Saya menjalani masa kecil tak jauh dari pusat kota Jakarta pada periode 90an. Almarhum nenek saya, selain berprofesi sebagai ibu rumah tangga profesional, Ia juga berprofesi sebagai dukun urut bagi anak-anak di kampung kami. Keahliannya mengurut bayi dan anak-anak Ia pelajari dari orang tuanya. Orang tuanya mempelajari keahlian itu dari orang tuanya lagi, begitu terus ke atas ilmu ini diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Untuk menunjang profesinya sebagai dukun urut, nenek saya memproduksi sendiri minyak urut di rumah. Minyak itu Ia bikin dengan bahan baku minyak kelapa. Selain untuk minyak urut, minyak dengan bahan baku buah kelapa itu juga digunakan untuk membikin kue, dan memasak makanan lainnya yang membutuhkan minyak sebagai salah satu bahan baku.
Makanan yang digoreng dengan minyak dari bahan dasar buah kelapa, selalu terasa lebih gurih dan menguarkan aroma yang lebih harum dibanding makanan yang digoreng dengan minyak lain. Ketika itu, minyak kelapa memang bukan lagi menjadi pilihan utama untuk memasak, ada minyak lainnya yang mulai menguasai pasar dan diklaim lebih sehat dibanding minyak kelapa. Hingga pada akhirnya, minyak kelapa benar-benar hilang dari rumah nenek saya dan digantikan dengan minyak-minyak lain yang banyak beredar di pasaran.
Baca: Kretek Tidak Boleh Tumbang seperti Minyak Goreng Nusantara
Di negeri ini, pada periode 60an hingga 80an akhir—di beberapa tempat ada yang hingga mencapai periode 90an—minyak yang dibikin dari bahan baku buah kelapa menguasai pasar nasional. Minyak-minyak itu juga di ekspor hingga ke beberapa tempat di luar negeri. Komoditas kopra, yang merupakan bahan baku pembuat minyak, pada masa itu mampu menghidupi jutaan manusia di Indonesia mulai dari Sumatra hingga Maluku.
Dalam buku berjudul Membunuh Indonesia yang diterbitkan oleh Indonesia Berdikari, tertulislah kisah tentang Sirajuddin, seorang pengusaha minyak dengan nama produk Minyak Mandar. Produk Minyak Mandar usaha Sirajuddin berbahan baku kopra. Pada puncak kejayaannya di periode 90an, yang sentra produksinya mencakup Kabupaten Polman dan Majene di Sulawesi Selatan, dalam setahun usaha ini menghasilkan keuntungan mencapai Rp4,96 milyar. Usaha itu kemudian gulung tikar, Sirajuddin mengalami kebangkrutan hingga memaksa Ia banting stir menjadi supir ojek di kota Makassar.
Selain Sirajuddin, sejak periode 80an akhir hingga puncaknya pada periode 90an, jutaan petani kopra mengalami kejadian mengejutkan serupa Sirajuddin. Usaha mereka berantakan karena harga jual kopra yang anjlok dan tak lagi memberikan keuntungan signifikan. Banyak orang bilang masa-masa itu adalah masa-masa di mana genderang perang anti-kelapa ditabuh dengan begitu kencang. Imbasnya merata di seluruh negeri ini tanpa kecuali. Kelapa yang sebelumnya dianggap sebagai emas hijau berubah menjadi barang yang tidak terlalu berharga lagi. Minyak kelapa perlahan menghilang dari pasaran, digantikan minyak jenis lain yang menggempur pasar negeri ini.
Baca: Cengkeh dan Kelapa di Kepulauan Anambas
Perang anti-kelapa dimulai oleh Amerika Serikat pada periode 60an, bertepatan dengan penggenjotan produksi minyak kedelai besar-besaran yang dilakukan Amerika Serikat. Pada periode itu, minyak kelapa memang membanjiri pasar Amerika Serikat. Untuk melindungi minyak kedelai produksi mereka, aturan-aturan untuk membatasi peredaran minyak kelapa mulai digalakkan.
Perang anti-kelapa ini kian keras dilakukan pada periode 80an usai temuan yang mengklaim bahwa minyak kelapa mengandung minyak jenuh yang tidak baik untuk kesehatan. Konsumsi minyak kelapa dianggap bisa meningkatkan kolesterol dalam tubuh yang bisa memicu penyakit jantung dan beberapa penyakit lainnya.
Perang anti-kelapa yang dilancarkan Amerika Serikat ini, pada akhirnya menular hingga ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang kala itu menjadi produsen terbesar minyak kelapa dunia. Minyak kelapa yang telah ribuan tahun digunakan masyarakat nusantara, perlahan digantikan produk minyak lainnya. Ilmuwan-ilmuwan Indonesia, dan para praktisi kesehatan di negeri ini, malah ikut menjadi corong lewat kampanye kesehatan untuk menjatuhkan minyak kelapa ke titik nadir terdalam. Minyak kelapa perlahan hilang di pasaran, dianggap tidak sehat dan membahayakan, lantas diganti dengan produk minyak lainnya.
Baca: Keadilan untuk Rokok
Pada kenyataannya, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kelak di kemudian hari membuktikan bahwa kampanye tentang keburukan-keburukan produk minyak kelapa hanyalah kampanye yang mengada-ada dan sekadar usaha untuk menjatuhkan minyak kelapa di mata konsumen. Minyak kelapa malah dianggap lebih sehat dibanding minyak-minyak nabati lainnya. Sayangnya, temuan ini dirasa telat karena kondisi industri minyak kelapa di negeri ini sudah dihancurkan secara sistematis melalui kampanye kesehatan dan regulasi yang menyakitkan. Untuk bangkit sangat berat. Pasar sudah dikuasai minyak berharga lebih murah yang diproduksi dengan begitu masif di negeri ini. Minyak sawit.
Penghembusan isu-isu kesehatan semacam yang dilakukan terhadap minyak kelapa tak hanya terjadi terhadap minyak kelapa saja. Para pengusaha yang hendak merebut pasar betul-betul memanfaatkan isu kesehatan untuk menghancurkan suatu komoditas dan menggantinya dengan komoditas lain yang menguntungkan mereka. Selain terhadap minyak kelapa, isu kesehatan ini juga digunakan untuk menghancurkan industri gula dan garam di dalam negeri. Kampanye gula tak sehat produksi dalam negeri, dan garam iodium, betul-betul meruntuhkan pertahanan industri ini di dalam negeri. Indonesia dari yang sebelumnya penghasil gula terbesar nomor dua di dunia di bawah Kuba, berubah menjadi negara pengimpor gula karena gula dalam negeri kualitasnya dianggap buruk. Pun begitu dengan garam, kampanye garam beriodium yang sehat membuka kran impor garam ke dalam negeri dan menghancurkan industri garam dalam negeri.
Perang dagang, dengan memanfaatkan isu kesehatan sebagai senjata untuk menghancurkan produk pesaing, nyatanya sudah banyak digunakan untuk menghancurkan industri dalam negeri yang rodanya digerakkan oleh industri-industri rakyat. Pasar besar di Indonesia memang begitu menggiurkan. Berhasil membikin para pemodal besar rela melakukan strategi-strategi licik untuk menguasai pasar di negeri ini.
Baca: Mitologi Munculnya Srintil, Tembakau Terbaik dan Termahal di Dunia
Usaha-usaha semacam ini, juga dilakukan terhadap produk kretek kebanggaan nasional. Caranya tentu saja mirip dan begitu-begitu saja. Menggunakan isu kesehatan sebagai senjata utama menyerang produk kretek, dan mendorong pemerintah dalam negeri untuk mengeluarkan ragam bentuk peraturan yang malah merugikan produk kretek dalam negeri.
Kopra sudah berhasil disingkirkan. Industri gula negeri ini sekadar penonton saja. Usaha industri garam untuk bangkit dari keterpurukan usai dihancurkan secara sistematis, masih jauh dari kata berhasil. Kretek, industri kretek dalam negeri, sejauh ini, meskipun dengan terseok-seok akibat gempuran dari banyak sisi, masih mampu bertahan dari bermacam serangan yang mematikan. Semoga kita semua para pencinta kretek, dan terutama para pelaku industri kretek, serta para petani yang memasok bahan baku untuk industri ini, bisa bersatu, dan menyadari kondisi ini, serta mau belajar banyak dari kehancuran industri minyak kelapa, gula, dan garam di dalam negeri.