bpjs kesehatan
OPINI

Pengelola BPJS yang Tidak Becus, Perokok yang Disalahkan

Per 1 Januari 2020, pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Seluruh kelas layanan BPJS Kesehatan mengalami kenaikan yang cukup signifikan, bahkan ada yang mengalami kenaikan lebih dari 100 persen. Pemerintah beralasan defisit yang melulu dialami BPJS menyebabkan mereka mesti menaikkan biaya iuran bulanan.

Angka-angka kenaikan iuran BPJS kesehatan, untuk kelas 3, dari sebelumnya Rp25.500 per jiwa per bulan, naik menjadi Rp42.000. Kelas 2, naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000. Dan untuk kelas 1, dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.

Berita mengenai kenaikan tarif iuran bulanan BPJS ini, tentu saja banyak mengundang reaksi dari warga masyarakat. Kebanyakan tentu saja menolak mentah-mentah karena angka kenaikan yang sangat tinggi. Ada juga yang menganggap kenaikan wajar saja namun dengan syarat kualitas pelayanan BPJS harus diperbaiki secara signifikan.

Baca: Surat Terbuka untuk Dirut BPJS Kesehatan: Perokok Bukan Kambing Hitam Atas Bobroknya BPJS Kesehatan

Yang menjadikan penolakan kenaikan iuran semakin keras disuarakan adalah alasan mengapa BPJS selalu mengalami defisit sehingga mereka memutuskan untuk menaikkan iuran dengan angka yang fantastis. Ada dua alasan utama mengapa pada akhirnya pemerintah menaikkan iuran BPJS, yang pertama kecurangan tagihan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit rekanan BPJS. Alasan selanjutnya karena banyaknya peserta BPJS yang tidak tertib dalam membayar iuran mereka.

Rumah sakit, sebagai pihak utama yang menjembatani antara pengguna BPJS dengan pengelola BPJS, memang menjadi kunci keberhasilan pelayanan BPJS. Sayangnya tidak sedikit rumah sakit yang melakukan kecurangan kepada kedua belah pihak yang seharusnya dijembatani. Rumah sakit melakukan kecurangan kepada pengguna BPJS sekaligus mencurangi pengelola BPJS.

Bukan sekali dua kita membaca berita, atau mendengar langsung kisah dari seseorang yang begitu kesulitan mendapat layanan kesehatan karena menggunakan BPJS. Tidak semua rumah sakit memang berlaku begitu, tapi, tidak sedikit juga rumah sakit yang memperlakukan pasien BPJS dengan perlakuan yang tidak mengenakkan. Antrian yang panjang, pengurusan obat-obatan dan pelayanan kesehatan lain yang terkesan dipersulit, hingga keputusan sepihak menurunkan kelas pelayanan, tidak sesuai dengan kelas pelayanan yang terdaftar di BPJS. Atau malah dengan mentah-mentah menolak pasien BPJS dengan alasan rumah sakit penuh, padahal pasien lain non-BPJS di saat yang sama bisa mengakses pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.

Di sisi lain, pihak rumah sakit juga mengerjai pengelola BPJS. Mereka mengirim tagihan kepada pihak pengelola BPJS dengan angka yang dinaikkan dari angka sesungguhnya. Ada banyak cara untuk bisa melakukan kecurangan itu, mulai dari menipu kelas layanan, tagihan obat dan perawatan, dan banyak lagi lainnya. Kenakalan-kenakalan semacam ini menjadi salah satu penyebab kebocoran anggaran BPJS sehingga mereka mengalami defisit.

Baca: Kenaikan Tarif Cukai 23% Tanpa Dasar Relevan dan Terkesan Asal-Asalan

Bisa jadi warga yang menunggak iuran BPJS, tidak tertib membayar iuran BPJS, melakukan itu karena kecewa dengan pelayanan di rumah sakit, di luar ketiadaan uang atau lupa atau kurang gigihnya pihak pengelola BPJS menagih iuran bulanan BPJS. Jadi, selain memperbaiki pelayanan di rumah sakit, kegigihan menagih iuran semestinya juga dilakukan agar defisit tidak terus menerus terjadi.

Tetapi, alih-alih memperbaiki sistem dalam tubuh BPJS, lantas menertibkan pihak rumah sakit yang berlaku curang dan menipu, atau bahkan memberikan hukuman berat kepada pihak rumah sakit yang berlaku curang hingga menyebabkan anggaran BPJS mengalami defisit, pemerintah tanpa pikir panjang dan semena-mena menaikkan tarif iuran BPJS. Segelintir pihak yang membikin BPJS defisit, beban malah mesti ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Jadi wajar jika warga banyak yang menolak kenaikan iuran BPJS ini.

Kemarahan warga semakin memuncak dengan komentar ngawur beberapa pihak di BPJS dan pemerintah menanggapi protes warga menolak kenaikan iuran BPJS. Dua di antaranya adalah komentar direktur utama BPJS, Fahmi Idris yang bergaji Rp342 juta per bulan itu, dan wakil presiden Jusuf Kalla. Bukannya memberikan keterangan yang baik dan relevan, mereka malah mengeluarkan komentar bernada menyindir.

“Bayar parkir motor Rp2 ribu sehari atau beli rokok Rp8 ribu sehari masih bisa, tapi kok menyisihkan Rp5 ribu per hari kok tidak ada kesadaran itu,” Ujar Fahmi Idris mengomentari penolakan kenaikan iuran BPJS.

Senada dengan Fahmi, Jusuf Kalla juga mengeluarkan pernyataan yang menyindir, “Siapa yang khawatir (iuran BPJS naik)? Hanya ngomong saja, padahal beli pulsa tiga kali lipat daripada itu, beli rokoknya lebih dari itu (iuran BPJS).”

Dua komentar di atas, jelas-jelas menyerang perokok yang belum tentu semuanya menolak kenaikan BPJS tetapi sudah pasti membantu menalangi defisit BPJS dua tahun belakangan lewat cukai rokok. Lucu, sungguh sangat lucu. Pihak BPJS dan pemerintah tidak mampu mengelola dana BPJS dengan baik (sekadar menertibkan penarikan iuran saja tidak mampu), tidak mampu membangun kerja sama dengan pihak rumah sakit secara sehat sehingga mereka ditipu mentah-mentah yang menyebabkan defisitnya anggaran mereka, tetapi semua itu dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS. Saat ada yang protes, bukannya memberikan penjelasan yang mumpuni dan relevan, mereka kok malah menyalahkan para perokok yang jelas-jelas sudah menutupi kebobrokan kinerja mereka. Kalau seperti ini terus, buat apa gaji sampai 300 juta lebih per bulan kok tetap goblok dan menggemaskan.