cukai
CUKAI

Cukai, Perokok, dan Pendapatan Negara

Cukai rokok dibebankan kepada perokok sebagai konsumen. Pada awalnya pabrik rokok yang membayar dahulu (sebagai dana talangan) kepada pemerintah melalui pembelian pita cukai sesuai golongan industri sigaret mesin atau sigaret tangan, dan sesuai dengan rencana produksi per tahun dari setiap pabrik. Setelah itu pabrikan akan melekatkan komponen cukai yang ditalangi oleh mereka kepada konsumen.
Besaran cukai rokok yang dibebankan kepada perokok tergantung dari keputusan pemerintah setiap tahunnya. Kementerian Keuangan sebagai pemangku kepentingan pemerintah atas cukai rokok biasanya akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) mengenai besaran tarif cukai.


Berdasarkan Undang-undang, cukai rokok dikenakan tarif paling tinggi sebesar 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.


Cukai rokok dalam lima tahun terakhir selalu mengalami kenaikan. Pada 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016 sebesar 11,19%, 2017 sebesar 10,54%, 2018 sebesar 10,04%. Meskipun pada 2019 tidak mengalami kenaikan, pemerintah memutuskan untuk merapel kenaikan cukai di 2020 menjadi sebesar 23%.


Alasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat.


Cukai rokok memang menjadi primadona dalam pendapatan negara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif pertumbuhan pendapatan negara dari cukai rokok sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp158 triliun di tahun 2018. Cukai rokok turut menyumbang sekitar 9-11 persen terhadap total keseluruhan penerimaan negara dalam APBN.
Jika sektor migas seringkali digadang-gadang sebagai sektor yang memberikan keuntungan bagi Indonesia, justru hanya mampu menyumbang 6 hingga 7 persen bagi Penerimaan Negara secara keseluruhan.


Selain menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar bagi pendapatan negara, cukai rokok juga dimanfaatkan sebagai penambal defisit BPJS Kesehatan. Pada tahun 2017, BPJS Kesehatan memiliki kewajiban membayar klaim senilai Rp 84 triliun. Padahal pendapatan dari iuran hanya Rp 74,25 triliun. Dengan kata lain ada missmatch antara pembayaran klaim dengan iuran senilai Rp 9,75 triliun. Salah satu solusi yang dikeluarkan untuk mengatasi persoalan defisit BPJS adalah pemanfaatan cukai rokok. Dana cukai rokok pada akhirmya berkontribusi menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan hingga Rp 5 triliun.


Ironinya, meskipun cukai rokok memberikan manfaat yang sangat besar bagi negara, fakta yang ada justru industri rokok terus-menerus diperlakukan dengan tidak adil oleh pemerintah. Lihat saja kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah malah menekan dan membunuh industri ini secara perlahan, seperti kenaikan cukai yang tinggi setiap tahunnya, maraknya pengesahan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang agresif terhadap industri rokok, hingga pembatasan terhadap produksi, promosi, dan penjualan hingga akses merokok bagi konsumen.


Dalam kasus kebijakan kenaikan cukai pemerintah tidak pernah mau jujur dan transparan bahwa penerimaan negara adalah alasan utamanya. Pemerintah selalu beralasan kenaikan cukai didasari atas dasar pengendalian. Alasan kesehatan adalah alasan paling klasik yang dipakai untuk melegitimasi dasar pengendalian, namun juga sekaligus pembenaran paling sulit dibantah ketika ada yang menggugat kebjakan kenaikan cukai ini. Para penggugat kenaikan cukai akan dicap sebagai penolak kebijakan kesehatan, dan pada akhirnya dengan mudah para penolak kebijakan cukai akan langsung diberi stigma orang yang anti kesehatan.
Dari sisi ekonomi politik, sudah jelas bahwa kebijakan cukai adalah senjata kampanye antirokok yang digunakan untuk meraih simpati dan dukungan pemerintah. Iming-iming kampanye antirokok kepada pemerintah adalah kenaikan cukai berarti penambahan pendapatan untuk pemerintah. Potensi yang sering didengungkan oleh kampanye anti rokokpendapatan pemerintah bakal sebesar 300 triliun atau dua kali lipat dari target pendapatan tahun ini jika mengikuti skema kenaikan mereka.
Sementara mereka tidak pernah memberikan gambaran riil berapa potential lost-nya jika pemerintah mengikuti skema tersebut.

Prakteknya di masyarakat, bagaimanapun juga kebutuhan nikotin masyarakat Indonesia meskipun harga rokok menjadi mahal karena kenaikan cukai yang tinggi, masih bisa dipenuhi secara mudah dengan produk-produk ilegal ataupun produk tradisional yang mudah diakses.
Kampanye antirokok sendiri berangkat dari kepentingan asing yang menginginkan Indonesia ikut meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau yang dikenal sebagai FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
FCTC merupakan perjanjian internasional yang mengatur tentang pengendalian produksi, distribusi dan konsumsi rokok yang dipaksa untuk ditaati oleh negara-negara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Fenomena perjanjian internasional semacam FCTC ini sudah bukan barang baru lagi dan menjadi modus operandi menjajah kedaulatan suatu negara. Sebab di era globalisasi, penjajahan negara-negara besar kepada negara berkembang sudah tidak lagi memakai invansi militer, tetapi memakai mekanisme perjanjian-perjanjian bilateral/multilateral atau perjanjian internasional yang di dalam perjanjian tersebut justru menguntungkan satu pihak.
Indonesia menjadi target utama kalangan antirokok dalam mendorong aksesi FCTC melihat besarnya potensi ekonomi yang didapat dari industri rokok. Apalagi Indonesia memiliki produk khas berupa kretek yang mendominasi 93% postur pasar produk hasil tembakau di Indonesia. Kepentingan ini yang mendorong indsutri farmasi sejak tahun 1960-an melakukan berbagai manuver merebut bisnis nikotin industri rokok yang dihantarkan secara alamiah melalui tanaman tembakau menjadi bisnis nikotin kimiawi ala industri farmasi, seperti koyo nikotin dan permen nikotin yang selama ini tidak laku di pasaran.


Maka jika melihat lagi secara jernih dibalik kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi, pemerintah sebenarnya ditunggangi oleh kepentingan pengendalian tembakau yang didalangi oleh antirokok sebagai bidak dari kepentingan asing yang ingin mematikan industri rokok, terutama kretek di Indonesia.