logo boleh merokok putih 2

Pledoi Kretek di Hari Santri Nasional

kretek

Menjadi seorang santri di pondok pesantren barangkali sebuah privelage yang cukup untuk dibanggakan. Hari ini negara mengakui santri dalam sebuah ulasan sejarah dengan sebuah peringatan; Hari Santri Nasional. Awal resolusi jihad yang dicetuskan KH. Hasyim Asy’ari menjadi titik tolak peran santri dicatat kemudian diglorofikasi sedemikian rupa. 

Mengingat Hari Santri, tak ayal seringkali membuka ruang memorabilia untuk kita yang pernah singgah dengan sungguh di surau pesantren. Kita seolah diajak berangkat kembali pada keputusan besar di usia yang masih begitu kecil untuk hadir membersamai kehidupan tanpa dekat keluarga. 

Saya dan kalian yang sempat mondok di pesantren mungkin memiliki beragam cerita sendiri untuk merayakan Hari Santri.

Baca:  Romansa Sebatang Kretek di Hari Santri Nasional

Namun dari deretan cerita yang beragam itu pula, barangkali kita juga selalu menyimpan kisah yang unik, yang kerap menggelitik untuk kita simpan sendiri tanpa sempat kita bagi pada siapapun sampai hari ini.

Cerita yang menggelitik saat masih aktif menjadi seorang santri adalah keresahan pribadi akan komoditas terlarang di pondok pesantren non salaf. Betul. Perihal Rokok. 

Saya tak pernah memiliki minat sedikit pun untuk menjadi seorang konsumen komoditas yang kerap dikerdilkan pondok saat itu. Namun di suatu hari jumat, hari dimana hisab pelanggaran dihitung dan hukuman diberikan, seorang santri dipaksa diarak ke tengah lapangan di depan masjid. 

Ia duduk di atas kursi dengan tangan terikat ke belakang. Seorang pengurus mengeluarkan lima batang rokok kretek ‘Sri Widari’, rokok yang kelak saya tahu ternyata rokok paling murah pada zamannya di sekitar Cirebon, kemudian dijejalkan lima batang rokok itu di mulut si santri dengan rapih. Korek diambil dan dinyalakan, seluruh lima batang rokok itu dalam waktu bersamaan di satu mulut yang sama seorang santri.

Belum lagi rokok itu tak boleh lepas dari mulut si santri sampai habis di pangkal batas akhir puntung rokok. Bila pun sampai rokok terjatuh, kepala si santri akan dipukul cukup keras dan dijejalkan ulang kembali.

Saya melihatnya hukuman itu barangkali terlalu berlebihan bila untuk memunculkan kejeraan seorang santri untuk tidak merokok lagi. Saat itu saya terfikir, bukan kah para pengurus juga aktif merokok? Bukankah beberapa kyai juga merokok? Lantas mengapa bila seorang santri merokok mesti diberi hukuman cukup berat?

Baca: Kudus; Kota Santri dan Kota Kretek

Bila memang dalihnya rokok itu tidak sehat atau merusak kesehatan sebagaimana dalih orang anti rokok, mengapa hukumannya justru diberikan konsumsi rokok dengan jumlah yang lebih banyak dan di waktu yang bersamaan? Penyakit kok diobatin sama penyakit lagi!

Atau bila memang dalihnya itu adalah belum cukupnya usia seorang santri untuk mengkonsumsi rokok, mengapa hukumannya juga dengan dijejali produk yang sama dengan jumlah lebih banyak? 

Penghukuman pada mereka yang merokok pada akhirnya menyentuh emosi saya dengan hukuman yang sama sekali tidak masuk akal. Saya kian penasaran mengapa rokok dikerdilkan untuk para santri sementara para pengurus diberikan kebebasan untuk mengonsumsinya. 

Pada akhirnya saya lantas bertaruh untuk mencoba nya sendiri komditas itu. Rasanya memang aneh tapi lambat laun berhasil beradaptasi. Saya mencoba rokok bukan berangkat dari gaya hidup ala anak muda yang ingin dibilang keren, sebaliknya saya mencicip rokok kretek sebagai bagian dari hasrat pemenuhan keingintahuan diri sendiri.

Baca: Rokok Sin Dibuat dalam Keadaan Suci dari Hadast 

Pada akhirnya saya memang sampai pernah beberapa kali dijumpai merokok saat masih aktif menjadi seorang santri. Tapi beruntung hukumannya tak lagi sebanal dahulu. Hanya cukup tamparan bolak balik di pipi sepuluh kali. Dalam dunia pendidikan, bagi saya mungkin ini hukuman yang sedikit lebih rasional meski memang tetap amoral.

Berangkat dari rasa keingintahuan ini barangkali akhirnya yang membawa saya merasakan manfaat rokok secara emosional bersama lingkungan sosial. Berangkat dari sana pula yang menggiring saya untuk tahu bahwa rokok di Indonesia tidak sama sekali sama dengan rokok luar negeri yang hanya berisi tembakau. Berangkat dari sana pula yang mendorong saya untuk mengerti bahwa rokok kretek sebagai komoditas budaya yang memiliki sejarah panjang dan bersandingan dengan sejarah bangsa ini berdiri sampai hari ini.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek