OPINI

Fakta-Fakta Dibalik Kebencian Bima Arya Terhadap Industri Hasil Tembakau

Wali Kota Bogor, Bima Arya selalu sesumbar bahwa Kota Bogor bebas dan bersih dari IHT (Industri Hasil Tembakau). Bima sangatlah naif, ia seakan menampik besarnya kontribusi IHT untuk Kota Bogor. Memang tidak sebanyak daerah-daerah penghasil tembakau lainnya, karena memang Kota Bogor bukan daerah penghasil tembakau maupun cengkeh, tapi adanya kontribusi IHT untuk Kota Bogor merupakan fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi oleh Bima Arya.

Kota Bogor setiap tahunnya selalu mendapatkan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau). DBHCHT sendiri sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007 adalah “Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen)”.

Di tahun 2019 Kota Bogor mendapatkan DBHCHT sebesar 4,5 miliar rupiah dari total penerimaan DBHCHT Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 380 miliar rupiah. Sumbangan DBHCHT bagi Kota Bogor ini meningkat dari tahun 2018 yang jumlahnya sebesar 4,2 miliar rupiah.

Selain sumbangan dari DBHCHT, sektor IHT juga menyumbang PDRD (Pendapatan Daerah Retribusi Daerah) dalam setiap satu batang rokok yang diperjual-belikan di wilayah Kota Bogor. Besaran PDRD dalam satu batang rokok sebesar 10 persen dari besaran jumlah cukai rokok yang dikenakan terhadap satu batang rokok.

Adanya kontribusi IHT bagi Kota Bogor ini diakui oleh Sekretaris Daerah Kota Bogor, H. Ade Sarip Hidayat. Dalam pengakuannya penerimaan DBHCHT dialokasikan untuk berbagai kegiatan melalui beberapa SKPD, diantaranya Dinas Kesehatan Kota Bogor, Disperindag, RSUD Kota Bogor dan Satpol PP Kota Bogor.

Melihat fakta di atas, lantas mengapa Bima Arya malu-malu kucing mengakui kontribusi IHT bagi Kota Bogor? Malah Bima dengan bangga sekaligus naif menyatakan bahwa daerah yang dipimpinnya bersih dari anasir IHT.

Kenaifan Bima sebenarnya bukan tanpa alasan, Bima sudah kadung terperangkap dalam kepentingan pengendalian tembakau yang ditunggangi oleh pihak asing. Sejak Bima memimpin Kota Bogor di periode pertamanya, Bima sudah disandera kelompok antirokok dengan berbagai pujian yang dilemparkan kepadanya atas sikap Bima yang keras terhadap rokok.

Berbekal Perda KTR Bogor, Bima banyak melakukan manuver kebijakan aneh seperti membentuk satgas antirokok untuk merazia para perokok, melarang total iklan luar ruang bagi produk hasil tembakau, hingga kebijakan tirai rak display produk rokok yang ada di minimarket Kota Bogor.

Manuver yang dilakukan Bima Arya sangat berlebihan, bahkan bisa dibilang perbuatannya tidak mencerminkan mandat hukum perundang-undangan yang memayungi Perda KTR Kota Bogor. Adapun Perda KTR Kota Bogor sendiri menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, S.H.,M.H dinilai cacat hukum karena bermasalah secara materil dan secara formil jika merunut payung hukum di atasnya.

Pada dasarnya Perda KTR Kota Bogor memang sudah bermasalah sejak kelahirannya. Perda sendiri pada prinsipnya harus mencirikan satu hal, yaitu aspek sosiologis yang itu erat kaitannya dengan kearifan lokal. Maka dalam dibuatnya peraturan seperti Perda, pada prosesnya harus ada pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan. Proses inilah yang tidak terjadi dalam pembuatan Perda KTR Kota Bogor.

Materi muatan dari Perda KTR Kota Bogor justru lebih mengacu kepada muatan internasional yakni butir-butir pasal dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Hal tersebut menjadi rancu sebab lahirnya Perda KTR Kota Bogor ini bertujuan untuk kepentingan daerahnya atau melayani kepentingan pihak asing semata?

Dari kenaifan Bima Arya ini kita dapat mengambil benang merah bahwa ia lebih ingin mengabdi kepada kepentingan asing ketimbang kepentingan nasional. Terlihat dari cara dan sikap Bima Arya terhadap Industri Hasil Tembakau, ia lebih memilih mendambakan Perda KTR-nya, bahkan melegitimasi untuk menggebuk sektor IHT di wilayahnya.