OPINI

Di Balik Gerakan Anti-Tembakau, Kepentingan Siapa?

Masifnya gerakan antitembakau di Indonesia tentu tidak lepas dari kepentingan yang ada dibaliknya. Gerakan antitembakau tidak serta-merta didasari atas kepedulian mereka terhadap kesehatan. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Apa kepentingan dari gerakan antitembakau? Siapa yang berada di balik kepentingan tersebut?

Tahun 1999 adalah gerbang masuk perang global melawan tembakau ke Indonesia. Dari sisi kebijakan, banyak hal telah dicapai. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah tentang Tembakau yang diamandemen tiga kali, puluhan Perda antitembakau (di Bogor, Jakarta, Surabaya, Tangerang, Depok, Bandung, Surabaya, Palembang, Pekanbaru, Padang Panjang, Makassar, dan lain sebagainya), UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan, dan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Sejak itu, masyarakat menemukan kemasan rokok yang dilabeli peringatan bahaya kesehatan. Muncul pula kawasan tanpa rokok (KTR) di banyak tempat. Iklan, promosi, dan sponsorship tidak selonggar sebelumnya. Cukai naik. Dan masih banyak lagi. Sejak itu pula, wacana tentang bahaya tembakau muncul di mana-mana dan serta-merta dianggap sebagai kebenaran umum, nyaris tanpa penyikapan kritis.

Baca: Gerakan Antitembakau dan Manifestasi Ideologi Fasisme Nazi

Setelah semua capaian itu, faktanya, impor tembakau ke Indonesia justru meningkat. Impor sebesar 29.579 ton di tahun 2003 naik menjadi 35.171 ton di tahun 2004. Tahun 2005 naik lagi menjadi 48.142 ton. Tahun 2006 terus naik menjadi 48.287 ton, tahun 2007 menjadi 61.687 ton, dan tahun 2008 mencapai 77.302 ton.12 Dalam hitungan lima tahun, dari tahun 2003 sampai 2008, impor tembakau naik lebih dari 250 persen.

Fakta lain, impor cerutu dan rokok ke Indonesia juga meningkat. Impor cerutu meningkat rata-rata 197,5 persen per tahun, dari 0,09 juta dolar AS di tahun 2004 menjadi 0,979 juta dolar AS di tahun 2008. Dalam periode yang sama, impor rokok meningkat rata-rata 86,87 persen, dari 0,836 juta dolar AS menjadi 4,357 juta dolar AS.

Belum lagi fakta bahwa dua raksasa kretek telah diambil alih modal asing. Sampoerna diakuisisi Philip Morris pada tahun 2005, menyusul Bentoel diakuisisi BAT pada tahun 2009. Babak baru “bisnis kretek” dimulai oleh dua punggawa rokok putih dunia. Sementara itu ratusan— bahkan ribuan perusahaan kretek kecil gulung tikar akibat kenaikan cukai. Bisa dibayangkan; daftar perusahaan kretek kecil yang gulung tikar bakal bertambah panjang jika pemerintah kembali menaikkan cukai di tahun 2012.

Baca: Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme

Tidak ketinggalan, perusahaan-perusahaan farmasi multinasional yang beroperasi di Indonesia terus siaga. Kampanye bahaya merokok terus mereka lancarkan melalui berbagai cara, dari on ground activities sampai memaksimalkan social media. Pfizer, contohnya. Berbagai seminar, diskusi publik, mobil keliling, pendirian stan konsultasi stop merokok, sampai kampanye Break Free di www.stopmerokok.com maupun Pfizer Peduli, secara kontinu dilakukan.

Pfizer cukup berhasil. Kini produsen Benadryil, Listerine, Combantrin, dan Visine itu telah membangun klinik terapi berhenti merokok dan memasarkan obat berhenti merokok Veranicline.

Memang, secara umum produk-produk NRT belum marak di Indonesia. Tetapi penting dicatat, Indonesia adalah salah satu negara yang belum meratifikasi FCTC. Padahal di dalam FCTC terdapat pasal khusus yang memberikan landasan hukum bagi kepentingan bisnis NRT, sebagaimana tercantum dalam Pasal (article) 14 di bawah judul “Demand reduction measures concerning tobacco dependence and cessation” dan Pasal 22 yang merupakan rujukan dari Pasal 14.2 (d) konvensi tersebut.

Pada acara 17th Expert Committee on The Selection and Use of Essential Medicines di Geneva, 23 – 27 Maret 2009, Pasal 14 FCTC dicantumkan dalam Proposal for Inclusion of Nicotine Replacement Therapy in The WHO Model List of Essential Medicines. Dua bentuk NRT, yaitu transdermal patches (koyok transdermal) dan chewing gums (permen karet), akhirnya dimasukkan dalam WHO Model List of Essential Medicines. Dengan itu, NRT secara resmi diakui WHO sebagai obat-obat esensial untuk digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi FCTC dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 14 FCTC.

Pengakuan WHO mengantar para eksportir Amerika Serikat pada keuntungan penjualan produk-produk NRT di 9 negara Eropa, 4 negara Asia, Australia, dan Meksiko. Menurut laporan World SmokingCessation Drug Market 2010 – 2025, penjualan NRT di seluruh dunia pada tahun 2008 mencapai jumlah di atas 3 miliar dolar AS. Diprediksi, dalam 15 tahun ke depan, penjualan NRT akan meningkat terutama di negara-negara BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina). 

Hampir separuh perokok dunia berasal dari empat negara tersebut. Dalam laporan tersebut juga dianalisa perkembangan pasar NRT di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Layak untuk dicamkan bahwa Indonesia, dengan jumlah perokok besar, tentu tidak luput dari incaran NRT.