REVIEW

Perkembangan Industri Rokok di Surakarta dan Yogyakarta

Sebagai tradisi, dan budaya sehari-hari, masyarakat yang mendiami wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta pada abad 18 hingga 19 sudah mengonsumsi tembakau dalam bentuk rokok. Tak hanya tembakau, berbagai macam campuran dalam selinting rokok juga ditambahkan untuk menambah citarasa rokok yang diisap.

Sejarah konsumsi tembakau di dua kerajaan itu bisa ditarik lebih jauh lagi pada masa sebelum abad 18. Akan tetapi, ketika itu tembakau tidak dikonsumsi dengan cara diisap, namun dikunyah bersama sirih, pinang, dan beberapa bahan lainnya.

Sebelum rokok jenis kretek (bahan baku utama campuran tembakau dan cengkeh) marak beredar dan menguasai pasar rokok di negeri ini, di wilayah Surakarta dan Yogyakarta dikenal rokok dengan pembungkus daun nipah. Tembakau yang digunakan untuk rokok itu dicampur dengan ragam jenis bahan lainnya untuk menguatkan rasa sekaligus menambah tajam aroma dari rokok. Di kalangan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, bahan campuran untuk tembakau ini dikenal dengan istilah wur atau uwur.

Bahan untuk membikin wur ini terdiri dari beraneka jenis bahan. Mulai dari klembak, kemenyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulosari, pucuk, cendana, ganti, tegari, mesoyi, waron, klabet, dupa, dan beberapa bahan lainnya.

Menurut Van Der Reijden, seorang peneliti asal Belanda, penemu dan peracik awal bahan campuran yang disebut wur ini adalah Mas Ngabehi Irodiko, seorang mantri di kraton Surakarta. Karenanya, rokok dengan ragam bentuk campuran itu pada akhirnya dikenal dengan nama rokok diko, menggunakan nama penemunya.

Ini terjadi setelah produk rokok yang sebelumnya adalah produk konsumsi rumah tangga, berubah jadi industri rumah tangga dan mulai dijual ke khalayak ramai oleh mereka yang memproduksi rokok ini secara massal. Menurut pemerhati dan peneliti industri rokok, Mas Ngabehi Irodiko pertamakali mengenalkan rokok buatannya pada tahun 1890, tak lama setelah itu, industri rokok baru berkembang di wilayah kerajaan Surakarta.

Industri Rokok di Surakarta

Berkembangnya industri rokok diko ini bermula dari citarasa rokok diko yang lain dari rokok yang umum dikonsumsi masyarakat Surakarta pada masa itu. Pembuatan wur yang cukup rumit sehingga menghasilkan citarasa dan aroma yang khas. Hal ini membikin rokok diko mulai laku di pasaran hingga pada akhirnya industri rokok diko berkembang ke berbagai daerah di wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.

Menurut keterangan Van Der Reijden, dari sejumlah perusahaan rokok yang berkembang di wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta yang memproduksi rokok dalam skala menengah hingga besar, dengan mempekerjakan banyak tenaga kerja untuk produksi, perusahaan tertua berdiri di Sala pada tahun 1897, setelah itu muncul perusahaan kecil di beberapa tempat lain.

Pabrik-pabrik rokok berdiri kemudian di Karanganyar pada 1906, di Sragen pada 1908, Klaten pada 1911, Boyolali pada 1906, dan di Wonogiri pada 1920. Pendirian perusahaan rokok berbasis rokok diko ini berkembang hingga ke wilayah kerajaan Yogyakarta dengan didirikannya pabrik rokok di Yogya pada 1914, di Bantul pada 1919, Adikerta pada 1924, dan Kulonprogo pada 1927.

Seperti pada wilayah lainnya di negeri ini, kreativitas dan selera sebuah masyarakat pada akhirnya menghasilkan varian-varian baru dari jenis rokok yang beredar di Yogyakarta. Masyarakat Yogya ternyata lebih menyukai jenis rokok dengan rasa yang lebih ringan, tidak sekeras dan sekuat rasa dan aroma rokok diko dengan wur yang beragam jenisnya. Mereka mengembangkan jenis rokok industri baru lainnya yang lebih ringan rasa dan aromanya dibanding rokok diko. Ini dilakukan dengan mengurangi bahan baku wur hingga hanya tersisa klembak dan kemenyan saja. Rokok jenis ini disebut rokok wangen.

Industri rokok diko dan rokok wangen berkembang di wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta hingga tahun 1930an. Selanjutnya industri rokok ini perlahan meredup usai masuknya jenis rokok baru, jenis rokok yang hingga kini terus bertahan dan digemari masyarakat nusantara.