REVIEW

Pemuda dan Kretek Sama-sama Pernah Dikerdilkan

Pemuda dan kretek, selain memiliki akar sejarah panjang dengan berdirinya bangsa ini nayatanya pernah sama-sama pula dikerdilkan. Pengerdilan komoditas nasional yang unggul dari keduanya ditekan oleh penetrasi pemerintah dengan beragam alasan, yang tujuannya satu; menjaga stabilitas negara.

Pemuda mengambil peran dalam persilatan gerakan nasional di era kolonial, sementara industri kretek mulai tumbuh dan berkembang dalam percaturan ekonomi pada masa Hindia Belanda. 91 tahun sumpah pemuda diperingati bukan saja untuk sebuah glorifikasi, namun lebih dari itu, mestinya menjadi refleksi bahwa pemuda pernah menjadi ancaman untuk pemerintah pada masa orde baru berkuasa.

Baca: Pramoedya Ananta Toer dan Mark Hanusz Bicara Kretek

Bersama pemuda, kretek merupakan komoditas unggulan yang biasa menemani anak muda beralih jenjang dari seorang bocah ingusan menjadi seorang pemuda. Barangkali mirip seperti apa yang disebut Zen RS dari Jean Paul Sartre yang mengatakan sepakbola menjadi rite the
passage dalam peralihannya menjadi seorang anak muda.

Menjadi pemuda pada masa kolonial tentu sebuah privilage yang cukup luar biasa. Anak muda akan dihadapi dengan persoalan fundamental perihal bangsanya sendiri yang dijajah oleh lain negara. Perhimpoenan Indonesia saat itu menjadi wadah yang menjadi reprentasi gerakan anak muda di negeri belanda yang mulai berebut pengaruh rakyat di nusantara bersama Serikat Islam, PKI dan juga Boedip Oetomo.

Perhimpunan Idonesia sendiri lahir dari cikal bakal Klub Studi Umum di Bandung dan juga Studi Klub Indonesia yang dimobilisasi di Surabaya. John Ingelsonn dalam bukunya Jalan ke Pengasingan, mengatakan bahwa pemuda masa itu yang dipelopori Bung Hatta berusaha untuk mengumpulkan rumusan sikap yang digagas oleh organisasi sebelumnya. Empat asas yang dijunjung ini adalah Kesatuan Nasional dari Boedi Oetomo, Swadaya dari Serikat Islam, Non Koperatif dari PKI san Solidaritas rumusan PI sendiri.

Baca: Kretek Cerminan Kedaulatan Ekonomi dan Tradisi Budaya Bangsa

Perjalanan panjang PI sebagai wadah pemuda di era kolonial melahirkan anak muda yang tidak culas menghadapi penetrasi pemerintah kolonial. Mereka mesti siap menelan risiko pengasingan dan dekapan penjara andai bertindak gegabah dan pemerintah. Sementara saat telah merdeka dan berdiri di bawah naungan pemerintah nasional, pemuda pernah dikerdilkan akibat penetrasi nya yang merongrong pemerintah bangsa sendiri. Mulai dari Aksi penolakan pembangunan Taman Mini sampai Aksi paling besar di era Orde Baru pada 17 Januari 1974.

Seperti pemuda, industri Kretek pada awalnya menghadapi tekanan kolonial dengan pajak yang tinggi dan peralihan kekuasaan yang mencekam di era jepang. Namun di sela itu, Nitisemito sebagai Raja Kretek di Era Kolinial masih sempat mengalirkan keuntungan kretek demi perjuangan pergerakan nasional.

Keduanya, baik Industri Kretek dan pemuda sama-sama terlibat dalam mendesak kemerdekaan bangsa Indonesia dan sama-sama pula akhirnya dikerdilkan oleh pemerintah bangsanya sendiri.

Pada awal tujuh puluhan, anak muda mendapat tekanan pengerdilan lewat agitasi pemerintah yang memandang anak muda tak cukup bisa membawa dirinya sendiri. Orde Baru menggulirkan legitimasi kebudayaan bahwa anak muda semestinya hidup dengan keteraturan di bawah naungan keluarga dan struktur sosial yang ada.

Saat mereka tak mengikuti imbauan dan citra yang dibentuk oleh pemerintah pemuda mereka dianggap anak muda yang labil dan rentan akan kelabilan serta kegamangan usia. Sampai pemerintah mesti mengurusi hal yang begitu personal di masyarakat. Pemuda yang berambut gondrong akan dirazia sebagaimana razia SIM oleh polisi di setiap ujung belokan jalan.

Kretek juga tak kalah menelan kesintingan tekanan pemerintah lewat kementerian kesehatan dan industri farmasi. Mereka membangun citra yang buruk dari kretek namun diam-diam berselingkuh dengan industri rokok luar sambil menikmati cukai industri kretek bangsanya sendiri. Berselingkuh berarti menduakan industri kretek nasional dan menekan jumlah pajak yang kian lama terus membesar.

Dari pemuda dan kretek setidaknya kita paham, mental penjajah dan penghisap bukan melekat secara komunal dan kebangsaan, tapi ia justru karakter yang bisa melekat pada diri siapa saja. Keduanya memiliki titik pijak yang kokoh dalam sejarah, mengalami dinamika yang kompleks dan kini ditantang bergerak lebih cepat, berakselerasi lebih giat meski akhirnya sama-sama dihisap oleh pemerintah bangsa ini.