kretek
REVIEW

Sang Raja Kretek di Era Kolonial

Bila ada yang bertanya mengapa kita mesti berterimakasih kepada kretek, sebab kretek adalah benda budaya, yang memiliki kekhususan kultural dan historis, bertumpu pada kemandirian dan kreatifitas, hingga menjadi produk unggulan anak bangsa, sampai menjadi produk unggulan Nusantara.

Titik temunya pada praktik dan kebiasaan orang Asia Tenggara dan Malenesia yang mengunyah buah pinang dan daun sirih selama ribuan tahun. Sehingga, lewat cara yang unik dan dalam tempo yang cukup singkat, kretek bisa diterima oleh hampir semua masyarakat Indonesia. Temuan kretek menjelaskan sejumlah proses adaptif membawa semangat perlawanan dalam semangat berdikari terhadap tatanan kolonial dan rezim kepengaturan yang telah mapan.

Baca: Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara

Tembakau, satu komoditas yang sampai sekarang menjadi tali kekang rezim pengendalian, datang ke Nusantara bersama gelombang penjajahan, dan dikenalkan dalam logika budidaya industri pada era Tanam Paksa yang paling eksploratif di Hindia Belanda. 

Adapun cengkeh, tanaman endemik yang semula hanya dijumpai di jazirah Maluku, merupakan titik tikai bangsa-bangsa Eropa sejak abad 16, yang memudar nilai ekonomisnya seiring inovasi penting dan hasraat penguasaan lain dalam era industri.

Namun berkat temuan kretek pada pengujung abad ke 19 di Kudus, daerah pinggiran utara Pulau Jawa, cengkeh kembali melambung sebagai tanaman primadona. Begitupula dengan tembakau, awalnya hanya dikuasai dan dimiliki perkebunan swasta, berkembang meluas dan menjadi perkebunan rakyat. 

Dalam sudut pandang ekonomi-politik, dari bentangan peristiwa penting dalam sejarah itu, melewati krisis dan perang maupun perubahan struktural, industri kretek telah mampu menyerap jutaan pekerja sekaligus menyumbang triliunan rupiah bagi pendapatan negara.

Bahwa benda yang takkan terpikirkan sebelumnya, semulai sebagai obat, lalu berkembang dari kerajinan tangan ke industri rumahan dan pabrikan, akan menyimpan sejarah panjang. Sejarah itu bernama penaklukan yang tersublimasi di dalamnya benih sentimen kolonial, kreatifitas dan usaha-usaha mengakses kapital, simbol industri nasional yang bersumber pada kekayaan Nusantara, dan nilai-nilai yang tertanam pada tradisi dan prilaku keseharian.

Kretek sampai hari ini masih menjadi bagian dari komoditas besar yang menghidupkan sumbu-sumbu ekonomi di Indonesia. Barangkali sudah banyak yang menulis lewat riset dan penelitian bagaimana industri ini lahir, tumbuh dan berkembang dan bertahan sampai sekarang. Namun coba tengok novel “Sang Raja” karya Iksaka Banu. Lewat buku ini Iksaka Banu bercerita tentang sejarah kretek awal sampai menjadi industri yang cukup besar di masa kolonial dengan pendekatan sastra.

Novel ini dibuka dengan adegan pemakaman Nitisemito yang dihadiri ribuan masyarakat, para pejabat serta koleganya di usaha kretek. Kemudian cerita dikemas dengan flashback dua tokoh utamanya yang bekerja di Pabrik Bal Tiga di Kudus. Dua tokoh utama ini merepukan pegawai berbeda kebangsaan di Perusahaaan. Wirosoeseno yang asli Jawa dan Filipus Rechterhand adalah seorang Belanda totok yang lahir di Hindia Belanda. 

Yang manjadi hal luar biasa di masa itu, ketika warga pribumi dianggap warga kelas tiga dan bekerja pada orang-orang Belanda, Nitisemito justru mempekerjakan orang Belanda. Betapa sebuah anomali di era kolonial seorang keturunan koloni justru malah bekerja di perusahaan milik pribumi.

Lewat buku ini Iksaka Banu becerita Industri rokok kretek di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang. Sejarah mencatat industi rokok khas Indonesia ini lahir lewat tangan dingin Nitisemito yang didirikan pada tahun 1914. Nitisemito merintis bisnis rokok kretek yang saat itu hanya industri rumah tangga menjadi industri berskala besar yang mempekerjakan ribuan karyawan. 

Baca: Kretek Adalah Pusaka Budaya Indonesia

Di paruh pertama abad ke 20 rokok Tjap Bal Tiga produksi NV. Nitisemo begitu terkenal sehingga Ratu Belanda Wilhemina menjuluki Nitisemito sebagai De Kretek Konning (Raja Kretek). Tidak berlebihan karena di tahun 1938 Kretek Tjap Bal Tiga telah mempekerjakan 10.000 buruh linting dengan produksi 10 juta batang rokok per hari dengan pangsa pasar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Singapura, hingga ke negeri Belanda. 

Nitisemito bersama pabrik kreteknya Tjap Bal Tiga adalah orang pertama yang memasarkan rokok dalam kemasan bermerk. Bisa dikatakan bahwa pabrik rokok NV. Nitisemito adalah pelopor industri rokok kretek pertama di Kudus yang dikelola dan dipasarkan secara modern.

Kreativitas advertasi dan promosi industri kretek juga ternyata menyimpan sejarah panjang sampai sekarang. Dalam hal pemasaran, NV. Nitisemito juga melakukan strategi yang kreatif dan fenomenal. Industri kretek ini menyewa pesawat Fokker seharga f 200,- untuk menyebarkan pamflet iklan rokok Tjap Bal Tiga di langit Bandung dan Jakarta dan menggunakan mobil promosi khusus. Selain itu pemasarannnya juga dilakukan melalui  siaran radio, mendirikan gedung bioskop di Kudus dan  menjadi salah satu sponsor bagi film Panggilan Darah yang sukses di pasaran.

Selain kisah tentang Wiroesoeseno dan Filipus, Iksaka Banu juga menarasikan sejarah rokok kretek, proses produksi rokok kretek, dan lintasan perisitiwa sejarah Indonesia. Kisah dalam novel ini dibalut dengan berbagai peristiwa sejarah dan persoalan-persoalan kolonialisme, identitas, hingga gerakan organisasi kemerdekaan seperti Serikat Islam dan Muhamadiyah yang konon memiliki keterkaitan dengan Sang Raja Kretek.