REVIEW

Sejarah dan Pemaknaan Kretek sebagai Simbol Perlawanan Kekuasaan Kolonial

Budaya kretek dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini terkait proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, sebagaimana kita saksikan kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.

Paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang terjadinya momen pergeseran makna simbolis tradisi makan sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Orang Jawa menyebutnya “dubang” (idu abang). Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia “meludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda”. Sejak itu makna komunikatif sirih dalam perilaku meludah sirih seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti peran simbolik budaya itu ternyata diambil alih oleh eksistensi kretek.


Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah kolonial Belanda sengaja mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Karena prasangka superioritas budayanya, Belanda ingin menjadi model tertentu, yang harapannya diikuti orang Indonesia yang dianggapnya tak berbudaya. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan menggantikan budaya sirih. Selain itu, bagi Belanda nilai ekonomis kapur (injet) jelas tak sebanding dengan tembakau yang lebih mahal. Kepentingan ini tentu sejalan dengan mekarnya perkebunan tembakau di Hindia-Belanda terjadi semenjak dibukanya pintu liberalisasi ekonomi pada tahun 1870.

Kemudian secara politik, budaya nyirih, nginang atau nyusur distempel “negatif” sebagai bertentangan dengan aspek kemajuan dan modernitas. Belanda menjadikan budaya nyirih, nginang atau nyusur diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Budaya sirih dengan begitu harus ditinggalkan, ditempakan pada kategori budaya masa silam dan dirujuk sebagai titik berangkat Indonesia menuju budaya modern. Selain itu, adanya standar nilai-nilai kebersihan dan estetika modern juga membuat praktik itu menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun susah diadopsi oleh orang Belanda.

Implikasinya kebiasaan atau tradisi nyirih, nginang atau nyusur perlahan-lahan segera digantikan oleh kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok merupakan salah satu simbol modernitas, penanda kemajuan sekaligus prestise sosial. Citra ini sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih dengan disertai hilangnya perilaku meludah sirih dan gigi yang nampak putih bersih.
Awalnya rokok ala Barat menduduki tempat yang terhormat. Menurut Anthony Reid, sudah sejak 1845 “rokok putih” diimpor bagi kebutuhan sehari-hari masayarakat Batavia. Sebelum diproduksi secara lokal rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia. Harganya mahal dan tentu tak terjangkau bagi kalangan kebanyakan.

Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang waktu itu umum disebut “bungkus”, yaitu rokok produk sendiri (tingwe: linting dewe) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang. Merokok bungkus dikaitkan dengan gaya hidup “kuno” ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.

Namun hegemoni budaya rokok putih tersebut sebenarnya relatif tak berlangsung lama. Praktik nyirih, nginang atau nyusur pada fase pra-kolonial—yang merupakan praktik mencampur atau meramu daun sirih, buah pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh—dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek yang awalnya umum disebut “rokok cengkeh” sebagai simbol budaya popular akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 – 1890.


Mempopulerkan rokok dengan campuran tembakau dan cengkeh ialah sosok Haji Djamhari. Sejalan dengan pengalamannya sendiri, awalnya rokok cengkeh ini dijualnya sebagai obat sakit nafas (asma). Hadji Djamhari menjual ‘rokok obat’ temuannya itu diikat terdiri sepuluh batang. Ternyata hasilnya dianggap banyak orang mujarab. Orang pun ramai berbondong-bondong datang minta dibuatkan rokok obat tersebut. Demikianlah barang yang semula dimaksudkan sebagai obat, dalam waktu singkat menjadi cikal bakal tumbuhnya industri rokok kretek.

Setelah popularitasnya meningkat, rokok cengkeh kemudian lebih dikenal masyarakat dengan nama kontemporernya, “rokok kretek”. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: “kretek-kretek”.

Akan tetapi belakangan karena faktor dinamika politik kolonial, istilah kretek menguat dan tumbuh menjadi penanda identitas bangsa Indonesia, yang dipertentangkan dengan istilah “rokok putih”. Di sini patut kita ingat, “rokok putih” ialah istilah khas Indonesia menamai produk rokok Barat. Bahkan hingga kini istilah ini masih menjadi kosa-kata sehari-hari masyarakat Indonesia yang berbicara dalam bahasa Indonesia untuk membedakan dengan rokok asli Indonesia. Menurut Cox, bagaimanapun istilah “rokok putih” muncul dalam wacana tembakau sebagai oposisi linguistik terhadap istilah “kretek”.


Ini sejalan penuturan Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang rokok kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Masuknya penjajahan Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam kerangka memerangi pengaruh budaya Barat. Kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity), yang notabene dihadap-hadapkan dengan “rokok putih” ala Barat. Menurut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.

Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam sejarah Indonesia modern nampak memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan identitas pembeda antara kami (the self) dan mereka (the other). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). Dalam konteks inilah penamaan “rokok putih” yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial. Muara dari semua ini adalah muncul, tumbuh dan mekarnya kesadaran nasionalisme disertai perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.