cukai
CUKAI

Memahami Seluk-beluk Regulasi dan Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau disingkat DBH-CHT tak asing terdengar di telinga. Secara umum, masyarakat memahaminya sebagai dana dari cukai rokok. Dan benar adanya, itu untuk mempermudah pemahaman tentang DBH-CHT. Di sini banyak orang tidak paham dan tidak mengerti bagaimana alur hubungan  DBH-CHT dengan cukai, apakah itu filosofinya, kebijakan penggunaaannya, hingga bagaimana DBH-CHT ini sampai ke daerah dan digunakan.

Nah, di sini akan dijelaskan secara singkat, jika penjelasannya masih belum memuaskan bisa dilanjutkan bertanya kepada Kretekmin boleh merokok, yang kemudian mereka yang akan mengatur atau menjawab atas keingintahuan lebih lanjut.

DBH-CHT secara konsepsi tidak dapat dipisahkan dari Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya. Bentuk DBH macam-macam, contohnya: 

DBH bersumber dari hasil pajak 

  • Pajak bumi  bangunan (PBB), 
  • Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
  • Pajak penghasilan (PPh)

DBH bersumber dari hasil sumber daya alam

  • Kehutanan
  • Pertambangan umum
  • Perikanan
  • Pertambangan minyak
  • Pertambangan gas bumi
  • Pertambangan panas bumi

Di atas adalah model-model dana bagi hasil selain dari cukai hasil tembakau. Nama boleh sama dana bagi hasil (DBH), tapi dana bagi hasil dari tembakau konsepnya dikecualikan oleh pemerintah. Praktiknya DBH lain dimasukkan sebagai bagian dari dana perimbangan dalam rangka otonomi daerah atau desentralisasi, sedang DBH tembakau diatur tersendiri dalam Undang-undang (UU) cukai dan tidak dicantumkan sebagai pendapatan Negara. Cukai dapat dipahami sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang- barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007. 

Perbedaan ini yang akhirnya sedikit menjadi masalah. Masalah sederhana yang sering muncul, kontrol alokasi dan penggunaan DBH-CHT sulit dilacak beda dengan DBH lain, pengelolaan DBH-CHT wewenangnya adalah Gubernur yang kemudian Bupati/walikota yang mengatur pembagiannya beda dengan DBH lain wewenang dan pengaturannya dari pusat. Jika terjadi penyalahgunaan penggunaan DBH-CHT hanya dikenakan saksi administrasi beda dengan DBH lain dimasukkan pada ranah korupsi.  

Baca: Seharusnya DBHCHT untuk Membayar BPJS Petani

Contoh sederhana dan konkrit masalah, DBH-CHT di Pasal 66A Cukai UU Cukai dijelaskan bahwa pembagian hasil cukai ke daerah hanya 2% dari total kumulatif peneriman Negara dari cukai tembakau. Sisanya 98% ada di pemerintahan pusat. Pembagian DBH-CHT 2% ke daerah tidak didasari rumusan atau hitungan yang rigit, hanya berdasarkan mana suka Menteri Keuangan yang kemudian dilegalkan. Sisa 98% sangat sulit dilacak penggunaan untuk apa, kecuali kemarin pemerintah baru berbaik hati, sisa tersebut digunakan untuk menutup defisit BPJS, itupun hanya sebagian, bagian yang lain entah ke mana.

Dari 2% pembagian ke daerah diatur lagi pebagiannya, yaitu 30% dari 2% untuk provinsi penghasil, 40% dari 2% untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% dari 2% untuk kabupaten/kota lainnya (bukan penghasil). Dilihat komposisi pembagian tersebut, jika dilihat dengan pendekatan kepemilikan wilyah, Gubernur yang notabenenya tidak mempunyai wilayah/teritori yang punya adalah kabupaten/kota mendapatkan bagian kategori besar sama dengan bagian kabupaten/kota yang bukan penghasil. 

Penggunaan DBH-CHT sudah ditentukan dan diatur pada UU cukai pasal 66A ayat (1), yaitu di batasi peruntukkannya dalam 5 hal. 

  1. Peningkatan kualitas bahan baku.
  2. Pembinaan industri
  3. Pembinaan lingkungan sosial
  4. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai
  5. Pemberantasan barang kena cukai ilegal 

Dari lima peruntukan DBH-CHT di atas, informasi dari hasil riset Indonesia Berdikari, bahwa poin nomor 3 yang paling banyak menghabiskan DBH-CHT. Dan bisa dikata poin nomor 3 itu ketentuan karet. Artinya klausul pembinaan lingkungan sosial bisa ditafsiri kemana-mana. Hingga celakanya, dibeberapa daerah berdasarkan hasil riset Indonesia berdikari digunakan rezim kesehatan untuk anti rokok atau melawan dari hasil uangnya yang dipakai. Siapa yang salah, siapa yang culas dan siapa yang munafik, silahkan nilai sendiri. 

Dasar hukum kebijakan penggunaan DBH-CHT:

  1. UU. RI No. 39 Tahun 2007, tgl. 15 Agustus 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai; 
  2. Permenkeu No. 84/PMK.07/2008 tgl. 2 Juni 2008 tentang Penggunaan DBHCHT dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi DBHCHT. 
  3. Permenkeu   No. 20/PMK.07/2009   tentang Perubahan Permenkeu no.  84/PMK.07/2008
  4. SE Menteri Keuangan RI No SE-151/MK.07/2010 tentang Prioritas Penggunaan DBHCHT TA 2010
  5. Surat Dirjen Perimbangan Keuangan NO: 165/PMK.07/2012, tentang Pengalokasian Anggaran Transfer Ke Daerah 

Kewenangan Gubernur dalam DBH-CHT:

  1. Menetapkan Pergub tentang pembagian DBH CHT, dengan komposisi :
    • 30% provinsi;
    • 40% kabupaten/kota penghasil;
    • 30% kabupaten/kota lainnya. 
  1. Menyampaikan Pergub kepada Menteri Keuangan cq. DJPK;
  2. Mengelola, menggunakan dan mengatur pembagian DBHCHT;
  3. Menetapkan pedoman penggunaan DBHCHT;
  4. Menetapkan koordinator pengelola DBHCHT;
  5. Menyampaikan rancangan program kegiatan dan penganggaran Provinsi, kabupaten dan kota setiap awal tahun ke Menkeu;
  6. Menyampaikan laporan realisasi penggunaan provinsi, kabupaten dan kota per semester kepada Menkeu;
  7. Bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas & karakteristik daerah dan sesuai ketentuan. 

Peran Bupati/Walikota dalam DBH-CHT:

  1. Menetapkan petunjuk pelaksanaan penggunaan DBH CHT;
  2. Menetapkan koordinator pengelola DBH CHT;
  3. Menyampaikan rancangan program kegiatan dan penganggaran setiap awal tahun ke Gubernur; 
  4. Menyampaikan laporan realisasi penggunaan per semester ke Gubernur;
  5. Bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas & karakteristik daerah dan sesuai ketentuan. 

Selain Gubernur dan Bupati/Walikota terdapat sekretariatan tersendiri sebagai kordinator DBH-CHT yang diketuai Biro Keuangan sekretaris daerah (Sekda) di tiap gubernuran atau ditingkat kabupaten/walikota. Mereka dinobatkan sebagai pembantu Gubernur atau Bupati dan Walikota dalam pengelolaan DBH-CHT, dengan bertugas:

  1. Fasilitasi dan koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
  2. Monitoring dan evaluasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Kabupaten/Kota
  3. Melakukan verifikasi Rancangan Kegiatan Kabupaten/Kota
  4. Konsultasi dengan pemerintah pusat
  5. Melaporkan pelaksanaan kegiatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau semester I dan semester II