cukai rokok
CUKAI

Naiknya Cukai Rokok Ancaman Bagi Buruh Industri Rokok

Semua industri rokok akan merasakan dampak kebijakan kenaikan cukai. Mau industri kecil, menengah maupun industri besar pasti menanggung akibat kenaikan cukai tersebut. Perlu diketahui, dampak yang ditanggung industri berujung menjadi malapetakan bagi para buruh.  Kebijakan pemerintah yang rencananya menaikkan cukai rokok 23% akan berdampak negatif bagi buruh industri rokok di Indonesia. Logika mata rantainya sangat jelas, begitu cukai di naikkan, harga rokok ikut naik. Setiap terjadi kenaikan harga rokok, maka rokok dipasaran semakin lesu. Saat permintaan pasar rokok melemah, pasti akan berpengaruh terhadap pendapatan buruh.

Jika ada industri rokok yang menolak kebijakan kenaikan cukai, pada dasarnya bukan semata-mata hanya untuk kepentingan dirinya saja.  Lebih dari itu, industri yang menolak kenaikan cukai otomatis memperjuangkan hak kehidupan bagi buruh. Karena buruh dan industri satu kesatuan yang tak bisa lepas begitu saja. Karena industri rokok sangat membutuhkan pekerja atau buruh pembuat rokok. Bisa saja industri tak memperdulikan cukai mau naik atau tidak, begitu menguntungkan industri tetap dijalankan, begitu merugi industri ditutup atau diliburkan. Inilah sebenarnya prinsip dasar pemodal atau pemilik Kapital. 

Seperti halnya menghadapi kenaikan cukai rokok kedepan, industri pada dasarnya yang menentukan nasib buruh. Jika keadaan permintaan lesu, bisa saja industri memilih libur dulu atau tidak beroperasi hingga permintaan stabil. Baru disaat ada permintaan pasar, buruh dipekerjakaan kembali. Artinya buruh atau karyawan pun harus ikut libur tanpa pendapatan. Dengan modal yang dimliki, industri rokok bisa saja beralih profesi bisnis yang lebih menguntungkan dan menjanjikan. Jika terjadi demikian, hal yang lumrah dan wajar. Beda dengan buruh, mereka hanya pasrah dengan keputusan industri. Jika memeng industri merugi, buruhpun tidak akan luput dari dampaknya. PHK dan merumahkan buruh skala kecil maupun besar bisa terjadi.

Salah satu alternatif terbijak dan terbaik dari yang terburuk yang hanya bisa dilakukan industri rokok supaya tetap berproduksi disaat permintaan pasar rokok melemah, adalah pengurangan jam kerja atau pengurangan karyawan. Semisal biasanya masuk jam tujuh pagi pulang sore, diatur mejadi pulang jam sepuluh siang atau sebelum jam 12 siang. Pengurangan jam kerja ini, jelas akan mengurangi pendapatan buruh tiap harinya, karena mereka sistem borongan harian. Rata-rata buruh borongan harian justru masyarakat kecil atau “wong cilik” seperti para pekerja wanita atau ibu-ibu yang punya kreatifitas dan keahlian membuat rokok, buruh “nyontong” (memasukkan dan menata rokok)  dan buruh “mbatil” (merapikan ujung rokok). Belum lagi jika industri memilih pengurangan jumlah karyawan, jelas sangat merugikan bagi mereka yang terkena perampingan, dan mereka tidak akan mudah mencari pekerjaan lain. Jumlah buruh industri rokok yang didominasi para pekerja wanita baik usia produktif mauapun usia lanjut totalnya sekitar 600.000 karyawan.  

Menjadi buruh rokok, menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka selain sebagai ibu rumah tangga, juga mendapatkan penghasilan yang dapat membantu suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Faktanya hanya industri rokok yang selama ini yang mau menampung mereka. Karena rerata mereka di atas usia produktif, namun mereka masih mampu menghasilkan uang sebagai penghasilan tambahan dalam rumah tanggga dengan berbekal keahlian yang dimiliki. Mereka adalah para wanita mandiri, yang tidak tinggal diam hanya berpangku tangan.  

Kalau ada sebagian pengusaha rokok menerima kenaikan tarif cukai rokok, sebenarnya bentuk dari kepasrahan. Mereka tidak bisa berbuat lebih melakukan protes agar cukai tidak naik. Suaranya tidak pernah didengarkan pemerintah. Faktanya, tiap tahun pemerintah hampir rata-rata menaikkan tarif cukai rokok. Dari dulu hingga sekarang, setiap tarif cukai naik akan berakibat menjadi mahal harga rokok, setelah harganya mahal keuntungan industri menurun, disebabkan pasaran rokoknya melemah. Di titik merosotnya pendapatan, industri harus gigih dan berpikir keras mencari solusi agar produksi rokoknya tetap laku yang akhirnya tetap berproduksi. Salah satu jalan yang biasa ditempuh, dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk promosi. Bagi industri keadaan ini menjadi dilema, ia harus mempertahankan karyawannya dengan upaya tetap berproduksi, walaupun terkadang disiasati dengan pengurangan jam kerja. 

Dengan demikian, industri rokok nasional merupakan modal ekonomi yang menjadi pilar penting penyokong kemandirian dan kedaulatan ekonomi masyarakat buruh. Dengan kenaikan tarif cukai 23% sama dengan melemahkan kemandirian dan kedaulatan masyarakat buruh rokok. Industri rokok merupakan industri padat karya dengan memberi sumbangsih besar terhadap penyerapan tenaga kerja mulai dari hulu hingga hilir. Untuk itu, perlindungan terhadap industri rokok nasional sangat dibutuhkan dan pemerintah wajib melaksanakan. Salah satu bentuk perlindungan terhadap industri rokok adalah menggagalkan kenaikan tarif cukai rokok 23%, karena akan berdampak signifikan terhadap laju peredaran rokok yang kemudian akan berdampak terhadap penghasilan para buruh pekerja industri rokok. 

Apabila pemerintah tetap menaikkan tarif rokok 23%, jangan salahkan industri rokok, jika akan mengambil kebijakan yang sangat merugikan buruh rokok, minimal penghasilan buruhpun ikut berkurang. Bisa jadi industri merampingkan buruh karyawan, bisa jadi pengurangan jam kerja. Disini pemerintah yang harus bertanggungjawab bila itu terjadi. Pemerintah harus ikut menanggung derita buruh, karena ulah kebijakannya. Hal ini harus diketahui dan disadari betul baik buruh maupun pemerintah. Yang bisa diharapkan, semoga dengan dampak naiknya tarif cukai tersebut, industri rokok nasional mengambil solusi yang terbaik dari yang terburuk, mengambil kebijakan yang dapat melindungi buruh dan karyawannya.