kretek
CUKAI

Menanti Pemerintah Berterimakasih Pada Rokok Kretek

Sri Mulyani menetapkan dan menandatangani kenaikan cukai rokok berlaku pada tanggal 1 Januari 2020, yang diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kenaikan tersebut rata-rata sampai 21,56%. Ini bertanda di tahun depan kenaikan cukai rokok tak terelakkan. Di tahun depan pula pasti terjadi  kenaikan penerimaan Negara dari cukai rokok. Artinya rokok berperan penting dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pemerintah. Harusnya Negara dan masyarakat memberikan apresiasi terhadap rokok kretek, minimal ucapan terima kasih. 

Ya benar, di Indonesia niatan untuk selalu menaikkan cukai rokok tak lain untuk pengendalian peredaran konsumsi tembakau. Karena terjadi pergeseran paradigma tentang pungutan cukai setelah rezim kesehatan mendominasi untuk kebijakan yang berhubungan dengan pertembakauan. Dominasi rezim ini tak lain desakan kepentingan multinasional yang sangat kuat, hingga berani menggelontorkan dana untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya memerangi peredaran tembakau dan hasil olahannnya di Indonesia (rokok kretek). 

Sejatinya, yang memerangi peredaran tembakau dan olahannya (antirokok) itu untuk penguasaan barang yang mengandung “nikotin”. Artinya antara anti rokok dan pro rokok  punya tujuan sama tak lain memanfaatkan barang yang bernama nikotin. Yuk, coba kita sama-sama berfikir jeli, awal mula gerakan antirokok di Indonesia gara-gara munculnya kata-kata untuk kepentingan kesehatan bagi masyarakat. Kata-kata ini selalu didengungkan rezim kesehatan di Indonesia. Rezim kesehatan Indonesia atas mandat dari rezim kesehatan dunia (WHO). Rezim kesehatan dunia berselingkuh dengan industri farmasi multinasional, terjadi kesepakatan di Swiss pada tanggal 30 Januari 1999. Sekiranya ada perusahaan farmasi besar saat itu yang telah menjalin persekutuan dengan WHO terkait penguasaan perdagangan nikotin, yaitu perusahaan Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan Upjohn. Karena, industri farmasi multinasional membutuhkan barang yang bernama nikotin sebagai salah satu bahan yang sangat efektif dan efesien untuk pengobatan bagi tubuh manusia.   

Dari beberapa informasi tumbuhan yang mengandung nikotin (C10H14N2) secara alamiah dan kandungannya banyak hanya di tembakau. Walaupun di beberapa tumbuhan lainnya pun ada seperti kembang kol , terong, kentang, tomat dan tumbuhan lainnya. Namun kandungan nikotin semua jenis tumbuhan masih kalah dibanding dengan tembakau. Jadi demi mengambil alih bisnis barang yang bernama nikotin, WHO memasukkan agenda memerangi tembakau dalam kebijakan kesehatan internasional. 

Kepentingan penguasaan nikotin ternyata ada dua tujuan, yaitu: pertama, WHO dan industri farmasi bertujuan memuluskan penggantian pemanfaatan nikotin alami dari tumbuhan diganti dengan produk rekayasa nikotin yang telah dikantongi hak patennya. Sehingga tidak heran jika kekinian banyak muncul produk rokok elektrik yang memakai rekayasa nikotin. Yang diketahui saat ini justru banyak menimbulkan penyakit. Ya jelas lah, namanya juga rekayasa (tidak alami) pasti banyak dampak negatifnya. Tentu kita masih ingat, awal kemunculan rokok elektrik di Indonesia rezim kesehatan ikut mempromosikan. Katanya lebih menyehatkan, nyatanya tidak, justru keterbalikannya. Satu kesalahan rezim kesehatan.

Kedua, WHO dan industri farmasi ingin menguasai nikotin alami yang banyak terkandung pada tembakau. Hal ini setelah para ahli farmologi dan ilmu kesehatan mengetahu banyak manfaat nikotin sebagai obat dan aneka terapi, seperti untuk meringankan rasa nyeri, menghilangkan depresi dan gelisah yang berkelanjutan, juga untuk meningkatkan konsentrasi. 

Nah, demi dua tujuan tersebut WHO dan industri farmasi multinasional mencanangkan kebijakan memerangi nikotin yang telah beredar dipasaran, yang diketahui dikonsumsi masyarakat dengan mudah melalui kegiatan merokok. Jadi dari dulu hingga sekarang rezim kesehatan multinasional dan nasional selalu berupaya memusnahkan rokok dari peredaran, industri rokok sebagai kambing hitam dengan alasan rokok tidak menyehatkan. Alasan yang sangat culas sekali dan mengada-ada. Tapi bagaimana lagi tak ada alasan dan tak ada strategi lain yang jitu untuk memuluskan niatan penguasaan perdagangan nikotin tersebut tanpa adanya strategi sistem kontra intelejen. Ia mau menguasai barang tersebut, ia harus menjatuhkan barang tersebut dahulu. Hal ini sama halnya perlakuan minyak goreng kopra asli Indonesia yang dikebiri habis, setelah mati baru dimunculkan lagi dan dikuasai. Lagi-lagi dahulu yang gencar menyerang minyak goreng kopra adalah rezim kesehatan dengan dalih demi kesehatan. Satu kesalahan lagi rezim kesehatan. 

Tak berhenti di situ, setelah banyak informasi manfaat nikotin untuk kesehatan tubuh, terjadi persaingan ketat antar industri rokok, dan antar negara penghasil rokok.  Terlebih setelah munculnya rokok kretek khas Indonesia yang makin lama makin disukai masyarakat dunia. Namun apa yang terjadi, melihat gelagat rokok kretek meroket, sehingga rokok kretek dibatasi dengan aturan-aturan yang rumit. Seperti halnya di Amerika, sebagai Negara penghasil rokok non kretek, membuat aturan kebijakan yang sangat membatasi peredaran rokok kretek disana. Bahkan mungkin dikemudian hari akan membuat kebijakan bagaimana caranya agar rokok kretek asli Indonesia tidak beredar disana. 

Anehnya Negara kita, dalam aturan kebijakan soal rokok selalu berkiblat ke Amerika, sehingga lambat laun mereka dengan mudah menguasai pasar rokok. Ambil contoh kebijakan tentang low nikotin dan tar yang diterapkan di Indonesia adalah hasil adopsi. Jelas-jelas dari dulu nikmatnya rokok kretek itu gara-gara mantapnya nikotin dan tar, yang tidak dipunyai produk rokok lain. Sangat sulit dan penuh energi dengan bahan baku tembakau dan cengkeh lokal rokok kretek mampu menghasilkan low nikotin dan tar dengan batasan tertentu. Yang dengan mudah menghasilkan batasan nikotin dan tar tersebut hanyalah tembakau Virginia dan rokok produk luar tanpa cengkeh. 

Kesalahan rezim kesehatan kita lagi, saat mengaitkan penyakit dengan rokok, yang konon rokok menjadi biang beberapa penyakit hasil riset di Amerika. Ternyata yang diriset adalah rokok non kretek, rokok non cengkeh. Dari konten bahan bakunya saja antara rokok non kretek dan kretek sudah beda jauh, belum lagi sejarahnya. Temuan rokok kretek dalam sejarahnya untuk menghilangkan sakit bengek. Jelas rokok kretek lebih menyehatkan dibanding rokok non kretek. 

Terlepas permasalahan politik dagang rokok di atas, kembali ke pumungutan cukai yang pada awalnya sebagai penguatan keuangan penguasa saat itu adalah Belanda. Pada tahun 1956 pungutan cukai diturunkan, dimana saat itu pemerintah mensubsidi perusahaan rokok kretek sebagai industri tahan krisis dan menjanjikan bagi pemerintah. Kemudian masa orde baru setelah rezim kesehatan ikut campur dan mendominasi, berbagai aturan cukai rokok terbit, tidak lain untuk pengendalian, termasuk kenaikan pungutan dari cukai rokok. Hal ini terjadi setelah adanya persekutuan WHO dan industri farmasi multinasional dalam kerangka politik dagang penguasaan. 

Adanya kenaikan pungutan cukai per tanggal 1 Januari 2020, jika dilihat dengan cermat pada dasarnya kembali ke awal mula saat penjajahan yaitu untuk penguatan kas Negara. Dimana kas Negara banyak terkuras untuk pembangunan, dan tidak hal lain yang bisa diandalkan oleh Negara termasuk pemasukan BUMN. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kas Negara yang resiko inflasinya lebih kecil hanyalah menaikkan cukai rokok, seperti yang telah dikatakan Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta pada hari selasa 29/10/2019, bahwa:

”Kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu komponen penghitungan inflasi, pihaknya akan terus monitor. Kenaikan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen di tahun depan tidak akan membuat inflasi bengkak. Inflasi diperkirakan tetap berada di rentang target pemerintah sebesar 3.5 persen pada tahun 2020” 

Dari pernyataan menteri keuangan di atas, jelas bahwa naiknya tarif pungutan cukai hasil tembakau sebagai satu-satunya alternatif menyelamatkan target pemerintah. Disini saya tidak posisi sebagai pembela kenaikan tarif cukai. Yang saya harapkan cukai hasil tembakau jangan sebagai kambing hitam, sehingga harus selalu dinaikkan. Yang salah urus siapa dan yang tidak menguntungkan siapa, tapi yang dikorbankan cukai rokok. Sedangkan kenaikan tarif cukai dampaknya juga besar terhadap petani tembakau dan cengkeh, buruh dan pekerja, dan industri. 

Pada akhirnya kepasrahan dan keterpaksaan yang hanya bisa diperbuat, karena kenaikan tarif cukai hasil tembakau sudah ditetapkan Menteri Keuangan dan kekeh tanpa memperdulikan nasib pertembakauan di Indonesia. Kenaikan tarif cukai ini juga menafikan hak konsumen yang punya hak dilindungi dan diperhatikan. Merokok kretek bagi perokok masyarakat Indonesia sudah menjadi budaya dan salah satu kegiatan relaksasi atau rekreasi yang sangat murah saat ini, dibanding dengan media lain yang mengeluarkan cukup banyak uang. 

Dengan demikian, tak ada kretek tak ada pungutan untuk penguatan kas negara. Tak ada kretek tak ada pendapatan masyarakat petani, buruh dan industri. Tak ada kretek roda perekonomian Indonesia tak akan menguat. Tak ada kretek bagi perokok, biaya relaksasi dan rekreasi lebih mahal.