tingwe
REVIEW

Bereksperimen dengan Tembakau Rajangan untuk Rokok Tingwe

Sejak 1 Januari 2020, cukai rokok resmi naik. Efek langsung dari kenaikan cukai, harga rokok di seluruh Indonesia juga resmi naik. Karena kenaikan angka cukai cukup signifikan, mencapai 21 persen dari cukai sebelumnya, kenaikan harga rokok mencapai 35 persen.

Untuk menghindari efek kejut yang terlalu besar dari kenaikan ini, pihak produsen menaikkan harga rokok tidak secara langsung sebanyak 35 persen dari harga sebelumnya, ia naik bertahap. Kenaikan bertahap ini sudah berlangsung sejak bulan Desember tahun lalu.

Sebagian perokok tetap bertahan dengan rokok favoritnya meskipun harga melonjak drastis, sebagian lain mencari alternatif, berpindah ke produk rokok yang harganya jauh lebih murah. Sisanya, beralih ke tembakau rajangan dan merokok tingwe, linting dewe.

Baca: Badan Pusat Statistik Mendorong Komplain Terhadap Naiknya Harga Rokok

Dahulu, rokok tingwe dianggap kolot, mereka yang sudah berusia tua saja yang mengisap rokok tingwe. Rokok tingwe dianggap ketinggalan zaman dan selera orang tua serta orang dusun. Namun kini, berkat kecanggihan tingwe, dan arus perlawanan terhadap kenaikan cukai yang tidak masuk akal, tingwe perlahan naik pamor dan disukai perokok dari tiap kalangan usia.

Ada banyak cara menikmati rokok tingwe. Mulai dari sekadar melinting tembakau rajangan biasa sesuai selera yang banyak dijual di pasaran, ada pula yang menambahkan cengkeh kering dalam lintingan agar citarasa kretek tetap bertahan di dalamnya. Sebagian kecil mencoba merokok tingwe dengan campuran beberapa zat lain agar rasa rokok sesuai dengan keinginan perokok tersebut.

Tembakau-tembakau rajangan yang dijual bebas sebagai bahan utama rokok tingwe, tentu saja memiliki rasa beragam sesuai dengan jenis tembakau dan lokasi tembakau tersebut ditanam. Ada tembakau rajangan yang rasanya cukup keras, ada pula tembakau rajangan yang rasanya lembut. Semuanya memiliki penggemar masing-masing. Tetapi, bagaimana jika tembakau rajangan tersebut, baik yang keras maupun yang lembut, karena pengaruh cuaca dan penyimpanan yang kurang baik rasanya menjadi tak karuan?

Temuan rekan saya secara tak sengaja ini mungkin bisa diterapkan oleh anda semua untuk memperbaiki rasa tembakau rajangan milik anda.

Pada pertengahan tahun 2018, gempa melanda Pulau Lombok dan sekitarnya, korban jiwa berjatuhan, rumah-rumah hancur berantakan, pengungsi membludak, dan salah satu efeknya, banyak komoditas pertanian yang terbengkalai tak terurus, tembakau hasil panen petani di salah satu wilayah di Lombok Barat salah satunya.

Baca: Respon Negatif Pemerintah Terhadap Isu Kenaikan Harga Rokok

Salah seorang rekan saya asal Jember, yang menjadi sukarelawan tanggap bencana di Lombok Barat, menemukan fenomena ini. Tembakau yang sudah dipanen dan dirajang, terbengkalai di rumah-rumah warga tak terurus. Ketika rekan saya menanyakan akan diapakan tembakau-tembakau milik warga itu, mereka menjawab bahwa tembakau itu akan dibuang saja karena rasanya sudah tidak karuan karena tak terurus.

Melihat fenomena ini, rekan saya itu menganggap sayang sekali jika tembakau-tembakau yang banyak jumlahnya itu dibuang begitu saja. Di sela-sela kesibukan membantu pengungsi di posko pengungsian, rekan saya tersebut mencoba bereksperimen dengan tembakau-tembakau milik warga korban bencana yang tak terurus itu. Ia mengambil sampel tembakau milik warga, lantas mencampurnya dengan bermacam bahan lain untuk menyelamatkan rasa tembakau.

Kegagalan demi kegagalan ia alami dalam eksperimen yang ia lakukan. Hingga akhirnya, percobaan dengan menggunakan madu, berhasil menyelamatkan tembakau dan terverifikasi oleh banyak warga di dusun tempat ia bereksperimen.

Rekan saya ini, mencampur madu–yang ia dapat dari warga yang sebelum gempa memanen madu di hutan–dengan air secukupnya. Madu itu kemudian ia semprotkan secara merata ke tembakau rajangan. Setelah disemprotkan madu, tembakau-tembakau itu kemudian kembali dijemur hingga dirasa cukup kering dan bisa dilinting untuk diisap sebagai rokok tingwe.

Baca: Memahami Logika Isu Harga Rokok di Indonesia

Rekan saya ini lantas mencoba tembakau yang sudah disemprotkan dengan madu itu. Dari yang rasanya sebelumnya berantakan, menurutnya rasa tembakau yang disemprot madu kembali terasa nikmat. Ia lantas meminta beberapa warga di dusun untuk mencicip tembakau miliknya yang sudah disemprot madu, tembakau yang sesungguhnya adalah milik warga itu sendiri.

“Bagaimana rasanya, Pak?” Tanya rekan saya ke beberapa warga yang mencicip tembakau semprot madu.

“Wah, enak ini tembakaunya. Nggak beda jauh dengan rasa tembakau kami yang biasanya kami olah dengan baik.

“Itu memang tembakau milik desa ini, Pak.” Jawab teman saya. Ia kemudian mrnambahkan, “Tembakau yang belum lama dipanen tapi tidak terurus itu.”

Rekan saya itu, memang tidak menceritakan eksperimennya terhadap tembakau milik warga yang rencananya hendak dibuang. Jadi warga memang tak tahu kalau tembakau itu ternyata milik mereka yang belum lama mereka panen.

Baca: Perokok Harus Santai dalam Menjawab Segala Tuduhan

Setelah keberhasilan eksperimen tersebut, warga yang sebelumnya hendak membuang tembakau milik mereka, akhirnya urung membuang tembakau. Tembakau kembali disimpan untuk diolah dengan disemprotkan madu dan digunakan untuk konsumsi keseharian mereka.

Silakan mencoba eksperimen rekan saya ini ke tembakau favorit anda semua. Dan mari terus galakkan merokok tingwe untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang menaikkan cukai dengan angka yang tak masuk akal itu.