Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali mendapat tekanan, kali ini tekanan datang dari wacana pemerintah merevisi PP 109 Tahun 2012. Perlu diketahui selama ini PP 109 menjadi momok menakutkan bagi pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), sebab peraturan ini selalu menjadi ujung tombak utama lahirnya kebijakan-kebijakan eksesif lain yang mengatur mengenai IHT.
Dulu ketika PP 109 Tahun 2012 hendak dikeluarkan, terdapat gejolak berupa penolakan dari kalangan stakeholder pertembakauan dan elemen masyarakat lainnya. Ribuan petani tembakau dan cengkeh serta buruh pabrik rokok di berbagai daerah melakukan demo memprotes untuk tidak disahkannya PP 109 Tahun 2012.
Baca: Beratnya Perjalanan Rokok Kretek di Indonesia
PP 109 Tahun 2012 sangat sarat akan kepentingan pengendalian tembakau. Jika kita melihat pasal-pasal yang terkandung di dalamnya terdapat klausul yang sama persis dengan pasal-pasal yang ada pada FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Padahal Indonesia belum mengaksesi FCTC sampai dengan detik ini.
Polemik regulasi PP 109 ini kembali muncul, kali ini pemerintah hendak merevisi pasal-pasal PP 109 Tahun 2012. Wacana pemerintah yang dikepalai oleh Kementerian Kesehatan terkesan diam-diam dan mencurigakan. Terbukti dengan tidak dilibatkannya stakeholder pertembakauan dalam wacana revisi. Bahkan kementerian-kementerian yang turut memayungi sektor IHT, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian turut bersuara menolak diteruskannya wacana revisi PP 109 ini.
Melalui pemberitaan yang ada di berbagai media, revisi PP 109 hendak menyasar pasal 17 ayat 4 yang mengatur tentang gambar peringatan pada bungkus rokok. Pasal 17 ayat 4 ini nantinya diwacanakan akan direvisi menjadi perluasan gambar peringatan pada bungkus rokok dari 40 persen menjadi 90 persen.
Pasal tersebut berbunyi “dicantumkan pada bagian atas Kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (empat puluh persen), diawali dengan kata “Peringatan” dengan menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar hitam, harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya”.
Baca: Menilik Logika Sembrono Kemenkes dalam Pelarangan Iklan Rokok di Internet
Tentu wacana ini sangat berbahaya bagi kepentingan eksistensi Industri Hasil Tembakau dalam negeri. Aturan ini akan berdampak:
1. Naiknya cost produksi pabrikan karena harus memperluas cetakan gambar dan tulisan peringatan.
Sejak kelahiran regulasi ini, sudah banyak pabrikan yang terdampak, utamanya pabrikan kecil. Banyak dari pabrikan kecil yang harus mengeluarkan ekstra cost untuk mencetak gambar peringatan sebesar 40 persen pada bungkus rokok mereka. Akibat bertambahnya cost tersebut, pabrikan kecil tidak dapat bertahan sehingga banyak yang memilih menutup pabrik dan usahanya.
2. Berpotensi meningkatkan rokok ilegal.
Dengan diperluasnya gambar peringatan dari 40 persen menjadi 90 persen, maka setiap pabrikan tidak dapat lagi menampilkan entitas tertentu untuk suatu produk. Indonesia sendiri memiliki keragaman produk hasil tembakau, apalagi pada produk kretek yang memiliki entitas yang beragam.
Dengan kaburnya entitas suatu produk, barang tentu nantinya produk rokok ilegal dengan mudah dipasarkan, karena tidak perlu repot meniru desain bungkus rokok yang selama ini entitasnya beragam.
3. Melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Produk hasil tembakau di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Kita memiliki jenis produk hasil tembakau yang beragam jenis, utamanya pada produk kretek. Melalui entitas karya seni grafis pada bungkus kretek inilah yang menjadikan produk hasil tembakau di Indonesia menjadi khas.
Dari 3 dampak yang dipaparkan di atas, maka pemerintah seharusnya bersikap bijak dalam mengambil keputusan merevisi PP 109 ini. Sudah terlalu banyak regulasi yag membebani Industri Hasil Tembakau, jangan sampai wacana revisi ini kembali menjadi beban, karena melihat RIA (Regulatory Impact Analysis) yang mengerikan bagi masa depan Industri Hasil Tembakau.