logo boleh merokok putih 2

Beralih ke Tingwe

kretek

Seorang mahasiswa universitas swasta terkemuka di Kudus Kota Kretek, sekarang beralih merokok dengan melinting sendiri (tingwe). Berenang sambil minum, itulah istilahnya karena ia juga berjualan tembakau dan cengkeh ke teman-temannya. Memanfaatkan momentum kenaikan harga rokok. Walaupun sebenarnya ia tak punya pengalaman tentang banyaknya jenis tembakau. Hanya bermodal waton alias nekad, ia tetap berjualan offline maupun online tembakau dan cengkeh.

Niam namanya, ia lahir di Kota Ukir Jepara tepatnya di Desa Kalipucang Kecamatan Welahan. Setelah lulus SMP ia melanjutkan sekolah SMA di Kudus sembari mondok di pesantren. Setelah lulus SMA, ia kembali pulang ke rumah sembari kuliah di Kudus. Tapi kali ini, ia tidak mondok lagi, memilih di rumah sambil membantu kedua orang tuanya berjualan. Jadi, ia hampir tiap hari pergi pulang Jepara Kudus untuk belajar.

Mulai SMP suka sekali berorganisasi, dan sekarang BEM di salah satu fakultas universitas swasta di Kudus. Orangnya memang energik dan kalau sudah punya kemauan jadi WPPC “wes pokoke piye carane”—pokoknya gimana caranya—harus berhasil.

Niam ini punya pengalaman rokok yang bisa menyembuhkan sakit sesak nafasnya. Sakitnya ini diderita sejak kecil, dan dipastikan tiap satu bulan harus mengeluarkan uang untuk kedokter dan beli alat hisap pereda sesak nafas, kata bapaknya.
Diceritakan kalau niam mulai merokok sejak di bangku SMA sampai sekarang. Ia terpaksa merokok karena kalau tidak merokok, sakit sesak nafas yang dideita sejak kecil akan kambuh. Kali pertama, ia mengenal rokok dari beberapa membaca referensi tentang sejarah ditemukannya rokok kretek di Kudus. Awalnya ia masih ragu, dan pikirannya takut, kalau saja saat merokok keluarganya tau. Sedikit demi sedikit ia coba merokok, hasilnya yang biasanya dipastikan tiap bulan harus kedokter, setelah merokok sakitnya tak kambuh lagi. Tapi ia pun tidak lantas percaya seratus persen, karena pengalaman pertama,setelah melalui uji coba yang berbulan-bulan, baru ia memastikan karena rokok penyakit sesak nafas kambuhan hilang.


Cerita niam lagi, bapaknya pun saat itu ternyata mengamati dan heran, karena biasanya tiap bulan kedokter kok setelah sekolah di Kudus tidak pernah lagi berobat ke dokter. Saking penasaran, bapaknya bertanya langsung “am saiki kok wes ra tau neng dokter? Opo goro-goro mondok opo piye?” am sekarang kok tidak lagi ke dokter? Apa gara-gara pergi mondok atau ada alasan lain?. Saat ditanya abahnya (panggilan bapaknya), ia bingung mau jawab gimana, dalam benaknya kalau diceritakan apa adanya pasti abah akan marah sekali, kalau anaknya ini ternyata perokok. Andaikan tidak dijawab, pasti abah akan bertanya terus setiap ketemu, karena tipikal abahnya begitu.


Kemudian ia memberanikan diri bercerita pada abahnya. Tapi diawali dengan prolog pertanyaan dan permintaan“ abah kulo ceritani, neng ampun duko jeh, pripun bah?” –abah saya kasih cerita tapi tidak boleh marah, gimana bah?. Akhirnya abah setuju tidak akan marah, setelah dapat kepastian barulah ia bererita. Kalau sakit kambuhan yang dideritanya sekarang tidak kambuh lagi karena ia merokok kretek tiap pagi sehabis sarapan sebelum pergi sekolah satu batang. Berulang ulang ia lakukan hal tersebut, akhirnya tidak kambuh lagi. Tapi kalau di pagi hari tidak merokok kretek, mungkin karena lupa atau tidak ada waktu untuk merokok, pastinya sakit sesak nafasnya kambuh lagi. Sehingga sampai sekarang ia putuskan untuk mengkonsumsi rokok tiap hari.


Mendengar cerita tersebut, awalnya abahnya tidak percaya, dan malah balik membantah kalau rokok itu biang penyakit. Tapi ia (Niam) tetap berpendirian teguh menceritakan apa yang sedang dialaminya dan berupaya meyakinkan abahnya. Akhirnya pun abahnya luluh juga dan mendukungnya, “nek ancen ngono yo ora opo-opo am” kalau memang begitu, ya tidak apa-apa (kamu merokok), cerita niam kembali.
Niam cerita keadaannya, awalnya ia mencari toko penjual tembakau di Kudus. Kebetulan ketemu dijalan Sunan Kudus lalu aku disapa dan ditanyain tempat yang jualan tembakau. Ia menyapa, karena kakak kandungnya teman kuliah di Yogyakarta, dan dahulu ketika masih kecil seumur SD niam sering diajak kakaknya saat kita ngobrol bareng. Di keluarganya, satu-satunya yang merokok hanya Niam, lainnya menyentuhpun tidak apalagi mengkonsumsi rokok.


Di ujung obrolan kita di jalan, akhirnya aku antar ke toko “santoso” kebetulan tidak jauh dari tempat kita ketemu. Toko santosa ini salah satu toko penjual rokok legendaris. Seorang tionghoa yang usianya sekitar 60an lebih, dan orangnya sangat ramah. Toko ini setahuku sejak kecil sudah ada. Selain harganya agak murah dibanding lainnya, di toko tersebut lengkap varian merek rokok. Bahkan toko tersebut sebagai rujukan bagi para penggemar rokok lintingan “tingwe”.


Sesampainya di toko tersebut, Niam ternyata membeli banyak varian tembakau, memborong cengkeh kemasan dan tak lupa ia beli banyak kertas papir. Yang akhirnya di tanya oleh salah satu pelayan tokonya, mungkin karena penasaran belinya terlalu banyak, “mas, ini dijual lagi apa dikonsumsi sendiri?”. Jawab Niam “ dikonsumsi sendiri sama dijual online mbak, karena harga rokok naik mendingan melinting sendiri sisanya di jual. Kemarin-kemarin beli tembakau online dan jual online lagi. Ternyata banyak yang minat buat rokok sendiri (tingwe) akhir-akhir ini akhirnya aku harus nyetok tembakau banyak. Tiap hari ada pesanan yang harus aku kirim ”.


Dari obrolan Niam dan pelayan toko tersebut, sebagai bukti banyak orang yang sudah mulai ekpansi ke Tingwe dari pada beli rokok yang bercukai mahal. Tak hanya itu, Niampun punya alat khusus untuk melinting rokok yang dibelinya lewat online dengan harga 60 ribu. Ini memperkuat ada inovasi baru dalam dunia tingwe. Adanya alat tersebut mempermudah orang-orang membuat rokok sendiri. Pastinya kedepan dunia tingwe punya babak baru mewarnai sektor pertembakauan di Indonesia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).