Kurang dari sepekan ke depan, kenaikan cukai rokok resmi berlaku. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2020, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK 146/2017 mulai diberlakukan. Komsekuensi dari diberlakukannya peraturan menteri ini, rata-rata cukai rokok naik sebanyak 23 persen. Kenaikan cukai ini juga berimbas pada kenaikan harga rokok dengan rata-rata kenaikan harga sebanyak 35 persen dari harga sebelumnya.
Secara umum, cukai rokok setiap tahunnya memang mengalami kenaikan, persentase kenaikan setiap tahunnya selalu di bawah 10 persen.. Kecuali awal tahun 2019, tak ada kenaikan cukai rokok sama sekali. Ini bisa dimaklumi karena pada tahun 2019 adalah tahun politik. Pihak petahana yang memegang kekuasaan dan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2019 tentu saja hendak main aman dan cari simpati kepada perokok.
Baca: Dampak Kenaikan Cukai bagi Perokok, Petani, dan Buruh Pabrik
Namun, lain halnya ketika pemilu usai dan pemenang pemilu sudah diketahui. Tanpa mempertimbangkan banyak hal yang akan menjadi efek turunan setelah menaikkan cukai secara tidak wajar, pemerintah menaikkan cukai rokok sebanyak 23 persen. Peraturan ini sudah disepakati dan ditandatangani pada Oktober 2019, tak lama setelah pelantikan presiden, dan akan mulai berlaku per 1 Januari 2020.
Meskipun baru akan berlaku pada 1 Januari 2020, imbasnya sudah mulai terasa sejak akhir bulan November hingga sekarang ini, perlahan harga-harga rokok mulai beranjak naik. Saya menduga ini adalah strategi pabrikan rokok menaikkan harga rokok pelan-pelan hingga titik angka aman. Jika tidak seperti itu, dan langsung dinaikkan sebanyak 35 persen sejak peraturan menteri diberlakukan, saya yakin produk rokok dari pabrikan tersebut akan ditinggal pelanggan setianya.
Pada pekan ini saja, harga rokok naik pada kisaran Rp1000-Rp2000 setiap bungkusnya, setidaknya ini terjadi di Jakarta dan Yogya. Seorang pedagang rokok yang saya jumpai di kios miliknya di utara Yogya sempat mengeluhkan kenaikan rokok bertahap ini setidaknya sejak sebulan belakangan. Menurutnya hampir setiap pekan harga rokok naik, ini membikin ia merasa tidak nyaman karena harus menginformasikan kenaikan ini kepada pembeli langganannya. Ia khawatir ditinggal pelanggan tetap karena kondisi harga rokok yang naik terus sebulan belakangan.
Kekhawatiran yang dirasakan pedagang rokok tersebut memang sangat masuk akal. Kenaikan harga cukai lebih dari 10 persen, bahkan mencapai 23 persen, yang menyebabkan kenaikkan harga rokok hingga mencapai 35 persen, betul-betul akan mengguncang pasar rokok nasional. Menurut Nasrudin Djoko, Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Fiskal (BKF) Kemenkeu, kebijakan kenaikan cukai rokok ini akan menurunkan tingkat keterjangkauan masyarakat terhadap rokok sebesar 13,2 persen. Ini dianggap sesuai dengan tujuan menaikkan cukai rokok agar para perokok semakin kesulitan mengakses produk rokok nasional.
Baca: Sejarah Singkat Perkembangan Cukai Rokok dan DBHCHT di Indonesia
Selain itu, masih menurut Nasrudin Djoko, kenaikan cukai ini akan menekan produksi industri hasil tembakau sebesar 10,6 persen per tahun, atau jika dikonversi dalam bentuk rokok sebanyak 36 miliar batang per tahun. Mulai dari pabrikan, pedagang rokok, bahkan hingga petani tembakau dan cengkeh selaku pemasok utama bahan baku rokok, semuanya dirugikan atas adanya kebijakan menaikkan angka cukai rokok yang begitu tinggi.
Imbas selanjutnya, karena berkurangnya produksi rokok dari hasil kenaikan cukai, akan ada potensi PHK di pabrik-pabrik rokok. Menurut kementerian keuangan, pada tahun pertama kenaikan cukai sebesar 23 persen, tingkat PHK akan mencapai 1,3 persen dari seluruh pekerja di industri hasil tembakau, atau sekitar 4000 pekerja akan mengalami PHK di tahun ini. Ini baru dari sisi pabrikan, di wilayah pertanian, tentu saja akan ada penurunan peluang kerja karena produksi yang menurun.