Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser ‘Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest’ saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.
Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue. Ketika mendekati jadwal open gate, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.
Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo
Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.
Lagu ini pernah menjadi soundtrack hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.
Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang
The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.