mereka menikmati rokok tingwe seperti menikmati rokok pabrikan pada umumnya. Dan tentu saja sudah tidak peduli dengan anggapan bahwa mereka yang merokok tingwe berselera rendahan dan kuno. Tingwe menjelma sebagai tren baru anak-anak muda di beberapa kota besar di negeri ini.

Pada mulanya mungkin sekadar ingin mencoba, ada juga yang untuk gaya-gayaan dan ingin dianggap lain dari yang lain. Akan tetapi ada pula yang memang cocok dengan rasa dari tembakau pilihannya dan pada akhirnya memutuskan untuk merokok tingwe saja, meninggalkan produk rokok pabrikan yang sebelumnya biasa ia isap.

Di lain tempat, ada juga yang memang memilih merokok tingwe dengan alasan utama keterbatasan uang untuk membeli rokok pabrikan. Harga tembakau, kertas linting, dan cengkeh kering digabung jadi satu masih jauh lebih murah dari harga rokok reguler yang dikeluarkan pabrikan-pabrikan di Indonesia. Ini biasanya menjadi pilihan mahasiswa-mahasiswa asal wilayah penghasil tembakau yang merantau untuk kuliah di beberapa kota besar di Indonesia. Selain mahasiswa, pilihan rokok tingwe juga diambil oleh perantau non-mahasiswa yang berasal dari wilayah penghasil tembakau. Dua rombong besar perantau ini kemudian menularkan ke teman-temannya yang lain sehingga lambat laun aktivitas merokok tingwe bisa ditemukan dengan mudah. Anak-anak muda tidak lagi takut dicap kuno dan berselera rendahan karena merokok tingwe.

Selain harga yang murah, kelebihan merokok tingwe adalah, kita bisa meracik rokok sesuai dengan selera masing-masing. Seberapa ukuran lintingan, seberapa banyak tembakau yang digunakan, seberapa banyak cengkeh yang digunakan, juga bisa menambahkan bahan-bahan campuran lainnya sesuai selera. Aktivitas melinting rokok juga butuh keahlian sendiri. Kita akan merasakan kenikmatan lebih jika berhasil melinting rokok tingwe kita dengan baik. Lebih nikmat jika dibanding merokok dengan rokok langsung jadi produk pabrikan.

Baca: Tidak Perlu Menaikkan Cukai, Begini Cara Mengurangi Angka Perokok

Sejauh ini, mereka yang mulai merokok tingwe, biasanya menjadikan tingwe sebagai selingan, atau pendamping dalam aktivitas merokok. Mereka masih tetap merokok rokok favorit produk pabrikan pilihan mereka masing-masing. Masih sedikit yang benar-benar memilih tingwe saja dan sudah sama sekali enggan merokok produk pabrikan reguler.

Akan tetapi, tahun depan mungkin akan banyak perubahan drastis. Para penikmat rokok tingwe sepertinya akan meninggalkan sama sekali rokok pabrikan yang mereka isap bergantian dengan rokok tingwe. Lebih dari itu, akan banyak penikmat rokok tingwe baru, mereka beralih dari mengonsumsi rokok pabrikan secara reguler dan berganti mengonsumsi rokok tingwe sehari-hari.

Penyebabnya tentu saja kebijakan pemerintah lewat kementerian keuangan yang menaikkan besaran cukai rokok mencapai 23% per 1 Januari 2020. Dengan kenaikan cukai sebesar itu, harga rokok diprediksi naik hingga 35% dari harga sebelumnya. Tentu saja ini akan memberatkan banyak perokok dari kelas menengah ke bawah, jumlah terbesar perokok di Indonesia.

Salah satu alasan kementerian keuangan menaikkan cukai rokok adalah untuk memenuhi tuntutan kementerian kesehatan agar para perokok berkurang jika harga rokok naik. Sayangnya, saya pikir alasan itu kurang relevan dan tujuan mengurangi jumlah perokok tidak akan berhasil secara signifikan. Para perokok akan mencari celah untuk tetap bisa menikmati rokok mereka sebagai sarana relaksasi dan rekreasi termurah dalam kehidupan sehari-hari.

Ada dua pilihan yang tersedia bagi para perokok untuk mengakali naiknya harga rokok secara drastis di tahun depan. Cara pertama adalah dengan ganti rokok dengan harga yang lebih murah. Kondisi ini berpotensi membikin rokok ilegal tak bercukai dengan harga sangat murah marak beredar di pasaran. Ini tentu saja akan sangat merugikan pemerintah alih-alih mendapat pemasukan lebih banyak dengan menaikkan persentase cukai.

Baca: Perbedaan Varian Rokok yang Beredar di Pasaran

Cara kedua, adalah dengan beralih merokok tingwe. Dan saya yakin, pilihan ini yang akan banyak dipilih oleh para perokok di Indonesia, terutama anak-anak muda, perokok usia 18 hingga 35 tahun. Ke depannya, prediksi saya, posisi rokok tingwe mirip dengan menjamurnya para penikmat kopi non-sasetan, kopi-kopi premium yang dijual di banyak kafe di negeri ini. Yang membedakan, jika pada mulanya pemilihan kopi premium itu berdasar selera lidah untuk mencicip kopi yang lebih nikmat dengan harga yang relatif mahal dibanding kopi sasetan, hingga akhirnya menjadi tren di kalangan anak-anak muda pencinta senja, pilihan merokok tingwe lebih karena perlawanan. Perlawanan menolak kenaikan cukai rokok yang mendongkrak harga rokok pabrikan dengan sangat signifikan.

Bukan tak mungkin, rokok tingwe kelak akan menjadi starter-pack anak-anak indie pencinta senja selain kopi, senja, dan musik-musik dengan lirik yang, ya, indie bangetlah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)