Bapak Fahmi Idris selaku Dirut BPJS Kesehatan yang terhormat, baru-baru ini di media, anda mengeluarkan statement “Beli rokok Rp8 ribu sehari masih bisa, tapi kok menyisihkan Rp5 ribu per hari kok tidak ada kesadaran”. Statement anda membuat saya selaku perokok yang telah membantu menambal defisit BPJS Kesehatan merasa marah dan sangat tersinggung.
Perokok selama ini selalu menjadi kambing hitam bagi bobroknya pengelolaan BPJS Kesehatan. Perokok pernah dituduh sebagai penyebab utama defisit anggaran BPJS, alasannya beban biaya kesehatan untuk mengobati penyakit dengan faktor risiko rokok terus membengkak setiap tahun.
Tudingan tersebut jelas-jelas mensimplifikasi penyebab defisitnya anggaran BPJS Kesehatan. Padahal banyak hal lain, seperti adanya kecurangan dari pihak Rumah Sakit dalam klaim tagihan kepada BPJS Kesehatan, tidak becusnya BPJS menagih iuran, besarnya operasional internal BPJS, hingga hitung-hitungan besaran iuran peserta BPJS yang sejak awal bermasalah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis temuan kecurangan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). ICW bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di 15 provinsi menemukan ada 49 kecurangan selama Maret-Agustus 2017 dalam program JKN, khususnya yang menyangkut penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Pada saat itu ICW bersama jaringan organisasi masyarakat sipil di daerah melakukan pemantauan terhadap sekitar 60 fasilitas kesehatan, yaitu 19 rumah sakit umum, 15 rumah sakit swasta, dan 26 puskesmas.
BPJS Watch juga pernah menyatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan disumbang oleh sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups (Inasibijis). Sistem ini disebutnya membuka celah rumah sakit untuk melakukan kecurangan (fraud), sehingga klaim yang dibayar BPJS Kesehatan membengkak.
Saya merupakan peserta BPJS Kesehatan kelas satu, sewaktu saya berobat rawat inap, pihak RS selalu beralasan kamar inap kelas satu penuh, padahal di saat yang bersamaan ada orang yang mendapatkan kamar inap kelas satu melalui asuransi swasta atau jalur mandiri. Pihak RS tentu nantinya akan mengklaim tagihan kepada pihak BPJS untuk fasilitas kelas satu. Kecurangan ini bukan hanya terjadi pada saya, tapi juga dialami oleh banyak peserta BPJS.
Wahai bapak Fahmi Idris yang terhormat, setelah kami perokok dituding sebagai penyebab defisit BPJS Kesehatan, kini melalui statement anda, perokok kembali dikait-kaitkan dengan persoalan kenaikan iuran BPJS.
Asal anda tahu persoalan kenaikan iuran ini membuat murka rakyat Indonesia. Anda yang digaji selangit tidak tahu bagaimana rasanya beban berat yang ditanggung oleh rakyat saat ini. Rakyat sedang mengencangkan ikat pinggang untuk menghadapi berbagai macam kenaikan tarif, mulai dari tarif listrik, parkir, transportasi, hingga rokok sebagai barang konsumsi kami yang menyelamatkan defisit anggaran BPJS yang anda pimpin.
Anda yang digaji Rp342,56 juta per bulan tidak akan pernah tahu rasanya beban rakyat dalam menghadapi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan berbagai tarif lainnya.
Wahai bapak Fahmi Idris, tahun depan cukai rokok akan naik hingga 23 persen. Apakah anda tahu bahwa kenaikan cukai rokok itu nantinya akan turut menyehatkan BPJS Kesehatan?
Saya sebagai perokok membayar dua kali lebih banyak untuk BPJS. Saya membayar iuran BPJS sebagai peserta dan membayar cukai serta PDRD (Pendapatan Daerah Retribusi Daerah) yang ada dalam komponen sebatang rokok yang nantinya dialokasikan untuk BPJS.
Sebagai rakyat yang baik saya tidak pernah mempersoalkan itu, bahkan dengan sukarela menjalankannya demi terselenggaranya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi rakyat Indonesia. Lantas mengapa anda mengeluarkan statement yang mengaitkan perokok dengan persoalan kenaikan iuran BPJS?
Saya marah dan tersinggung dengan statement anda. Begitu juga dengan para perokok lainnya. Melalui surat terbuka ini saya meminta anda untuk tidak terus-menerus memberikan tendensi kepada perokok dan meminta maaf atas statement yang telah anda lontarkan di berbagai media.