Beberapa bulan ini, tetangga sedang merenovasi rumahnya. Para tukang, berjumlah lima orang, datang dari Gemawang, Temanggung. Selain membawa perlatan dan perkakas pertukangan, bekal yang selalu mereka bawa yakni tembakau.Di sela pekerjaan, mereka menata tembakau dan cengkeh lalu dilinting dengan kertas garet tebal.
“Nglinting, Mas,” Mas Sugeng, salah seorang tukang menawari saya.
“Enak pakai garet yang tipis, Mas,” tukas Mas Dodo, tukang yang lain sembari menaburkan cengkeh di atas tembakau.
Saya pun ikut serta prosesi melinting bersama para tukang, sambil ngobrol “ngalor-ngidul”.
Dari situ saya tahu bahwa para tukang ini dalam satu rombongan sering mengerjakan beberapa proyek pembangunan rumah di Yogyakarta. Ketika salah satu di antara mereka mendapatkan proyek pengerjaan rumah atau bangunan lain, mereka akan mengontak satu sama lain. Biasanya, untuk satu rumah dikerjakan oleh dua hingga tiga orang tukang dan dua laden (asisten tukang).
Baca: Jangan Biarkan Kedaulatan Kretek Goyah
Dalam pengerjaan rumah, mereka biasanya menginap di tempat proyek atau di rumah yang sedang dikerjakan. Mereka biasanya dibayar harian serta fasilitas makan tiga kali sehari, gula, teh, dan kopi dari si empunya rumah. Untuk ongkos, tarif bagi tukang sebesar Rp 100 ribu/hari dan asisten tukang sebesar Rp 80 ribu/hari.
Selain menjadi tukang, beberapa di antara mereka juga merawat ladang dan kebun. Wilayah Gemawang, dikenal sebagai wilayah perkebunan. Biasanya, mereka menanam jagung hingga kopi. Saat musim panen kopi tiba, mereka akan ijin pulang untuk merawat hasil panenan. Selain panen, mereka juga akan ijin pulang ketika ada hajatan atau berita duka di kampung mereka. Sebuah hubungan kultural pedesaan yang masih erat dan terus dirawat hingga kini.
Heni, salah satu laden tukang usianya lebih kurang 23 tahun. Tugasnya mulai dari menyiapkan adukan pasir, mengambilkan alat, bahan, dan keperluan tukang. Sementara tukang bertugas mulai dari menghitung ukuran yang tepat, membagi tugas kerja, dan tentu saja, mengerjakan bangunan inti.
Sejak lulus SMP, Heni sudah melakoni banyak pekerjaan, mulai dari proyek bangunan, jualan ban bekas, jualan cilok hingga bekerja di pertambangan timah di Bangka. Jenis pekerjaan yang disebut terakhir ini, menjadi pekerjaan pertama Heni. Lulus SMP, dia menyusul bapak, ibu, dan pamannya ke Bangka. Dibekali alamat saudaranya di Bangka ia menyusul dari Gemawang.
Baca: Mempertahankan Tradisi dan Kebudayaan Kretek
Di Bangka ia ikut pamannya bekerja di tambang timah rakyat. Pekerjaan yang beresiko tinggi. Sebab, ia harus menyelam di kedalaman sekian meter hanya berbekal selang udara dari kapal. Kadang hasil baik, seringkali pulang tanpa hasil. Di dalam air, seringkali antar kelompok penambang saling berebut, kadang dengan cara yang buruk, memutus selang udara.
Dua tahun bekerja di pertambangan timah, ia lalu pindah ke proyek bangunan di sekitar Bangka. Bukannya untung malah buntung. Ia ikut kerja di proyek bangunan tanpa dibayar. “Hanya dikasih makan nasi sama sambal indof**d,” kenangnya sambil tertawa.
Praktis tabungan yang ia kumpulkan saat menambang timah kian menipis. Ia lalu memutuskan pulang ke kampung Gemawang. “Masih lumayan punya sisa tabungan 3 juta,” pikirnya.
Dari Bangka ia naik kapal jurusan Tanjung Emas, Semarang. Di atas kapal, ia berkenalan dengan tiga orang penumpang lain. Keempatnya lalu bersepakat untuk bermain kartu sebagai hiburan selama perjalanan. Tak ketinggalan, uang dipertaruhkan untuk menambah keseruan permainan.
“Terus menang, Hen?” tanya saya penasaran.
“Duite nyong habis,” balasnya sambil tertawa lepas. “Untung masih ada 350 ribu,” tambahnya.
Mungkin tahu tidak ada kepastian dalam perjudian, ia menyembunyikan 200 ribu di tas dan 150 di saku celana.
“Ya masih lumayan, Hen,” ujarku mencoba bersimpati. Tentu saja sambil tertawa.
“Iya. Sampai di Semarang terus nyong kecopetan, Tas sak sempak-sempake nyong ikut ilang,” kali ini semua ikut tertawa.
“Nyobain (tembakau) yang ini mas, lebih mantep,” tawar mas Sugeng sembari menyodorkan tembakau yang saya taksir varian kemloko dengan rajangan halus.
Kemloko, salah satu varian tembakau lokal khas Temanggung. Dibandingkan varietas Mantili, Kemloko mempunyai citarasa tebal dan ampek di ujung tenggorokan. Penggunaan cengkeh dalam komposisi lintingan juga bermanfaat untuk mengurangi rasa ampek itu. Sehingga, hisapan tembakau kemloko jadi lebih halus.
Jam sudah menujuk pukul satu. Para mulai beranjak dari duduknya. Menyahut topi dan kaos buluk berwarna abu-abu berdebu.