cengkeh
OPINI

Industri Kretek di Tengah Krisis Ekonomi 1950

Hujan yang mengguyur Yogya malam tadi membikin saya mesti membatalkan janji bertemu dengan beberapa orang di selatan Yogya. Saya memutuskan untuk tetap di rumah saja, menemani istri saya yang sedang hamil tua. Menyantap pisang goreng bikinan istri dan segelas teh hangat.

Ketika hujan reda dan istri saya sudah tertidur, saya beranjak ke perpustakaan pribadi milik kami. Merapikan buku-buku yang berserakan di beberapa tempat lantas mengembalikan ke rak buku agar kembali tertata rapi. Saya lantas melihat-lihat buku di rak, dan mengambil sebuah buku untuk saya baca sembari menunggu kantuk datang.

Buku yang saya ambil berjudul Hikayat Kretek karya Amen Budiman dan Onghokham. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu sebetulnya pernah saya baca sekira dua tahun lalu. Tentu saja kini saya sudah lupa sebagian besar isinya. Jadi saya pikir, tidak ada salahnya saya baca ulang buku berisi seluk-beluk sejarah kretek itu.

Baca: Pembelaan Gus Dur pada Sektor Industri Hasil Tembakau (IHT)

Saya tidak membaca urut dari halaman awal. Usai membaca daftar isi, saya langsung menuju ke bab-bab yang saya rasa menarik untuk saya baca lebih dahulu. Tentang apa itu kretek, apa yang membedakan Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan sejak kapan pamor SKT meredup, digantikan oleh SKM yang menguasai pasar dalam negeri.

Hingga hari ini, masih banyak orang yang salah sangka mengenai definisi dari kretek. Kebanyakan orang menganggap kretek itu adalah rokok yang tanpa filter. Padahal itu tidak benar. Kretek adalah rokok khas Nusantara. Dinamakan kretek, karena bahan utamanya adalah tembakau dan cengkeh. Baik itu non-filter, ataupun berfilter, jika bahan pembuat utamanya adalah tembakau dan cengkeh, maka ia adalah kretek.

Selanjutnya, saya menemukan hal menarik dalam buku Hikayat Kretek pada halaman 169 hingga beberapa halaman setelahnya. Sebuah fakta yang bagi saya cukup membanggakan dari industri kretek di negeri ini. Saya ceritakan ulang saja di sini hal menarik yang saya temukan sejak halaman 169 hingga beberapa halaman setelahnya.

Baca: Gus Dur, Cengkeh, dan SARA(P)

Tak lama setelah pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, krisis ekonomi besar melanda Indonesia. Inflasi terjadi besar-besaran, utang negara setelah kesepakatan pada perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) membikin pemerintahan yang baru terbentuk kalang kabut. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak. Sumber pemasukan negara ketika itu hanya lewat sektor perkebunan saja.

Krisis ekonomi itu pada akhirnya membikin pemerintah mengeluarkan kebijakan devaluasi nilai mata uang rupiah. Pemerintah mengurangi jumlah uang yang beredar. Selain itu, pada 20 Maret 1950, kebijakan Gunting Syarifuddin diterapkan. Gunting Syarifuddin adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri keuangan saat itu, Syarifuddin Prawiranegara. Gunting Syarifuddin adalah kebijakan memotong nilai pecahan uang menjadi setengahnya saja. Misal, jika kita memiliki uang Rp5, maka nilainya tinggal Rp2,5 saja setelah terkena kebijakan Gunting Syarifuddin.

Alih-alih menyelamatkan perekonomian nasional, kebijakan yang diambil pemerintah ketika itu malah membikin kondisi perekonomian kian memburuk. Peningkatan jumlah penduduk dan kondisi aman pasca perang juga menambah beban pemerintah dengan banyaknya pengangguran.

Dalam kondisi semacam itu, ada anomali pada industri kretek nasional. Krisis ekonomi seakan tidak mempengaruhi industri kretek ketika itu. Ini bisa dilihat dari pemasukan cukai rokok yang selalu meningkat sejak tahun 1951 hingga 1962.

Pada tahun 1951, penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp46.920.000. Terus meningkat setiap tahun hingga pada 1962 pemasukan negara lewat cukai mencapai Rp920.050.000. Naik hingga 2000 persen. Sebuah angka yang menakjubkan.

Selain pendapatan cukai yang terus meningkat tiap tahunnya di tengah krisis berkepanjangan, kemunculan pabrik-pabrik rokok kretek baru juga terjadi pada 1950 hingga 1962, terutama pabrik rokok kretek di luar pulau Jawa. Total ada 32 pabrik rokok baru di luar Jawa yang berdiri pada periode itu.

Baca: Mengenal Tiga Jenis Tembakau Unggulan dari Pulau Madura

Anomali semacam ini juga terjadi ketika krisis besar kembali melanda Indonesia pada periode 90an. Industri kretek menjadi penyelamat keuangan negara di tengah badai besar ekonomi yang menghantam negeri.

Sayangnya, catatan-catatan keberhasilan industri kretek itu sepertinya tidak begitu menarik bagi pemerintah negeri ini kini. Buktinya, mereka malah menaikkan persentase cukai rokok dengan angka yang tidak masuk akal, mencapai 23 persen.

Bukannya merawat industri kretek yang terbukti berperan besar memberi pemasukan keuangan bagi negara bahkan di saat krisis ekonomi melanda sekalipun, pemerintah kini seakan malah hendak menghancurkan sendiri industri kretek itu dengan menaikkan cukai dengan semena-mena. Tak masuk akal.