cukai rokok 23%
CUKAI

Menyoal Cukai Rokok 23%, dari Pendapatan Negara hingga Upaya Pembunuhan Massal

Usai menggelar rapat tertutup di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jum’at, 13 September 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan hasilnya kepada wartawan, bahwa pungutan cukai rokok naik 23% berimbas naiknya 35% harga jual eceran. Kenaikan cukai rokok ini akan diberlakukan pada Januari tahun 2020 dan akan dituangkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kebijakan ini tentu saja akan berdampak serius terhadap keberlangsungan Industri Hasil Tembakau di Indonesia . 

Saya tak bisa membayangkan seberat apa beban Industri rokok harus menyediakan dana talangan di muka untuk membeli pita cukai. Belum lagi industri rokok terbebani harus membayar pungutan restribusi daerah. 

Selanjutnya, akan berdampak pada turunnya pendapatan buruh rokok, turunnya pembelian tembakau dan cengkeh. Efek domino dari naiknya cukai yang cukup fantastis di atas sangat besar. Hal ini sangat merugikan pelaku industri rokok besar maupun kecil. Semua industri harus menyediakan tambahan uang untuk membeli pita cukai di awal. Artinya rokok belum terjual, industri harus menanggung biaya pajak rokok yang harus dibayar dahulu di muka melalui pita cukai (bandrol). Begitu pita cukai naik, industri harus membayar dan menanggung kenaikan pungutan cukai tersebut. 

Yang mampu membeli pita cukai, produksi terus jalan, sebaliknya yang tidak mampu beli pita cukai, tentunya produksi akan berhenti dahulu. Nah, perlu diketahui, membeli pita cukai tidak seperti membeli barang lainnya. Artinya, membeli barang sesuai kemampuan uang yang ada. Beda dengan membeli pita cukai sudah ditentukan di awal disesuaikan dan dikelompokkan menjadi industri kecil, menengah, besar. Jadi jumlah pembelian pita cukai sudah diatur dan disesuaikan dengan kapasitas produksi sesuai kelompok dan kelas industri masing-masing. Tidak bisa industri rokok menentukan sendiri jumlah pembelian pita cukai, semua sudah ditentukan pemerintah melalui Bea dan Cukai.

Baca:  Kenaikan Cukai Rokok Sebesar 23 Persen Berdampak Kerugian bagi Pemerintah

Ada cerita dari Budi (nama samaran) pemilik pabrik rokok kecil, industri rokoknya tutup gara-gara cukai naik. Demi menutup pita cukai yang naik, ia merelakan jatah untuk membeli bahan baku digunakan dahulu membeli pita cukai. Pada akhirnya, saat beli bahan baku ia harus meminjam ke bank. Ternyata setelah rokok jadi dan beredar, laku rokoknya tidak seperti sediakala, karena harga rokok naik. Prediksinya meleset, penjualan rokonya lesu, sedangkan ia harus membayar cicilan bank. 

Walhasil, akhirnya dengan berat hati industrinya tutup sementara. Karena uang keluar lebih besar dari pada pendapatan, sehingga ia tidak bisa lagi melanjutkan produksi. Ia juga dengan sedih harus merumahkan puluhan karyawannya (buruh) yang sudah lama ikut membantunya membuat rokok. Industrinya tutup, masih menanggung beban tagihan bank perbulan. 

Bisa disimpulkan, dampak kenaikan cukai terbagi dua, dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung dirasakan industri rokok dan konsumen (perokok), kemudian akan berdampak pada buruh industri, petani cengkeh dan petani tembakau. Industri harus membayar dimuka untuk pembelian pita cukai. Cukai naik otomatis  harga rokok naik, selanjutnya memengaruhi daya beli para perokok. Ketika pasara rokok melemah, permintaan pasarpun ikut melemah, sehingga produksi rokok berkurang. 

Setelah produksi rokok berkurang, berdampak terhadap berkurangnya pendapatan buruh rokok, berdampak berkurangnya permintaan bahan baku tembakau dan cengkeh. Kemudian berdampak berkurangnya pendapatan sektor ekonomi masyarakat kecil disekitar pertembakauan, seperti pembuat keranjang tembakau, buruh tumplek tembakau, tempat penitipan sepeda motor sekitar industri, warung klontong bahkan pasar tradisional. 

Mengingat jumlah buruh rokok cukup besar totalnya berkisar ratusan ribu karyawan tersebar di kota-kota kecil, terutama di pulau Jawa, seperti Kudus, Bojonegoro, Malang, Pasuruan dan masih banyak kota lainnya. Belum lagi sektor pertanian tembakau dan cengkeh dari hulu sampai hilir sebesar 6.1 juta jiwa yang tersebar di 15 provinsi untuk tanaman tembakau, dan tersebar di 30 provinsi untuk pertanian cengkeh. 

Baca: KNPK Tolak Kenaikan Cukai Rokok 23 Persen dan Beberkan Dampak Kerugiannya

Ketika sektor pertembakauan lesu, akan berdampak terhadap melemahnya aktivitas ekonomi pasar, dan melemahnya kegiatan-kegiatan sosial khususnya di kota-kota sektor pertembakauan, umumnya di kota-kota lain yang berdekatan dengan kota sektor pertembakauan.

Ambil contoh di Negeri (Desa) Haruku Ambon Maluku, tanaman cengkeh di sana sebagai komoditas andalan masyarakat untuk hidup. Mereka bisa meneruskan sekolah, membangun rumah, melakukan upacara adat, membeli barang berharga tidak lain dari hasil cengkeh. Bahkan tidak jarang tiap rumah punya tabungan cengkeh persiapan untuk kebutuhan mendadak, seperti berobat saat sakit. 

Di Temanngung sektor pertanian tembakau pun demikian, mereka panen sekitar 3 bulan dalam satu tahun, dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari selama satu tahun. Selain itu, sebagian masyarakat petani tembakau, mau merayakan pernikahan atau hajatan apapun yang memerlukan biaya besar menunggu hasil dari pertaniannya (tembakau). Di Kudus ada sekitar ratusan ribu karyawan rokok, mereka bisa menyekolhkan anak, membeli motor atau barang berharha lainnya, memenuhi kebutuhan sehari hari dari hasil sebagai karyawan industri rokok. Ini baru tiga kota diambil sebgai contoh, belum kota-kota lainnya yang tersebar di nusantara yang mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada sektor pertembakauan. Pertanyaan selanjutnya, lalu bagaimana nasib mereka jika permintaan pasar rokok melemah, jika industri rokok kretek pada tutup gara-gara pemerintah menaikkan tarif cukai hingga 23%. Apakah pemikiran pemerintah sudah sampai segitu? Apakah pemerintah bertanggungjawab terhadap mereka, jika sampai mereka tidak bisa memenuhi kebutuhannya? 

Kalau industri mungkin bisa alih profesi karena masih punya modal, sekalipun industri kecil. Kalau konsumen rokok relatif tinggal pilih, punya uang bisa beli rokok, tak punya uang masih bisa diakali dengan membuat rokok sendiri alias “tingwe” (nglinteng dewe). Kalau buruh/karyawan, petani tembakau dan cengkeh apa yang bisa mereka perbuat?. Umpama banting setir mencari pekerjaan lain belum tentu dapat. Umpama banting setir menanam komoditas lain tentu sangat berisiko. Hasilnya jauh tidak sebanding dari hasil tumbuhan tembakau atau tumbuhan cengkeh. Karena kearifan lokal, lahan yang dimiliki sangat cocok hanya untuk tanaman tembakau atau cengkeh. 

Baca: Tidak Perlu Menaikkan Cukai, Begini Cara Mengurangi Angka Perokok

Sebenarnya dalam konteks durasi lama, pemerintah akan rugi  atas kebijakannya sendiri dengan menaikkan cukai cukup tinggi. Sederhananya begini, jangka pendek memang pemerintah mendapatkan pemasukan dari pungutan cukai sangat besar bahkan bisa melampaui target. Namun efeknya pasaran rokok melemah/permintaan pasar berkurang, kemudian produksi rokok akan dikurangi  bahkan ada industri yang mati atau minimal tidak beroperasional. Secara otomatis ditahun depan atau tahun selanjutnya pemasukan Negara dari cukai berkurang, strateginya dinaikkan lagi agar sesuai target begitu seterusnya, hingga suatu ketika pada titik tertentu semua industri rokok tutup atau beralih pada usaha lain. 

Disinilah otomatis pemerintah tidak akan lagi mendapat pemasukan dari cukai rokok. Seperti halnya teori berdagang, jika mengambil untung terlalu banyak dan tinggi saat berdagang, tinggal nunggu hari dagangannya tidak laku, kemudian bangkrut. Beda dengan mengambil keuntungan sedikit dan wajar, maka berdagangnya bisa dipastikan berkembang dan berkelanjutan.  

Dengan demikian, rencana pemerintah menaikkan cukai 23% sama saja akan membunuh pelan-pelan industri hasil tembakau. Sama saja mengkebiri pendapatan buruh atau karyawan industri rokok kretek. Sama saja mencekik pelaku petani tembakau dan cengkeh. Mereka hidup dari generasi ke generasi sudah ratusan tahun guna penopang utama perekonomianya dari sektor pertembakauan. Jadi pemerintah dalam hal ini Presiden atau Kementerian Keuangan harus mengkaji ulang untuk kenaikan cukai hingga 23 % atau menggagalkan rencana kenaikan tersebut, diganti dengan kenaikan yang realistis. Kenaikan cukai 7% yang ditawarkan Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) cukup adil. Berdasar dari pengalaman lapangan, dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi permintaan pasar rokok yang dari tahun ke tahun melemah, berdampak terhadap pendapatan petani tembakau dan cengkeh serta buruh/karyawan industri rokok. Bahkan trend melinting rokok sendiri perlahan mulai naik, hal ini juga dampak dari naiknya harga rokok dan berpengaruh terhadap kurangnya permintaan pasar.

Untuk itu, harusnya Presiden atau Kementerian Keuangan turun ke bawah melihat langsung kondisi sektor pertembakauan minimal mengajak ngobrol masyarakat pertembakauan, seperti petani tembakau, petani cengkeh, buruh/karyawan rokok, terutama industri rokok. Karena merekalah yang lebih faham situasi perkembangan sektor pertembakauan dan pengaruh langsung dan tidak langsung jika cukai dinaikkan.