rokok ilegal
OPINI

Peredaran Rokok Ilegal

“Bekerja di tengah perkebunan karet seperti saya, yang untuk mencapai lokasi perkebunan mesti lewat perkebunan sawit dan kadang mesti lewat hutan juga, merek rokok nggak lagi penting, Mas. Yang penting rokoknya banyak asapnya, dan terutama, harganya murah. Kalau rasa, lama-lama juga terbiasa kok. Kan bahan dasarnya sama juga, tembakau dan cengkeh.” Ujar Supangat.

“Kenapa harus banyak asapnya, Mas?” Tanya saya.

“Di kebun karet itu, nyamuknya banyak, Mas, banyak banget. Selain selalu bawa bat nyamuk, rokok yang asapnya banyak juga membantu mengusir nyamuk.”

Obrolan antara saya dengan Supangat itu terjadi sekira delapan tahun lalu, di tengah perkebunan karet di salah satu wilayah transmigrasi di Provinsi Jambi. Supangat seperti kebanyakan transmigran lainnya yang masuk ke Jambi pada periode 80an awal. Mereka berasal dari beberapa wilayah di Pulau Jawa, secara sukarela mendaftarkan diri menjadi transmigran, dan bekerja di kebun-kebun karet dan atau kebun-kebun sawit di beberapa wilayah di Jambi.

Saya lantas mengambil bungkus rokok kretek sigaret kretek tangan (SKT) milik Supangat, memperhatikan detail bungkus rokok, mengambil sebatang kretek dari dalam bungkus, lantas mencicip kretek itu. Rokok kretek milik Supangat yang saya cicip bermerek Rawit, seingat saya produksi pabrikan di Malang, Jawa Timur. Tak ada pita cukai yang menempel di bungkus rokok itu. Berdasarkan informasi dari Supangat, harga sebungkus rokok SKT merek Rawit ketika itu seharga Rp2.500 saja, jika beli langsung satu slop berisi 10 bungkus, harganya Rp20.000. 

Baca: Menyoal Cukai Rokok 23%, dari Pendapatan Negara hingga Upaya Pembunuhan Massal

Di kios-kios yang saya datangi di desa-desa transmigran yang tersebar di Jambi, Sumatra Selatan, Riau, hingga Aceh, saya banyak menemukan rokok sejenis Rawit, baik itu dari jenis SKT, juga jenis SKM, dengan harga yang sangat murah dan tentu saja tanpa pita cukai. Tiap kali berkunjung ke kios untuk membeli rokok favorit saya, saya juga sering membeli rokok-rokok merek lain yang asing bagi saya, dan hampir seluruhnya, tanpa pita cukai. Dari sekian banyak rokok semacam itu yang pernah saya lihat atau saya beli sebagai pemuas rasa penasaran saya, ada beberapa yang masih saya ingat mereknya. Selain Rawit, ada Joget, M17 Hitam, M17 Filter, Gudang Ganam, Djuram, Soery 16.

Kebanyakan bungkus rokok dan font tulisan di bungkus rokok tak bercukai itu, memiliki kemiripan dengan rokok-rokok merek terkenal yang biasa beredar di pasar Indonesia. Semasa saya tinggal di Jambi lebih dari satu tahun, dan kerap berinteraksi dengan masyarakat di desa transmigran, saya mengamati dengan cukup serius keberadaan rokok-rokok berharga super murah ini di kios-kios di desa transmigran. 

Setiap bulan, ada saja merek baru dari rokok-rokok super murah ini yang datang ke desa dan dijual di kios-kios. Beberapa bisa bertahan cukup lama, kebanyakan hanya muncul sebulan dua bulan lantas menghilang, digantikan merek-merek baru dengan harga murah lainnya. Rokok-rokok semacam ini dijual bersaing dengan rokok-rokok bercukai dengan harga tiga hingga lima kali lipat dari harga rokok tak bercukai itu.

Ketika saya berkunjung ke Sulawesi Selatan, mendatangi beberapa desa di kaki pegunungan Latimojong dan kaki gunung Lompobattang dan Bawakaraeng, saya juga menemukan rokok-rokok murah tak berpita cukai seperti yang saya temukan di desa transmigran di Sumatra. Di Papua pun begitu. Dan yang terbaru, di beberapa desa di kabupaten yang dikenal sebagai salah satu kabupaten penghasil tembakau, Jember.

Baca: Perbedaan Varian Rokok yang Beredar di Pasaran

Rokok-rokok tak berpita cukai dengan harga murah ini juga beredar di Kalimantan, Maluku, Bali, Lombok, Flores, dan banyak tempat lainnya. Bisa dikatakan, hampir di seluruh Indonesia rokok-rokok harga murah tak berpita cukai ini beredar. Utamanya, rokok-rokok jenis ini beredar di wilayah-wilayah perdesaan, dengan pekerjaan utama warganya sebagai petani dan pekerja kebun, di perkebunan sawit, karet, kakao, cengkeh, dan lainnya.

Sekali dua pemerintah lewat aparat di bea cukai bekerja sama dengan pemerintah daerah berhasil menangkap mereka yang mengedarkan rokok-rokok tak bercukai yang tentu saja merugikan negara itu. Mereka tentu saja melanggar hukum karena mengabaikan kewajiban untuk membayar cukai sebagai syarat agar produk rokok mereka bisa diedarkan. Akan tetapi, saya kira keterbatasan aparat bea cukai dan kelihaian para pemain rokok ilegal ini menjadikan rokok-rokok ilegal masih bisa beredar di pasaran dan cukup mudah ditemui di kios-kios dan dijual secara terang-terangan.

Belum lama ini, pemerintah lewat kementerian keuangan mengeluarkan pengumuman bahwa cukai rokok mulai awal tahun depan akan naik sebanyak 23%. Kenaikan cukai sebanyak 23% itu salah satunya berdampak pada kenaikan langsung harga rokok. Diperkirakan rata-rata rokok di pasaran naik sebanyak 35%. Jika harga rokok bercukai yang beredar di pasaran saat ini berada pada angka Rp15.000 hingga Rp25.000, maka mulai tahun depan harga rokok bercukai akan berada pada angka Rp20.250 hingga Rp33.750.

Kenaikan harga rokok seperti itu, alih-alih menurunkan jumlah perokok karena enggan mengeluarkan uang untuk membeli rokok semahal itu, malah akan semakin menambah semarak peredaran rokok ilegal di Indonesia. Wilayah peredaran rokok ilegal akan semakin luas, salah satu efek domino dari rokok ilegal ini, pendapatan negara lewat cukai rokok akan menurun, meskipun persentase cukai dinaikkan hingga 23%. Hal-hal semacam ini yang kadang luput dari pantauan pembikin kebijakan di level atas. Saya yakin masukan-masukan dari stakeholder sudah ada, akan tetapi, sepertinya tidak didengar sehingga pemerintah berkeras menaikkan cukai secara tak wajar, hingga mencapai 23%.