REVIEW

Kisah Perang Dagang Kretek di Amerika Serikat

Pengalaman Indonesia dalam melakukan perdagangan rokok dengan AS adalah salah satu bukti sulitnya negara berkembang memasuki pasar negara maju akibat aturan nasional di negara tersebut. Indonesia akhirnya menghentikan ekspor rokok kretek ke AS setelah pemerintah AS mengeluarkan larangan impor rokok kretek.

Pelarangan tersebut dilakukan melalui regulasi tembakau yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA). Hal ini terkait dengan adanya diskriminasi rokok kretek yang tertuang dalam Undang Undang Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act) yang telah disahkan oleh pemerintah AS. Pada Tobacco Control Act, terdapat aturan pelarangan penjualan rokok kretek atau aromatik di AS, karena dianggap lebih berbahaya ketimbang rokok yang tidak beraroma.

Larangan tersebut menyebabkan Indonesia tidak bisa menjual jutaan batang rokok yang nilainya bisa mencapai 6,4 juta dollar AS. Padahal pada tahun 2008 Indonesia masih mengekspor 298.932.400 batang rokok atau sebesar 6.662.992 dollar AS. Tahun 2009, Indonesia mengekspor 267.308.800 batang rokok atau senilai 6.451.226 dollar AS. Sedangkan tahun 2010 Indonesia tidak mengekspor sama sekali rokok kretek ke AS.

Direktur Pemeriksaan dan Pencegahan Dirjen Bea Cukai Frans Rupang menyatakan, penurunan ekspor rokok tersebut membuat Indonesia berpotensi kehilangan 240 juta dollar AS per tahun.

UU yang dibuat pemerintah AS tersebut sesungguhnya merupakan bentuk hambatan non-tarif (non tariff barrier). Hal ini dibuktikan oleh adanya dukungan perusahaan-perusahaan rokok besar di negara tersebut terhadap UU ini. Altria Group, perusahaan induk dari Philip Morris menyatakan bahwa UU ini merupakan kebijakan yang menguntungkan bagi konsumen AS dan memuji peraturan ini sebagai kebijakan yang sangat komprehensif.

Atas dasar hal tersebut pemerintah Indonesia selanjutnya mengajukan AS ke WTO melalui permintaan pembentukan panel atas tindakan mempengaruhi produksi dan penjualan rokok kretek.

Pada tanggal 7 April 2010, pemerintah Indonesia meminta konsultasi dengan pemerintah AS sesuai dengan Pasal 1 dan 4 dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU), Pasal XXII dari General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994), Pasal 11 dari Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement), dan Pasal 14 dari Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) sehubungan dengan dasar digunakan AS untuk melarang rokok beraroma, termasuk rokok kretek.

Meskipun Indonesia dan AS setuju untuk mengadakan konsultasi tersebut pada tanggal 13 Mei 2010, namun konsultasi itu tidak menyelesaikan sengketa. Ukuran yang subjektif tercermin dalam Pasal 907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (the Act), yang melarang produksi atau penjualan di AS dari semua rokok dengan “rasa karakterisasi” selain mentol atau tembakau dimulai 90 hari setelah UU tersebut ditandatangani.

Indonesia percaya bahwa tindakan diskriminasi terhadap rokok kretek impor memang dengan sengaja dilakukan sebagai satu bentuk proteksi bagi industri rokok dalam negeri AS.

Kasus ini membuktikan bahwa sebuah negara dapat membuat suatu UU dengan alasan kesehatan atau alasan lainnya yang kemudian berakibat menghambat perdagangan atau impor atas suatu barang ke dalam negara tersebut. Tindakan tersebut ditujukan untuk memenangkan persaingan dagang atas suatu komoditas di dalam negerinya dan berakibat tersingkirnya pesaingpesaing dari luar negeri.