Baru-baru ini Wali Kota Bogor Bima Arya terpilih menjadi pembicara pada The 5th ASEAN Mayors Forum 2019 di Kota Bangkok, Thailand. Bima menyampaikan materi tentang kiprah Bogor dalam melakukan pengendalian tembakau. Keren? Tentu keren, karena cuma itu saja yang dapat dibanggakan oleh Bima Arya.
Kota Bogor boleh dibilang sebagai pelopor daerah dalam penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia. Melalui Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 mengenai KTR, membuat daerah-daerah lain turut mengeluarkan kebijakan Perda KTR dengan role model Perda tersebut.
Ketika Perda KTR Kota Bogor menjadi inspirasi daerah lain ditambah kelompok antirokok yang terus memuja-muji, maka Bima Arya makin agresif menerapkan aturan KTR di daerahnya. Bahkan saking agresifnya sampai-sampai peraturan itu melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada diatasnya.
Baca: Menyoal Aturan Kawasan Tanpa Asap Rokok
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pernah menegaskan Perda KTR Kota Bogor sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Meskipun melanggar ketentuan konstitusi, Bima Arya tetap tancap gas seraya tak mengindahkan peringatan dari Kemendagri. Dikarenakan ia mendapatkan dukungan dari kelompok antirokok yang sebenarnya sedang menunggangi Bima Arya untuk kepentingan kampanye mereka.
Apakah dengan menggalakkan Perda KTR lantas membuat Kota Bogor tidak memiliki masalah di daerahnya? Kota bogor justru memiliki segudang masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan persoalan tembakau. Hal ini bisa saja diasumsikan bahwa untuk menutupi segudang permasalahan di Kota Bogor, Bima Arya menutupinya dengan menggaungkan keberhasilannya menerapkan kebijakan pengendalian tembakau.
Permasalahan Kota Bogor menurut pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, terdapat tiga hal yang paling mendesak dibereskan yakni penataan ruang kota, pengembangan dan perbaikan jaringan infrastruktur dan transportasi, peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Baca: Kretek Cerminan Kedaulatan Ekonomi dan Tradisi Budaya Bangsa
Dalam permasalahan penataan ruang kota, masih terjadi praktik obral izin konversi lahan atau tata guna lahan. Lihat saja bagaimana Kota Bogor kini menjelma menjadi kota padat huni, masih terlihat tata ruang kota yang carut-marut. Padahal kota yang dijuluki kota hujan ini seharusnya dapat memiliki ruang terbuka hijau yang banyak, bukan hanya mengandalkan Kebun Raya Bogor saja.
Kalau soal pengembangan dan perbaikan jaringan infrastruktur, kita semua sepakat bilang kalau Kota Bogor adalah kota yang semrawut dengan kemacetannya. Angkutan umum yang berhenti sembarangan, lalu lintas yang padat serta infrastruktur jalan yang belum bisa dibilang baik.
Lalu soal permasalahan pertumbuhan ekonomi, Kota Bogor memiliki masalah dengan tingginya angka pengangguran dan angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2017 angka kemiskinan Kota Bogor berada di angka 7,11 persen atau berada di peringkat ke-7 di Jawa Barat.
Ada berapa penduduk miskin di Kota Bogor? Menurut data Komite Pemantau Legislatif (Kopel), pada 2017, Kota Bogor masih memiliki 71,3 ribu warga miskin dari sekitar satu juta lebih penduduk. Jumlah penduduk miskin di Kota Bogor hanya mengalami penurunan sekitar satu persen dari tiga tahun sebelumnya.
Itu baru tiga permasalahan yang krusial dihadapi oleh Kota Bogor, belum permasalahan-permasalahan lain mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar. Maka bukankah menggaungkan keberhasilan Perda KTR Kota Bogor dengan mulut besar Bima Arya tidak berdampak apapun pada pembenahan masalah-masalah yang ada di Kota Bogor?
Patutlah kita tunjuk hidung Bima Arya dengan sebutan tong kosong nyaring bunyinya.