Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di Kudus Selasa besuk, banyak desa terlihat ramai. Hampir tiap malam masyarakat bergerombol untuk sekadar ngobrol atau berjaga di titik titik tertentu. Ada yang di tempat calonnya, ada yang di posko, ada yang diwarung, bahkan ada yang hanya di pinggir jalan. Di situlah rokok berfungsi dengan baik, ia menjadi teman setia para sabet yang sedang menanti hari esok tiba.
Tiap desa yang akan menyelenggarakan pilkades, terlihat ramai terlebih di desa yang terdapat 2 calon berbeda, tidak satu keluarga. Karena aturannya calon harus lebih dari satu, saat ini banyak pilkades yang calonnya anggota keluarga sendiri, seperti suami dan istrinya, kakak dan adiknya, atau om dan keponakannya. Pilkades calonnya satu keluarga bisa dipastikan tidak seramai dengan pilkades yang calonnya saling berhadap-hadapan (tidak sekeluarga). Mereka saling adu strategi untuk penggalangan massa.
Baca: Industri Kretek di Tengah Krisis Ekonomi 1950
Memang banyak anggapan posisi kepala desa (kades) sekarang tidak sesakral kades dahulu. Dulu yang menjadi kades orang yang benar-benar ditokohkan masyarakat. Selain sebagai pimpinan kebijakan pemerintah tingkat desa, juga para kades dahulu menjadi panutan dan tempat berlindung masyarakat. Kades dahulu lebih dekat dengan rakyatnya. Bahkan ada cerita, menjadi kades dulu turun temurun (keturunan dari keluarga Kades), berwibawa, paling tidak punya kekuatan magic yang bisa menolong masyarakat atau mengayomi masyarakat. Sehingga banyak orang tua cerita, kalau kades dahulu sangat dihormati dan ditakuti masyarakat.
Berubahnya waktu dan berubahnya zaman, berubah pula posisi kades. Dahulu sakral, sekarang tidak lagi, dahulu benar-benar tokoh yang bisa menjadi kades, sekarang terbuka lebar kesempatan menjadi kades untuk siapapun, baik dari kalangan masyarakat biasa, para pemuda ataupun perempuan punya kesempatan yang sama.
Ada plus minusnya, sekarang kesempatan menjadi kades terbuka lebar bagi siapapun yang terpenting warga desa setempat. Namun gejolak gesekan dan konflik antar masyarakat sebagai pendukung dan tidak lebih tinggi dan rawan. Kades sekarang rata-rata sudah tidak lagi dipandang masyarakat sebagai panutan, fungsinya hanya tokoh yang mewakili pemerintah pada level bawah. Beda dengan kades zaman dulu, yang seakan-akan hanya keluarga keturunan kades yang bisa menjadi kades, masyarakat lainnya tidak ada kesempatan menjadi kades. Bahkan kades zaman dulu tidak ada perempuan, yang ada laki-laki punya wibawa keturunan tokoh tertentu yang sangat disegani dan dihormati masyarakat. Kades dahulu memang betul-betul sebagai tokoh panutan dan tokoh yang mengayomi masyarakat di luar urusan pemerintahan. Jadi benar-benar dekat dengan masyarakat.
Fungsi kades dahulu hadir di tengah-tengah masyarakat tidak hanya melulu urusan tarikan pajak atau hanya sambutan acara. Lebih dari itu, dahulu kades sering muter kemasyarakat melihat kondisi rakyatnya, jika kekurangan atau ada masalah dibantu, sering didatangi masyarakat diminta berdo’a agar sembuh dari penyakit, agar lancar pekerjaannya, bahkan juga dimintai petuah-petuah untuk jalan hidup yang baik dan semestinya. Fungsi sosial kades seperti dulu, saat ini seakan-akan hilang, pemerintah desa atau kades hadir ditengah-tengah masyarakat hanya saat tarikan pajak. undangan nikahan, undangan sambutan dan minta tanda tangan.
Kembali kepemilihan kepala desa (pilkades), calon lebih dari satu dan tidak satu keluarga, pastinya ramai. Para calon kades sebisa mungkin mencari dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya. Anjang sana anjang sini pasti dilakukakan untuk memaparkan visi-misinya jika menjadi kepala desa yang terpilih. Tidak berhenti disitu, calon kepala desa harus sigap dan tanggap kebutuhan masyarakat. Bahkan rokokpun sebagai modal para calon untuk mencuri hati rakyat dan mencari dukungan. Tidak jarang saat jalan-jalan para calon kades disakunya banyak rokok sebagai modal ngobrol dengan masyarakat, terutama dengan bapak-bapak.
Baca: Kretek Adalah Pusaka Budaya Indonesia
Walaupun hanya berupa rokok, ternyata posisinya sangat penting, minimal sebagai pembuka obrolan. Seperti pengakuan Noor Cholis salah satu orang kepercayaan calon kades di desa Gribig Kecamatan Gebog Kudus, ia dan calonnya kalau jalan-jalan atau ngobrol dengan masyarakat yang paling praktis dan mengena pakai rokok, modal sedikit tapi mendapkan simpati, dari pada ngasih uang untuk membeli sesuatu seperti makanan atau minuman lebih boros tidak cukup 50 ribu, mendingan bawa rokok senior atau sukun putih, kalau mau berkelas bawa djarum super. Kalau pas ngobrol rokok dikeluarkan 1 bungkus dibuka dan ditawarkan kemasyarakat. Dengan bekal rokok mau mengawali obrolan tidak canggung.
“nek mlaku mlaku muter jagong neng kampung mesti gowo rokok ra ketang senior po sukun putih, kadang djarum super ben ketok elit, aku yo ngono sabar (calon kades) yo ngono. Mending rokok irit dibanding modal duit diwehno go tuku jajan po ngombi, seket ewu ra cukup tur ra pantes po meneh seng jagong wonge akeh. Irit yo rokok sak bungkus ditokno terus dilungno kanggo modal jagong”
Ternyata benar, hampir semua calon kades dan orang-orang kepercayaannya (sabet) melakukan demikian. Mereka selalu bawa rokok dibagikan masyarakat saat ngobrol bareng. Tak hanya itu bahkan walaupun tidak ikut ngobrolpun ketika mereka melintas dan melihat ada segerombolan orang-orang ngobrol sering memberikan rokok lalu pergi. Dan disetiap rumah calon kades juga ternyata selalu disediakan rokok untuk teman ngobrol dan ngopi.
Pemberian yang hanya berupa rokok tersebut sering diapresiasi masyarakat. Ternyata penilaian masyarakat sangat sederhana, dengan hanya memberikan sebungkus atau sebatang rokok sudah dinilai calon kades tersebut orangnya baik dan loman (suka memberi). Inilah tradisi kebaikan masyarakat di desa, mereka selalu baik sangka, tidak mengenal politik yang rumit-rumit. Untuk itu, bagi kades yang terpilih jangan lupa pada rakyatnya, baik yang mendukung atau yang tidak mendung. Lebih dekatlah pada masyarakat, jangan hanya saat nguber-nguber pungutan pajak saja, jadilah kades yang betul-betul ngayomi masyarakat, berada di garda depan untuk kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya menjadi garda depan kepentingan pemerintah bahkan pemodal.