cengkeh indonesia
REVIEW

Beratnya Perjalanan Rokok Kretek di Indonesia

Jelas-jelas kretek satu-satunya industri yang peka zaman. Industri yang telah membuktikan ketangguhannya selama ratusan tahun tetap bertahan hidup hingga sekarang. Keberadaan industri kretek masih terus memberikan kontribusi besar terhadap bangsa Indonesia, baik untuk petani, ketersediaan lapangan pekerjaan, jaminan sosial, pengembangan kebudayaan bangsa bahkan sampai pada berkontribusi besar terhadap pemasukan dan pendapatan Negara. Namun perjalanan industri kretek dari zaman kezaman menghadapi tantangan dan ancaman yang sangat berat hingga sekarang.

 Uang dari hasil rokok kretek oke, barangnya nanti dulu, itulah situasi rokok kretek di Indonesia. Sangat ironi sekali, keberadaan kretek di Indonesia selalu di recoki, mulai dari aturan perundang-undangan sampai pada isu tak sedap yang dikaitkan dengan keberadaan rokok kretek. 

Pertama, undang-undang cukai dan kejahatan rezim kesehatan. Cukai merupakan komponen pendapatan negara yang mempunyai peran penting untuk terlaksananya tugas Negara. Pungutan cukai sudah terlaksana sejak zaman kolonial dalam Staatsblad No. 517 tahun 1932. Giroh pungutan ini hanya berdasar pada penguatan pendapatan dan keungan kolonial. Karena dirasa salah satu industri yang mampu menopang keuangan kolonial saat itu. 

Setelah merdeka, pungutan cukai tetap dilanjutkan sebagai bagian penguatan keuangan Negara, diatur pada Undang-undang No. 28 Tahun 1947 hingga Undang-undang No.11 Tahun 1995. Pada tahun 2007, terjadi pergeseran alasan pungutan cukai yang awalnya untuk penguatan keuangan Negara, kemudian bertujuan sebagai sarana pembatasan peredaran dan pemakaiannya. Pergeseran tujuan ini, karena dominasi rezim kesehatan. Yaitu munculnya UU No. 39 Tahun 2007,  Tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 1995. Dalam UU No. 39 tahun 2007 ini terlihat sangat kuat dominasi kesehatan. Sehingga memberi peluang peningkatan tarif cukai terjadi tiap tahun. Jadi naiknya tarif cukai menjadi jalan paling efektif untuk menekan lajunya peredaran rokok kretek. Terlihat, dari awal kemunculan pada abad 19 hingga tahun 1995, keberadaan industri kretek sangat berarti sebagai satu budaya yang mengakar di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia. 

Mulai tahun 2007 sampai sekarang rezim kesehatan mendominasi aturan kretek. Kejadian ini akibat desekan dan tekanan dunia internasional setelah terjadi perselingkuhan WHO dengan perusahaan farmasi multinasional di Swiss pada tanggal 30 Januari 1999. Direktur Jenderal WHO, Gro Harlem Brundtland mengumumkan proyek kemitraan antara WHO dan perusahaan farmasi multinasional Pharmacia & Upjohn, Novartis dan Glaxo Wellcome untuk pengembangan nicotine replacement therapy (NRT). Dalam pidatonya, Brundtland terang-terangan mendeklarasikan kampanye anti rokok untuk mensukseskan tujuan bersama. 

Kemitraan antara WHO dan industri farmasi multinasional , setelah adanya riset di Amerika Serikat yang dilakukan lembaga penelitian kesehatan Surgeon General yang mengaitkan konsumsi nikotin tembakau dengan kesehatan. Riset tersebut memicu pengambilalihan bisnis nikotin diberbagai Negara termasuk Indonesia. Karena secara alamiah, kandungan nikotin terbesar ada di daun tembakau. Nikotin bagi ilmuwan kesehatan mempunyai banyak manfaat untuk pengobatan dan aneka terapi. 

Organisasi kesehatan dunia WHO sebagai organisasi pemegang otoritas tertinggi kesehatan dunia, dengan lantaran mendapatkan sokokngan dana industri farmasi menjadikan organisasi WHO tidak lagi bertindak demi meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dunia. Melainkan muncul liberalisasi kesehatan modern. WHO menjadi panjang tangan industri farmasi, dokter atau ilmuwan kesehatan menjadi alat perusahaan obat, menjadi ujung tombak industri farmasi. 

Tidak menngherankan, jika di Indonesia sampai detik ini keberadaan dokter atau ilmuwan kesehatan penopang utama peredaran obat dan apotek. Yang terjadi ada take and give, saling memberi dan menerima. Bisa jadi pendapatan dokter di Indonesia lebih besar penjualan obat dari pada hasil dari konsumen atau pasien. Tak berhenti disitu, akibat di atas, memicu maraknya berdirinya apotek di Indonesia sampai tingkat Kecamatan dan desa. Masyarakat Indonesia dibuat hidupnya tergantung obat-obatan, mulai meninggalkan pengobatan alamiah tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya. Bahkan masyarakat Indonesia dalam benaknya sudah terkontaminasi rezim kesehatan, semua penyakit harus disembuhkan dengan mengkonsumsi obat. Yang lebih menyedihkan lagi, praktek-praktek tradisional mulai terkikis dan hilang dari peredaran. Ambil contoh, dukun bayi, jamu tradisional, tumbuhan obat-obatan mulai tertelan bumi.     

Turunan dari UU No. 39 tahun 2007 diatas, muncul Permenkeu No. 200/PMK/04/2008, tentang aturan tata cara pemberian, pembekuan dan pencabutan nomor pokok pengusahaan barang cukai untuk pabrik atau industri hasil tembakau. Dalam aturan ini, memberlakukan ketentuan yang sangat berat bagi industri rokok kretek rumahan (industri kecil). Yaitu salah satunya, aturan industri kretek bangunan luasnya harus 200 meter persegi, tidak berhubungan langsung dengan bangunan rumah tempat tinggal, halaman rumah dan tempat lain yang bukan bagian pabrik, dan diharuskan bangunan tersebut di pinggir jalan umum. Gara-gara aturan ini, banyak industri kecil rumahan mati. Sebelum ada aturan ini, di kota Kudus sendiri banyak sekali industri kretek rumahan belum lagi di kota lain seperti kabupaten Jember, Malang dan lainnya.  

Setelah Permenkeu No. 200/PMK/04/2008, muncul Permenkeu lainnya, seperti Permenkeu No. 191/PMK.04/2010, Permenkeu No. 78/PMK.011/2013, Permenkeu 84/2008, Permenkeu 20/2009. Dari semua Permenkeu tersebut, semuanya mengarah pelemahan industri rokok kretek nasional yang didasari dari intervensi rezim kesehatan. 

Pada tahun 2009 muncul Undang-undang No. 28 Tentang pajak daerah dan retribusi daerah atau lebih sederhanya di sebut pajak daerah selain cukai. Besaran pajak daerah ini 10% atas produk tembakau. Unduang-undang ini adopsi dari framework convention on tobacco control (FCTC). Tujuan utama pungutan pajak daerah ini sama halnya pergeseran paradigma pungutan cukai, yaitu untuk menekan peredaran rokok kretek nasional. Kemudian muncul PP 109 tahun 2012 yang didalamnya tembakau dimasukan sebagai bahan zat adiktif, ini sebagai upaya ektrim untuk mematikan rokok kretek Indonesia.

Kedua, kampanye isu negatif terhadap rokok kretek. Hampir semua penyakit yang diderita manusia dikaitkan dampak dari rokok, baik bagi perokok maupun yang tidak merokok. Tanpa dasar, tanpa bukti keberadaan rokok kretek sebagai sumber dari segala penyakit. Lebih tidak rasional lagi, semua dampak yang terjadi di masyarakat selalu dikaitkan dengan rokok kretek. Ambil contoh, kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya karena mengkonsumsi rokok kretek. Naiknya iuran BPJS gara-gara banyak tunggakan yang belum terbayar, gara-gara pengurusan yang tidak akuntabel dikaitkan dengan konsumsi rokok kretek, memberikan nuansa negatif pada perokok. Sampai hal-hal yang terkecil seperti keberadaan sampah, polusi udara selalu keberadaan rokok kretek selalu disalahkan. Inilah bentuk kampanye anti rokok, bertujuan mematikan industri rokok kretek nasional. Setelah industri mati, farmasi melenggang memonopoli perdagangan nikotin.   

Pengaruh wacana kesehatan global yang dikampanyekan kelompok anti tembakau dan rokok kretek telah menyusup dalam regulasi di Negara Indonesia. Melalui kebijakan pengaturan peredaran tembakau dan membuat isu negatif rokok kretek sangat didominasi rezim kesehatan, menafikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang telah mengakar berates tahun. Pada akhirnya kebijakan tembakau di Indonesia melemahkan industri kretek nasional, yang selama ini menjadi sumber penghidupan berpuluh-puluh juta rakyat yang terintegrasi dengan insdustri rokok kretek nasional.