Kapan istilah tingwe (linting dewe) dikenal oleh perokok di negeri ini? Tak ada yang tahu pasti. Akan tetapi, aktivitas melinting rajangan tembakau menggunakan kertas atau klobot atau daun nipah, dengan campuran beberapa bahan lain semisal cengkeh untuk kemudian dinikmati dengan cara dibakar lantas diisap, saya kira sudah ada sejak tembakau dikenal dan dikonsumsi dengan cara dibakar dan diisap.
Dahulu mungkin belum ada istilah tingwe, namun cara konsumsi tembakau dengan melinting sendiri tembakau milik kita, sudah berumur tua.
Aktivitas merokok dengan cara tingwe yang turun temurun dilakukan masyarakat nusantara yang mengonsumsi tembakau, perlahan digantikan oleh produk rokok pabrikan yang lebih praktis. Mereka yang hendak merokok tak perlu lagi repot-repot melinting sendiri tembakau mereka menjadi rokok untuk kemudian dibakar dan diisap. Mereka tinggal mengambil sebatang rokok dari dalam kotak, membakar rokok itu, lantas diisap. Cukup praktis dan tidak membuang terlalu banyak waktu.
Mulanya rokok-rokok siap isap tanpa perlu melinting sendiri produksi pabrikan tersebut didatangkan dari negeri-negeri jauh di luar nusantara. Penjajah yang membawa produk itu. Mereka mengenalkan rokok siap isap itu pada mulanya untuk menggantikan konsumsi tembakau dengan cara dikunyah bersama sirih dan kapur.
Menurut penjajah, kebiasaan mengunyah sirih dan pinang dan tembakau meninggalkan kotoran menjijikkan kerena aktivitas mengunyah sirih dan pinang dan tembakau itu meninggalkan jejak air liur berwarna kemerahan yang diludahkan di sembarang tempat.
Lambat laun, pabrik-pabrik rokok lokal mulai bermunculan di banyak tempat. Distribusi tembakau tak lagi sekadar tembakau rajangan. Para penikmat tembakau memiliki alternatif lain untuk menikmati tembakau. Jika sebelumnya mesti melinting sendiri tembakau miliknya sebelum dirokok, setelah keberadaan pabrik-pabrik rokok lokal di beberapa tempat di negeri ini, mereka tak perlu lagi repot meluangkan waktu beberapa saat sebelum menikmati rokoknya. Tinggal ambil dalam kotak rokok, bakar, lantas isap. Sepraktis itu.
Dari yang mulanya sekadar industri rumah tangga, industri kecil yang dikerjakan di halaman rumah pemilik usaha, rokok produk dalam negeri pada akhirnya menguasai pasar nasional. Ini terjadi usai ramuan produk rokok kretek yang terdiri dari campuran tembakau dan cengkeh ditemukan secara kebetulan oleh Haji Djamhari pada akhir abad 19 di Kudus.
Sejak saat itu, hingga hari ini, perlahan-lahan rokom kretek merangkak naik produksi dan penjualannya. Hingga pada akhirnya, pada periode 70an, produk rokok kretek mulai merebut pasar rokok nasional yang sebelumnya dikuasai rokok putihan. Puncaknya, hari ini rokok kretek menguasai lebih dari 90 persen pasar rokok nusantara.
Kejayaan rokok kretek benar-benar dimanfaatkan oleh negara untuk ikut ambil keuntungan dari bisnis ini. Cukai diterapkan terhadap produk rokok, termasuk rokok kretek. Setiap tahun, tanpa usaha berarti, negara bisa mendapat banyak pemasukan dari cukai rokok ini. Dan setiap tahun pula, negara menaikkan angka cukai rokok dengan bermacam skema yang membingungkan.
Meski begitu, produk rokok tetap laris di pasar nasional. Rokok kretek memiliki penggemar setianya dengan cakupan yang merata dan luas, dengan varian produk yang beragam menyesuaikan selera pasar.
Hingga pada akhirnya, di tahun ini, cukai rokok kembali dinaikkan. Kali ini di luar kebiasaan, persentase kenaikan cukai mencapai 23 persen. Sebelumnya, tak belum pernah ada kejadian semacam ini. Biasanya cukai naik tiap tahunnya di bawah 10 persen. Salah satu alasan yang dipakai negara menaikkan cukai rokok di angka yang tidak masuk akal, agar harga rokok mahal sehingga konsumen rokok berkurang.
Imbasnya, rata-rata harga jual rokok di pasaran naik hingga 35 persen dari harga sebelumnya. Harga-harga rokok melonjak naik. Dengan kenaikkan yang sangat signifikan.
Tetapi, apakah benar dengan kenaikan cukai itu konsumen rokok berkurang? Saya kira tidak. Sudah sejak lama para perokok di negeri ini cukup cerdik bersiasat. Menyiasati kenaikan cukai kali ini, bentuk perlawanan para perokok lewat kembali ke gerakan rokok tingwe mulai gencar dilakukan.
Para perokok meninggalkan produk rokok pabrikan yang cukainya semakin tidak masuk akal itu, mereka beralih mengonsumsi rokok tingwe sebagai bentuk perlawanan kenaikan cukai. Merokok tetap jalan terus tanpa perlu pusing memikirkan harga rokok yang naik drastis.
Saya pikir, gerakan kembali ke rokok tingwe ini adalah juga sebuah bentuk diplomasi yang dilakukan oleh para perokok. Para perokok pada akhirnya memiliki nilai tawar tinggi setelah sebelumnya selalu digencet negara lewat cukai hingga tak berdaya, tak punya nilai tawar sama sekali.
Dengan merokok tingwe, para perokok hendak mengatakan, silakan naikkan cukai setinggi-tingginya, kami bisa tetap merokok tingwe dengan gembira. Efeknya, negara yang akan merasakan kerugian sendiri dari kesewenang-wenangan aparatur kalian. Pemasukan negara lewat cukai akan menurun drastis karena kami para perokok lebih memilih rokok tingwe yang harganya terjangkau, sekaligus bisa menguntungkan petani tembakau tanpa potongan cukai yang tak masuk akal.